Saturday, May 27, 2006

KISAH SANG MENTOR (Bagian III..)

KISAH SANG MENTOR (Bagian III..)

Di belakang rumah, dekat dapur, ternyata ada sebuah tangga menurun menuju sebuah ruang bawah tanah, yang ukurannya tidak terlalu besar.

“Ruangan ini dulunya dipakai orang tua saya untuk menyimpan padi, karena beliau petani. Karena saya tidak lagi bertani, maka sekarang saya pakai sebagai ruang kerja”, ujar Pak Soma seraya menunjuk ke sudut ruangan. Semua yang hadir melihat betapa di tempat itu terdapat satu set komputer lengkap dengan aksesorisnya, faksimili dan ada juga seperangkat radio komunikasi yang tampak sudah tua. “Saat sekarang saya berhubungan dengan kantor pusat melalui internet yang ada di komputer ini. Tapi dua puluh tahun lalu, ketika internet belum ada , saya gunakan radio SSB itu..”

Wawan dan Hadi termangu sambil berdecak kagum, tapi Bu Soma hanya senyum-senyum saja.

“Nah, kebetulan di ruangan ini ada 4 buah kursi. Silahkan duduk di sini saja. Sekarang saya ingin meneruskan pembicaraan dengan suatu hal yang menurut saya cukup penting”, Pak Soma mengangsurkan tangannya untuk mempersilahkan hadirin duduk.

“Saya katakan ini cukup penting, karena berhubungan langsung dengan kalian berdua, Wawan dan Hadi. Saya perlu menekankan bahwa orang berusaha itu perlu memegang etika. Jangan curang, jangan culas. Tidak sombong, jangan pamer kehebatan, kekuasaan dan kekayaan. Itu sebabnya, saya larang Direksi menggunakan mobil mewah, kalau tidak sedang dalam dinas yang betul-betul memerlukan mobil mewah. Kamu lihat Wan, di depan itu ada mobil niaga yang diparkir? Nah, itulah mobil si Hadi sebagai Direksi kalau sedang dalam perjalanan non-dinas resmi seperti sekarang. Saya lihat kamu ke sini mengendarai BMW 720i..”, ujar Pak Soma. Yang ditegur hanya tersipu malu.

“Lalu, ingat bahwa kita punya tanggung jawab terhadap lingkungan sosial. Banyak berderma, menyumbang orang miskin. Jangan lupa lingkungan tempat kita berada. Saya sebagai pemilik warung di kampung, telah melakukannya. Kampung ini tertata dengan baik, jalan-jalan beraspal mulus, lingkungan bersih dan asri, fasilitas umum mulai dari sistem irigasi, air bersih untuk minum, WC dan tempat mandi umum, tempat ibadah dan lain sebagainya, semua tersedia. Siapa sangka bahwa semua itu berasal dari sumbangan seorang tua jelek penunggu warung?”, kata Pak Soma berseloroh.

“Apa warga kampung mengetahui kalau semua itu dari Bapak?”, tanya Wawan dan Hadi hampir serentak.

Pak Soma tertawa kecil. “Tidak. Mereka hanya tahu itu hasil kerja Pak Lurah dan Pak Camat. Saya selama ini menjalin kerja sama dengan pemerintah setempat untuk itu semua. Dan tentu saja minta mereka merahasiakan jati diri saya..hehe.. Itu yang saya maksud dengan tanggung jawab sosial, tapi tidak perlu menjadi sombong dan ingin dipuji saat kita melakukannya”.

Hadi dan Wawan mengangguk-angguk tanda setuju.

“Nah, sekarang bagian yang terakhir dan terpenting..”, lanjut bos PT Harimau Sakti itu. “Ini sejarah bisnis kamu Wan. Saya 21 tahun lalu sangat terharu tatkala kamu datang ke saya untuk pamit dan menyatakan diri untuk pergi ke kota dan memulai usaha. Saya terharu karena kamu waktu itu masih amat muda belia, baru 19 tahun, tapi semangat kamu sudah menggebu-gebu. Maka saya benar-benar serius memberikan semua yang saya tahu tentang dunia bisnis kepadamu Wan. Tidak itu saja, ketika kamu berangkat, diam-diam saya menelpon seorang anggota Direksi PT Harimau Sakti untuk mengikuti dan memantau semua yang kamu lakukan di kota. Orang itu adalah atasannya si Hadi dan sekarang sudah pensiun. Namanya Pak Slamet. Ketika usaha kamu masih kecil, saya minta Pak Slamet untuk datang menjadi salah seorang pelanggan setia kamu. Saya berjaga-jaga kalau-kalau kamu kesulitan di awal usaha, setidaknya kamu masih punya pelanggan setia. Tapi syukur, kamu cukup sukses, pelanggan kamu banyak, sehingga Pak Slamet tidak perlu berperan terlalu aktif. Ia cuma salah seorang pelanggan biasa diantara sekian banyak pelanggan kamu yang lain. Setelah perusahaan kamu menjadi besar, saya minta salah seorang manajer keuangan kepercayaan saya serta seorang sekretaris, melamar ke kantor kamu berbekal referensi dari salah satu anak perusahaan Harimau Sakti yang saya yakin kamu tidak pernah mendengar namanya. Karena mereka memang piawai, mereka diterima baik di perusahaan kamu Wan, dan sejak itu mereka bekerja menjadi mata-mata saya untuk memantau segala sepak terjang kamu di dunia bisnis. Jangan khawatir Wan, mereka tidak pernah memata-matai urusan pribadi kamu. Maksud saya hanya ingin menjaga agar bisnis kamu tetap berada di jalur yang benar. Nah, melalui manajer keuangan dan sekretaris itulah, selain menerima informasi mengenai semua sepak terjang bisnis kamu, saya juga selalu menitipkan kiat-kiat usaha kepadamu tanpa kamu pernah menyadari bahwa itu dari saya..”

“Saya juga ingin kamu tidak menjadi pengusaha yang cengeng. Itu sebabnya PT Harimau Sakti selalu membayangi perusahaan kamu di setiap pasar. Di pasar ritel, kamu kalah dari perusahaan si Hadi ini, tapi tetap menang terhadap perusahaan-perusahaan lain. Demikian juga di sektor korporasi. Di pemerintahan, dari 8 kali tender, kamu kalah 7 kali, tapi saya instruksikan orang-orang saya agar kamu menang di satu kali tender sisanya. Ini untuk membangkitkan semangat dan rasa penasaran kamu Wan. Kalau kamu saya kalahkan total, pasti kamu akan putus asa, sehingga bukannya penasaran, kamu bisa-bisa malah patah arang..”

“Berdasarkan pantauan kami, kamu memang benar-benar pengusaha yang baik, ulet dan penuh tanggung jawab, Wan. Kamu tidak pernah melakukan hal-hal yang aneh-aneh, tidak hura-hura, selalu memikirkan kesejahteraan karyawan dan banyak hal positif lainnya. Sampai sekarang, orang-orang saya tetap memantau kamu, itu sebabnya saya tahu rencana kamu untuk datang ke kampung ini. Maka saya lantas memanggil si Hadi, memberitahukan rencana untuk mengatur pertemuan dengan kamu hari ini. Hari ini juga saya melihat hal-hal baik dari dirimu, antara lain kamu telah memberitahukan isteri saya tentang rencana kamu untuk membalas budi dengan niat untuk memperbaiki dan merenovasi rumah dan warung saya. Meski mengendarai BMW, saya lihat kamu masih mau mengemudikan mobil sendiri ke kampung tanpa supir dan kencenderungan menjadi bossy. Saya terkesan..”

Suasana hening sejenak..

“Sementara itu, kamu kan tahu Wan, bahwa saya tidak memiliki keturunan. Saya sudah tua dan tidak juga ada salah satu famili saya yang piawai di bidang bisnis modern. Oleh sebab itu, straight to the point, dengan ini saya nyatakan keinginan saya di depan isteri saya dan si Hadi ini, untuk meminta kamu, Darmawan, agar bersedia kiranya menerima tanggung jawab atas perusahaan PT Harimau Sakti. Dengan demikian, semua saham saya di perusahaan ini menjadi milikmu. Kamu tidak usah risau dengan nasib saya dan isteri, karena saya benar-benar ingin kembali menjadi Soma yang dulu, Soma orang kampung penjaga warung kelontong yang hidup damai serta tenteram beserta seluruh warga kampung lainnya..”

Di detik itu, kepala Wawan terasa berdenyut-denyut dengan keras. Matanya membelalak dan mulutnya ternganga tanpa disadari. Tidak pernah diduganya bahwa hari ini akan terjadi rentetan peristiwa yang sungguh-sungguh aneh dan nyaris tak masuk akal, menyebabkan dirinya terkaget-kaget antara percaya dan tidak. Ia merasa kecil berhadapan dengan bos Harimau Sakti ini, karena selama 21 tahun berkarya, ternyata semua pencapaiannya masih berada di bawah bayang-bayang kebesaran seorang Pak Soma. Atau tepatnya, Citra Sumawidjaya, pendiri sekaligus pemilik kelompok usaha PT Harimau Sakti. Namun demikian, semua pujian yang diberikan tokoh ini pun terasa penuh kejujuran dan ketulusan, sehingga di lain sisi, ia merasa bangga pula dengan dirinya.

Lewat beberapa saat, ia baru bisa menjawab: “Beri waktu saya berfikir, Pak…”

Pak Soma tersenyum. “Tentu saja Wan. Kamu tenang saja, dan tidak perlu jawab sekarang. Kamu fikirkan saja dengan santai, hanya pesan saya, inilah kesempatan kamu untuk berkontribusi lebih banyak lagi kepada masyarakat. Kalau kamu lewatkan, wah.. kamu telah menyia-nyiakan kesempatan berbuat baik yang diberikan Tuhan..”

“Mulai hari ini, saya harap kamu terus berhubungan dengan Hadi, ia akan membantumu memberikan pandangan-pandangan, informasi–informasi dan masukan-masukan yang mungkin kamu butuhkan..” lanjutnya.

“Saya pikir, itu saja yang saya ingin sampaikan. Barangkali ada yang mau ditanyakan? Wawan? Hadi?

Karena keduanya terlihat bimbang lalu menyatakan tidak ada pertanyaan, Pak Soma berkata: “ Nah, sekarang sebaiknya kita makan dulu bersama-sama. Sudah hampir waktu ashar..” Tanpa banyak bicara, mereka berempat lantas berpindah ke ruang makan, lalu makan siang bersama. Di sini tampak mereka lebih banyak tenggelam dalam fikirannya masing-masing..

Pertemuan itu bubar setelah sholat ashar. Dalam perjalanan pulang di atas mobilnya, Wawan berfikir: “Hari ini aku mengalami peristiwa yang mengguncangkan. Ternyata di dunia ini ada sosok manusia seperti Pak Soma. Sosok seorang pemimpin yang mampu bekerja untuk orang banyak, tanpa orang banyak perlu tahu tentang dirinya. Di atas itu semua, dialah seorang mentor bisnis paling luar biasa yang pernah aku temukan. Tuhan Maha Besar..” (Selesai).



Rusman Hakim
Pengamat Kewirausahaan
E-mail: rusman@gacerindo.com
Blog: http://rusmanhakim.blogspot.com
Web: http: //www.gacerindo.com
Mobile: 0816.144.2792

KISAH SANG MENTOR (Bagian II..)

KISAH SANG MENTOR (Bagian II ..)

Sampai di tempat yang dituju, ia heran karena ada sebuah mobil jenis niaga parkir di depan warung. Meski begitu, ia tetap bergegas masuk ke dalam ruang tamu. Di situ ia menjumpai seorang pria sedang duduk menunggu sendirian sambil membalik-balik majalah usang yang memang tersedia di meja. Ketika pria ini menoleh ke arahnya, lagi-lagi Wawan terheran-heran, karena ternyata sang tamu adalah seseorang yang sudah ia kenal. Bahkan, amat sangat kenal, karena dia inilah salah seorang pejabat tinggi dari perusahaan pesaing terberatnya, PT Harimau Sakti. Mereka sudah beberapa kali bertemu ketika mengikuti tender di instansi-instansi pemerintah.

“Hai, Pak Hadi!? Lho kok bisa ada di sini Pak?”, Wawan menyapa sambil mengekspresikan keheranannya. Yang disapa segera berdiri menyambut tidak kalah akrabnya: “Halo Pak Darmawan..! Apa kabar, Pak? Saya sudah menunggu Bapak dari setengah jam yang lalu.. Selamat datang dan selamat jumpa Pak!”, sambil tertawa ia mengulurkan tangan untuk bersalaman.

“Lho..? Pak Hadi menunggu saya? Ah, Bapak pasti bergurau ya..?”, Wawan mencoba tersenyum sambil berkata dalam hati, ada lelucon apa ini?

Namun orang yang dipanggil Pak Hadi itu menjawab dengan serius: “Benar Pak Darmawan. Saya diperintah Pak Citra untuk datang ke mari menunggu Bapak. Katanya ada yang mau dibicarakan dengan beliau..” Bagi Wawan, kalau di dunia ini ada teka-teki yang paling sulit, maka kejadian itu merupakan teka-teki yang lebih sulit lagi untuk ditebak. Tapi seorang petinggi perusahaan sekaliber Hadi tentu tidak akan melecehkan dirinya dengan gurauan yang tidak pada tempatnya. Ia merasa air mukanya menjadi bodoh, lalu bertanya lirih: “Pak Citra itu siapa..?”

“Ini lho, Pak? Yang punya rumah dan warung ini, namanya Pak Citra. Dia bos saya, pendiri sekaligus pemilik perusahaan PT Harimau Sakti..!” Pak Hadi menjelaskan.

“Oh .. eh.. Pak Soma maksud Bapak?”, tanya Wawan gugup.

“Iya! Di kampung ini, Pak Citra memang dikenal dengan nama Pak Soma. Tapi di kantor kami beliau dipanggil dengan sebutan Pak Citra. Kan nama lengkap beliau: Citra Sumawidjaya..”

Penjelasan Hadi yang terakhir ini benar-benar membuat limbung Wawan. Bagai ada petir di siang bolong, begitulah yang dirasakan olehnya. Otaknya berputar: “Aku kenal Pak Soma dari kecil. Ia kan cuma seorang warga sederhana dari kampung ini?”
Kalau betul Pak Soma itu seperti apa yang dijelaskan oleh Pak Hadi ini, maka sungguh ia akan malu karena seakan-akan telah “pamer kekayaan” dengan berhajat memperbaiki rumah seorang bos besar pemilik perusahaan nasional bertaraf internasional. Dan pantaslah kalau 20 tahun yang lalu, sang pemilik warung itu mampu memberikan petuah-petuahnya yang “sophisticated. Tapi yang betul-betul membuatnya tidak habis pikir, mengapa Pak Soma harus membawakan diri sebagai seorang tua lugu dan sederhana yang hidup di kampung? Dan bagaimana pula caranya dia bisa mengawasi dan mengatur perusahaan dari sebuah kampung yang jauh dan terpencil ini?

Belum selesai rasa terkejut dan tidak percaya yang meledak di benak Wawan, tiba-tiba terdengar suara salam: “Assalamu ‘alaikum..” dari dalam rumah dan sesosok bayangan menerobos masuk ruang tamu. Ternyata ialah Pak Soma, atau Pak Citra Sumawidjaya. “Alaikum salam..”, hampir serentak Wawan dan Hadi menjawab sekaligus menghampiri serta menjabat tangan tokoh yang sudah sangat senior ini. Wawan bahkan sampai mencium tangan serta memeluk Pak Soma-nya itu sambil setengah membungkuk, tanda rasa hormat yang sangat dalam.

Untuk beberapa menit terjadi basa-basi di antara mereka, sebelum kemudian Pak Soma mempersilahkan tamu-tamunya untuk duduk. Ibu Soma pun lantas bergabung dengan mereka. Tuan rumah tersenyum ramah lalu berkata: “Pertama-tama saya ingin mohon maaf sebesar-besarnya pada Wawan, yang saat ini pasti dilanda kebingungan. Iya kan Wan?” Semua yang hadir tertawa dan Wawan pun mau tidak mau juga tertawa tersipu-sipu. “Benar Pak Soma. Saya bingung dan tolong jelaskan semua ini..” ujarnya.

“Baik..baik. Langsung saja saya ceritakan semua.. Saya orang asli kampung ini. Hanya saja, karena kedua orang tua saya meninggal pada saat saya masih muda, maka saya putuskan untuk pergi merantau ke kota bersama istri. Waktu itu saya baru berusia 20 tahun, sedangkan kamu belum ada, Wan”, Pak Soma mengawali ceritanya. “Rumah ini kami titipkan pada seorang saudara, dan pergi dengan bekal sekadarnya saja.”

“Di kota kami numpang tinggal di rumah seorang teman dari orang tua saya selama kira-kira dua tahun untuk memulai usaha. Syukur bahwa Tuhan memberkahi usaha kami sehingga dalam waktu 10 tahun, usaha tersebut berkembang pesat sekali. Kami tidak saja mampu membangun rumah besar untuk tempat tinggal, tapi bahkan bisa membangun 2 buah perusahaan sekaligus dalam kurun waktu itu. Tahun-tahun selanjutnya bahkan merupakan rangkaian kesuksesan, sehingga terbentuklah sebuah kelompok usaha PT Harimau Sakti seperti yang sudah kamu tahu, Wan..”, kata Pak Soma sambil menoleh ke arah Darmawan.

“Pada tahun ke 16 perantauan kami di kota, saya putuskan untuk mengangkat sebuah Dewan Direksi yang akan mengelola perusahaan secara langsung, lalu kami kembali ke kampung ini. Saya ingat benar, kamu waktu itu kamu baru berusia 9 tahun, Wawan..”

“Ya, samar-samar saya ingat kejadian itu Pak..”, kata Darmawan lirih. “Tapi, sebetulnya apa penyebabnya sampai Bapak memutuskan kembali ke kampung, padahal waktu itu perusahaan Bapak sedang maju-majunya?”

“Kamu tahu Wan. Saya ini orang kampung dan semula merantau ke kota karena terpaksa. Ternyata, suasana pergaulan bisnis di kota amat berbeda dengan kehidupan di kampung. Saya merasakan, lingkungan bisnis di kota itu tidak nyaman, orang berhubungan satu sama lain dengan senyum palsu, tiada ketulusan, tampak akrab tapi sebenarnya mencari kesempatan untuk saling menjatuhkan satu sama lain. Sahabat hanya ada pada saat kita jaya, menghilang pada saat kita susah. Segala sesuatu diukur dengan uang. Kalau tiada uang, maka tidak ada senyum, tidak ada pula sahabat. Itulah dunia bisnis di kota.” Sampai di situ nada suara Pak Soma agak meninggi. Lalu ia melanjutkan.

“Lain halnya dengan di kampung. Di sini, persahabatan dilaksanakan secara murni. Basisnya persaudaraan semata. Tiada pamrih, tiada intrik dan tiada provokasi yang disebabkan uang. Suasana tenang, damai dan tenteram. Saya tidak bisa lari dari kenikmatan kampung seperti ini. Oleh karenanya, begitu usaha saya mapan, saya putuskan kembali ke sini. Semua urusan usaha saya percayakan pada Direksi. Salah satu dari anggota Direksi itu, ya si Hadi ini..” kata Pak Soma sambil menoleh ke Pak Hadi. Yang disebut terakhir ini tersenyum.

“Lantas bagaimana cara Bapak sebagai pemilik, memantau kinerja perusahaan itu Pak? Kampung ini kan sangat jauh dari kota? Dan mengapa pula Bapak harus terus menerus menyamar, membawakan diri sebagai penjaga warung sederhana selama bertahun-tahun?” Wawan bertanya.

“Sudah saya katakan bahwa saya sangat menikmati suasana kampung yang damai dan tenteram ini. Saya tidak mau kehilangan itu. Kalau saya kembali ke sini dan berubah menjadi orang kaya raya, maka pasti pandangan orang-orang sekitar jadi berubah pula. Mereka akan berkata, Pak Soma sekarang bukan Pak Soma yang dulu lagi. Pak Soma sekarang ini bau duit. Lantas, orang-orang akan memasang senyum palsu saat berjumpa dengan saya dan memperlakukan saya dengan cara yang berbeda. Nah itulah yang akan merusak suasana. Bisa-bisa budaya kota yang materialistis dan penuh kepalsuan akan pindah ke sini. Itu yang tidak saya kehendaki. Maka sebisa mungkin saya berusaha untuk tetap menjadi Pak Soma yang dulu..”

“Tentang bagaimana saya mengontrol perusahaan? Kamu kan sudah tahu, bahwa sebuah perusahaan yang sudah mapan, akan tidak memerlukan lagi kehadiran pemiliknya. Semuanya sudah berjalan berdasarkan sistem yang baku. Juga ada Dewan Direksi berikut stafnya yang terdiri dari para manajer yang akan mengelola operasional harian. Paling sering saya hanya akan datang ke kantor sekitar 1 atau 2 bulan sekali, saat di mana saya pamit dengan tetangga untuk belanja barang dagangan warung saya..hehe..”, Pak Soma memberi penjelasan sambil tertawa.

“Memang di samping itu, saya tetap berusaha berkomunikasi secara intensif dengan si Hadi ini di kota. Caranya? Mari ikut saya, saya akan tunjukkan”, ajak sang tuan rumah. Semua yang hadir bangkit berdiri lalu mengikuti Pak Soma dengan perasaan ingin tahu.


(Bersambung ke Bag. III..)

KISAH SANG MENTOR (bagian I..)

KISAH SANG MENTOR (Bagian I..)

Pada suatu siang hari yang teduh, sekitar jam 11, sebuah mobil mewah bermerek BMW jenis 720i warna cerah, meluncur perlahan memasuki kampung. Mobil yang masih baru dan mulus itu tampak kontras dengan suasana sekitar yang memantulkan citra pedalaman yang sederhana. Pengemudinya seorang pria ganteng berusia 40-an tahun, kelihatan mengendarai kendaraannya dengan santai sambil sebentar-sebentar menengok ke kiri dan ke kanan, seakan takjub dengan pemandangan yang baru dilihatnya.

“Hm, kampungku ini sudah berubah, banyak kemajuan. Rumah-rumah penduduk sekarang bagus-bagus dan rapi. Jalanannya beraspal dan mulus. Penduduknya makin ramai dan banyak kegiatan bisnis. Walau begitu, suasananya tetap asri, damai dan tenteram sebagaimana umumnya sebuah kampung di kaki pegunungan..” ia bergumam sendirian. “Ah..tak terasa sudah 20 tahun berlalu..”, dan ia menghela nafas panjang.

Setelah berkendara beberapa menit dari mulut kampung, BMW berhenti di depan sebuah rumah yang di bagian samping-depannya difungsikan sebagai warung kelontong. Pria itu tidak langsung turun dari mobilnya, melainkan berpaling memandang ke arah warung tersebut. Suasana sepi-sepi saja, hanya terlihat seorang remaja putri sedang membeli sesuatu, dilayani oleh seorang ibu-ibu tua.

Pikirannya pun menerawang. “Inil rumah Pak Soma. Pemilik warung yang sederhana, namun siapa sangka nasihatnya yang bijak telah membuat aku menjadi pengusaha sukses dan kaya-raya seperti sekarang. Sebagai balas jasa, aku telah berjanji pada diri sendiri bahwa aku akan memperbaiki rumahnya ini serta membangunnya menjadi sebuah rumah besar yang cukup mewah dan lengkap. Dan warungnya akan aku sulap menjadi sebuah mini market agar penghasilan Pak Soma dan isteri dapat meningkat..”. Lalu ingatannya berkilas balik jauh ke sebuah peristiwa yang terjadi 21 tahun silam. Ia ingat benar betapa waktu itu ia baru berusia 19 tahun, bertekad mengadu nasib pergi ke kota. Atas anjuran kedua orang tuanya, ia pamit kepada Pak Soma, seorang tetangga, pada malam sebelum keberangkatannya. Di situlah, entah bagaimana, seorang bapak setengah baya yang sederhana, memberikan berbagai petuah kepadanya tentang kiat-kiat berusaha. Ia sendiri tidak pernah mengerti, bagaimana orang kampung pemilik warung seperti Pak Soma bisa memberikan nasihat-nasihat yang begitu canggih, seakan ialah seorang pengusaha besar di negeri ini. Namun demikian, itulah satu-satunya pegangan yang ia miliki untuk berjuang di perantauan. Ia pun berangkat dengan percaya diri keesokan paginya..

“Ah, tentu beliau sudah tua sekali sekarang..”, pikirnya. Ketika ia melihat bahwa remaja putri yang berbelanja sudah selesai, ia buru-buru turun dari mobil. Ia mendekat seraya memandang pada ibu-ibu tua penjaga warung, dan segera tahu siapa yang dipandangnya. “Selamat siang, Bu Soma..”, sapanya sopan. Perempuan itu menoleh dan memandang penuh selidik. “Ya..? Siapa..ya..?”

“Saya Bu,.. Darmawan, anak Pak Rusli, tetangga Ibu.. Ibu lupa?”

“Darmawan?..Eh.. Wawan..? Wawan ya?”

“Iya benar Bu Soma. Ini Wawan. Bagaimana kabarnya Bu? Wah, ibu kelihatan sehat sekali..”

Seketika wajah tegang Ibu Soma mengendur. “Oh.. benar kamu Wan? Baru datang..?” Ia langsung menghampiri dengan ramai senyuman, menarik tangan pria ganteng itu sambil berkata: “Ayuk masuk.. wah kamu sudah dewasa sekarang ya! Necis dan ganteng lagi… Syukur.. syukur alhamdulillah..”

“Mari..mari silahkan duduk, Nak. Jangan malu-malu. Rumah ini masih seperti dulu, jadi anggap seperti rumahmu juga..”, si Ibu berusaha mencairkan kekakuan.

Pria yang dipanggil Wawan itu masuk ke ruang tamu lalu duduk di sebuah kursi. Percakapan basa-basi berlangsung beberapa saat, sampai akhirnya sang pengusaha sukses bertanya: “Pak Soma ada, Bu? Saya kangen banget sama beliau..” Bu Soma menjawab:” Oh, Bapak masih di masjid, ada urusan di sana. Mungkin 1 jam lagi baru kembali, sehabis sholat dzuhur..”

“Oh ya? Kalau begitu, saya tinggal dulu ya Bu? Mau lihat rumah ibu saya di kampung ini, sudah 20 tahun gak pernah saya lihat lagi rumah itu. Entah seperti apa sekarang..? Nanti jam 2 saya balik lagi ke sini…” Bu Soma tertegun sejenak, tapi segera berkata: “ Iya baik Wan. Nanti saya kasih tahu Bapak, biar dia tunggu di sini sampai jam 2..”

Sebelum pergi, Darmawan bercerita pada Bu Soma bahwa ia selama ini merasa sangat berhutang budi pada Pak Soma, karena kesuksesannya sekarang adalah berkat nasihat dan petuah yang diberikan secara serius oleh suami perempuan itu. Dan ia langsung mengutarakan niatnya untuk membalas budi dengan jalan merenovasi total rumah serta warung milik pasangan suami isteri tersebut. Ibu Soma tersenyum lebar mendengar hajat “si Wawan”.

Rumah yang dimaksud Wawan sebagai “rumah ibunya” itu hanya berjarak beberapa puluh meter dari rumah Pak Soma. Dalam sekejap ia sudah sampai di sana. Kedua orang tuanya tidak lagi tinggal di situ, karena sudah sejak lama ia ajak ke kota, pindah ke sebuah rumah yang khusus ia bangun. Rumah itu ditunggui oleh adik sepupunya, yang kebetulan sedang duduk-duduk di ruang depan sambil ngobrol dengan beberapa orang tetangga dekat. Bukan main kagetnya mereka ketika mengetahui anggota keluarga yang sudah 20 tahun lebih menghilang, kini muncul begitu saja. Dengan gembira mereka “berkangen-kangenan” sejenak, saling peluk, bersalaman sambil saling tanya, setelah itu Wawan pergi ke belakang membersihkan diri dan segera beristirahat.

Sambil selonjor kaki di sebuah kursi malas, Wawan menerawang kembali. “Semua keluarga dan famili di kampung ini gembira dan bangga bahwasanya aku telah menjadi pengusaha yang sangat sukses. Tapi mereka tidak tahu bahwa aku sendiri masih merasa ada ganjalan di hati. Sesukses-suksesnya aku dan sebesar-besarnya perusahaanku, masih belum apa-apa dibanding dengan perusahaan saingan yang satu itu..” Wawan terbayang akan sebuah nama – nama perusahaan saingannya – PT Harimau Sakti, yang selama ini membuatnya tidak bisa tidur nyenyak. Sebab, setiap bersaing dengan perusahaan ini, pihaknya selalu kalah. Di bidang bisnis ritel, perusahaannya kalah dalam merebut pangsa pasar. Di segmen korporasi, ia juga kalah. Terakhir, dari 8 kali tender pemerintah, ia hanya berhasil merebut 1 kali kemenangan. Selebihnya, 7 kali tender dimenangkan oleh PT Harimau Sakti. Hal inilah yang selama ini dirasakan bagai duri dalam daging oleh Wawan. Berbagai jurus bisnis dan strategi telah ia jalankan, tapi tidak merubah peta percaturan bisnisnya, ia tetap kalah. “Apa yang salah dengan ku?”, demikian pertanyaan yang selalu berkecamuk dalam otaknya. Lelah berpikir, tanpa disadari akhirnya ia tertidur di kursi malas.

Tepat jam 2 siang, Wawan terkejut dan bangun dari tidur. Melihat jam tangan, ia bergumam sendiri: “ Wah, sudah waktunya. Pak Soma pasti sudah menunggu..” Dengan sigap ia sambar kunci mobil dari atas meja, langsung berlari ke luar menuju mobilnya yang diparkir di halaman. Tanpa membuang waktu lagi, ia masuk ke dalam kabin kemudi, menghidupkan mesin dan seketika itu juga meluncur menuju rumah Pak Soma. “Aku tak ingin pertemuan ini meleset dan mengecewakan bintang penolongku..”, katanya dalam hati.


(Bersambung ke bagian II…)

Thursday, May 18, 2006

Cara Gila Menjadi Pengusaha

CARA GILA JADI PENGUSAHA

Beberapa hari yang lalu, saya membaca email di milis EU-2002 yang menawarkan DVD “Cara Gila Menjadi Pengusaha”. Karena saya adalah orang yang selalu tertarik dengan media-media yang membawakan berbagai content baru, saya coba order DVD tersebut melalui pesanan on-line. Ternyata, dalam waktu 48 jam, DVD sudah saya terima, sehingga pada malam harinya, ketika sudah agak santai, saya bisa mencoba untuk memutarnya di komputer saya.

Tokoh sentral dalam rekaman itu sudah tentu Purdi E. Chandra, pemilik lembaga pendidikan “Primagama” sekaligus pencetus ide “Cara Gila Jadi Pengusaha”. Pada pemunculannya di menit-menit pertama, saya terkesan bahwa penampilan Purdi “biasa-biasa” saja. Malah saya berfikir, tampaknya tokoh kita ini bukan tipe seorang presenter sebagaimana yang kita lihat dalam diri Kris Biantoro atau Farhan, lebih-lebih bukan juga tipe orator, seperti Bung Karno atau Fidel Castro misalnya. Maka, alih-alih dari melihat action beliau, saya coba untuk “hanya” mendengarkan materi pembicaraannya saja.

Lucu juga apa yang terjadi kemudian. Awalnya, saya sangat santai, bahkan terlalu santai ketika menyimak tanpa melihat ke layar, sambil mencoret-coret di atas kertas untuk keperluan kantor esok pagi. Namun tak lama, ibarat mesin diesel yang memerlukan beberapa waktu untuk menjadi panas, begitu pulalah perkembangan perhatian saya pada tayangan DVD tersebut. Lewat sepuluh menit sejak pembukaan, pembahasan Purdi makin menarik. Saya mulai meletakkan pena dan menoleh ke layar monitor. Lewat 30 menit, posisi duduk saya sudah sedemikian dekat dengan layar kaca, dan ketika bos Primagama ini mulai mengupas hal-hal yang berbau spiritual, saya sudah sangat terpaku menyimak penuh konsentrasi.

Tahukah Anda, bahwa akhirnya saya menghabiskan waktu menyaksikan DVD yang berdurasi lebih dari 3 jam itu, sampai pukul 1 lewat tengah malam? Dan non stop pula?

Banyak hal yang bisa saya tangkap dari tayangan DVD “Cara Gila..”, terutama sekali dari figur Purdi E. Chandra sendiri. Dan dari banyak hal tersebut, beberapa di antaranya saya kira perlu dicermati:

1) Purdi yang kita kenal sebagai sosok praktisi kewirausahaan, ternyata tidak saja memahami secara utuh tentang seluk beluk dunia bisnis dari segi teknis-praktis, namun lebih dari itu, ia juga mengerti dengan baik soal-soal yang menyangkut aspek spiritual. Di antaranya, ia mengatakan bahwa kalau seseorang ingin berhasil dalam berwirausaha, maka orang itu juga harus memperhatikan bahwa diperlukan aktivitas beramal, bersedekah atau kegiatan apa saja yang sifatnya memberi. Jangan sekali-kali berfikir ingin untung sendiri, hanya menerima tanpa pernah memberi pada orang lain. Sebab, alam selalu memerlukan perimbangan, kalau ada sesuatu yang masuk, maka seharusnya juga ada yang keluar Kalau ada yang tercurah ke bawah, maka seharusnya juga ada yang menguap ke atas. Sebagaimana alam mengatur air hujan yang turun ke bumi, mengisi sungai dan laut, menguap karena terkena panas matahari, berubah menjadi awan, untuk kemudian terjadi kondensasi dan akhirnya turun menjadi air hujan kembali. Dengan begitu, siklus alam ini berjalan dengan baik, tidak ada yang tersumbat. Siklus yang secara fisika kita sebut dengan “ecosystem”, suatu sistem universal yang mengatur perimbangan interaksi berbagai unsur yang terdapat di alam ini. Purdi sangat yakin bahwa sistem yang sama berlaku pula dalam dunia tak kasat mata, bahwa sebuah “spiritual ecosystem” juga berjalan secara harmonis. Sebuah sistem yang memberi pengaruh kuat atas segala fenomena yang terjadi di muka bumi, tidak terkecuali di dunia usaha. Chin Ning Chu, pimpinan perusahaan Asian Marketing Consultant, dalam karyanya “Thick Face Black Heart” (Muka Tebal Hati Hitam) menulis tentang hal yang sejalan dengan keyakinan Purdi. Chin menamakan fenomena spiritual itu dengan “darma”, yaitu sebuah hukum perimbangan yang mutlak terjadi menurut ketentuan-ketentuan alam. Siapa yang menanam, dia akan menuai. Sebaliknya, siapa ingin menuai, maka ia harus menanam terlebih dahulu. Demikian seterusnya. Lebih jauh, pendiri Primagama ini juga berusaha menyadarkan audiens bahwa semua sistem keseimbangan alam itu berasal hanya dari satu sumber saja, yaitu Sang Maha Sistem, Sang Penguasa Alam Semesta yang kita sebut dengan Tuhan. Maka, Purdi mengajak semua pendengarnya untuk meningkatkan spiritualisme terhadap Tuhan dengan berzikir, memuji kebesaran Allah sebanyak-banyaknya, kapan saja dan di mana saja. Ini luar biasa, sebab hampir semua wirausahawan top di dunia ini adalah orang-orang yang menjunjung tinggi spiritualisme. Ambil contoh, DR. An Wang (Wang Computers) dan Stan Shih (Acer) adalah penganut-penganut konfusianisme yang kental. Ternyata, Purdi mengerti itu!
2) Seminar tersebut dinamakan “Cara Gila Menjadi Pengusaha”, oleh karenanya tidak heran kalau pembicaranya juga menyebut-nyebut soal kegilaan dalam memulai usaha. Kalau tidak hati-hati, orang bisa saja menerjemahkan “gila” itu sebagai “gila-gilaan”, yang berkonotasi sebuah kenekatan tanpa perhitungan, kesemberonoan atau sebuah tindakan berjibaku tanpa mempedulikan lagi akibat-akibatnya. Apakah demikian? Entah karena memang sulit, atau karena yakin bahwa pendengarnya adalah orang-orang yang cerdas semua, saya tidak melihat Purdi E. Chandra menjabarkan lebih jauh tentang makna kegilaannya itu secara eksplisit. Ini tentu cukup riskan. Sebab, salah-salah, sebagian orang akan benar-benar mengartikan kegilaan itu sebagai tindakan pasukan jibaku-tai, tindakan bertaruh nyawa secara untung-untungan tanpa mikir! Meski demikian, saya kagum dengan cara tokoh ini mengistilahkan kata-kata simpel “gila”. Saya yakin, bahwa itulah cara Purdi untuk mensimplifikasi sebuah konsep kreativitas, yang oleh Edward De Bono diistilahkan dengan kata-kata “lateral thinking”. Coba perhatikan apa yang dikatakan oleh Edward: “…we have not yet paid serious attention to creativity. The first and most powerful reason is that every valuable creativity idea must always be logical in hindsight. If not logical in hindsight, then it would simply be a crazy idea..” Kita belum memberikan perhatian serius atas kreativitas. Penyebab utamanya adalah kita selalu beranggapan bahwa ide yang kreatif itu harus masuk akal, jika tidak masuk akal, maka itu hanyalah sebuah ide gila..! Edward De Bono memang pakar kreativitas. Ia mengerti sekali, bahwa kreativitas yang paling berharga itu hanya berjarak tipis terhadap kegilaan. Dan kegilaan Edward telah ia buktikan sendiri ketika ia mencetuskan ide untuk memasang lift di bagian luar gedung, bukan di dalam, demi menjawab tantangan penghematan ruang. Terbukti sekarang kita lihat berbagai gedung perkantoran, mal dan pusat perbelanjaan memasang liftnya di bagian luar gedung. Dengan kegilaan yang sama, UNITED COLORS OF BENETTON mendirikan banyak sekali gerai-gerai kecil dengan paduan warna-warni yang memikat hati. Dengan kegilaan yang sama, Pepsi menggelar pertunjukan super kolosal sang maha bintang Michael Jackson demi mengangkat citra produk minumannya. Dan dengan kegilaan yang sama pula, Purdi E. Chandra mengembangkan franchising Primagama ke seluruh Indonesia.
3) Bagaimana pula dengan istilah “kaya” dan “malas”? Intuisi saya mengatakan bahwa kalau orang sekaliber Purdi mengatakan “kaya”, maka yang dikatakannya itu adalah “kaya” (dengan tanda kutip) bukan kaya (tanpa tanda kutip). Apa artinya? “Kaya” artinya sejahtera bersama, paling tidak mereka yang memiliki kelebihan mau berbagi dengan mereka yang kekurangan. Sedangkan kaya berarti mereka yang ingin makmur sendiri, hanya menerima tanpa mau memberi, egois, hura-hura sendiri, plesir sendiri dan akhirnya mati sendiri pula. Demikian juga dengan perbedaan antara “malas” dengan malas. “Malas” artinya bekerja dengan ide dan gagasan, dengan otak bukan dengan otot, smart work, efektif dan efisien. Sedangkan malas adalah kemalasan ala si Kabayan, tidur sepanjang hari dari pagi sampai ke pagi lagi, tanpa pernah menggunakan baik otot mau pun otaknya.

Kesimpulan final yang dapat saya tarik dari DVD “Cara Gila Menjadi Pengusaha” adalah tidak terbatas dari sekadar mengatakan bahwa figur Purdi E. Chandra itu sebagai figur yang hebat dan monumental, tapi lebih dari itu saya ingin menyampaikan bahwa berbahagialah bangsa Indonesia ini yang masih diberi kesempatan untuk memiliki sosok wirausahawan seperti dia. Sosok yang dalam kesuksesannya, masih mau berbagi dengan sesama, agar banyak orang juga berkesempatan meraih sukses serupa. Dibutuhkan lebih banyak lagi Purdi-Purdi lain, agar bangsa tercinta ini dapat segera bangkit dari keterpurukan yang sudah berlarut-larut. Saya juga ingin menyampaikan selamat kepada warga EU, yang sudah dikaruniai Tuhan untuk bertemu dan belajar tentang sukses dari orang sukses seperti Purdi. Semoga akan segera muncul Purdi-Purdi junior yang akan menyusul jejak sang “Mbah” menggalang kekuatan ekonomi bangsa melalui kewirausahaan.

Akhirul kata perkenankan saya mengucapkan kalimat dalam bahasa Mandarin :

“ZHU NIMEN DOU KUAI’ LE”
“Semoga Anda semua berbahagia”

Rusman Hakim
Pengamat Kewirausahaan
E-mail: rusman@gacerindo.com
Blog: http://rusmanhakim.blogspot.com
Web: http: //www.gacerindo.com
Mobile: 0816.144.2792

Monday, May 15, 2006

Skandal Adam dan Hawa

SKANDAL ADAM DAN HAWA

Kita semua tentu ingat akan kisah Nabi Adam dan isterinya Siti Hawa. Kedua insan nenek moyang bangsa manusia ini hidup tenteram bergelimang nikmat tiada tara di surga yang dilimpahkan oleh Tuhan, Allah SWT. Mau makan, tinggal makan; karena di sana sudah tersedia berbagai jenis buah-buahan nan lezat, harum dan segar. Mau minum, ya tinggal minum; sebab di situ terdapat sungai yang di dalamnya mengalir “nectar” dengan cita rasanya yang manis tak terperi. Tiada penyakit, tiada bencana, tiada kejahatan, tiada rasa khawatir, tiada ketakutan, tiada kecemasan. Pokoknya, segala yang ada hanyalah kenikmatan dan kesenangan belaka.

Dengan keadaan yang seperti itu, tentunya kita berfikir, tidak akan ada lagi hal apa pun yang diinginkan oleh Adam mau pun Hawa. Bayangkan saja, semua serba ada, serba tidak kekurangan dan semua serba menyenangkan!

Namun, apa lacur.. Sesosok makhluk yang namanya iblis telah menghancurkan segalanya. Dengan tutur kata menghanyutkan, iblis berhasil membangkitkan keinginan Adam dan Hawa untuk memperoleh buah larangan yang bernama “buah khuldi”. Dan ketika pada akhirnya keinginan itu dilaksanakan dengan memetik buah tersebut, Tuhan yang marah dengan serta merta mencampakkan keduanya ke bumi, ke dunia yang fana tempat di mana kita semua sekarang berada.

“Wahai Adam dan Hawa. Kalian telah bersalah dengan mengumbar nafsu keinginan yang berlebih-lebihan. Padahal, semua kebutuhanmu telah Aku penuhi dengan sebaik-baiknya. Ketahuilah, bahwa perilaku yang demikian itu disebut “serakah”. Sayang sekali, tiada tempat di surga ini bagi mereka yang serakah. Maka mulai hari ini, kalian Aku turunkan ke dunia yang fana, agar kalian dapat memperbaiki diri dengan jalan menghapus semua sifat serakah yang ada di batin kalian..” demikian Tuhan berkata.

Terlepas dari soal apakah kisah skandal Adam dan Hawa ini berlangsung persis sebagaimana diceritakan di atas atau tidak, ada satu hal yang perlu kita cermati. Yaitu moral dari cerita itu sendiri. Mari kita bahas hal-hal di bawah ini:
• Bahwa kita umat manusia yang sekarang “terpaksa” menghuni planet bumi, tidak lain tidak bukan adalah disebabkan oleh perilaku “serakah” yang muncul di benak nenek moyang kita, Adam dan Hawa. Dan bahwa Tuhan telah menentukan bahwa kita tidak akan dapat kembali menikmati kenikmatan surgawi, selama sifat serakah itu masih bersemayam. Maka tidak usahlah kita heran bahwa setelah ribuan tahun tinggal di bumi, sisa-sisa perilaku serakah itu masih masih tetap saja ada, yang dalam kenyataannya terwujud dalam tindakan korupsi, manipulasi, penipuan, mafia-isme, premanisme dan lain sebagainya.
• Bahwa umat manusia yang tidak ingin berubah dan tetap serakah, akan terus tinggal di bumi yang fana sampai nanti hari kiamat, di mana bumi yang sudah tua akan melebur dan berubah menjadi neraka.
• Hakikat kehidupan sebenarnya sederhana dan mudah, yaitu bahwa akar dari segala kejahatan yang ada di dunia ini adalah sifat serakah, yang apabila manusia mau menghilangkan dari benaknya, niscaya semua orang dengan serta merta akan diterima kembali oleh Tuhan di surganya yang maha indah. Itulah pula yang oleh Sang Buddha disebut sebagai “pohon keinginan” yang setiap saat harus diwaspadai, dipantau dan dikendalikan.

Nah, sekarang timbul pertanyaan, bagaimana caranya mengidentifikasi bahwa suatu tindakan itu dilandasi oleh sifat serakah?

Sebagaimana tindakan yang dilakukan Adam dan Hawa di Taman Firdaus dulu, maka suatu tindakan dapat digolongkan ke dalam kategori keserakahan, apabila tindakan dimaksud dilakukan semata-mata berdasarkan keinginan menambah-nambah kesenangan pribadi, padahal yang bersangkutan sudah berada dalam kesenangan dan kenikmatan yang lebih dari cukup.

Pertanyaan berikut mungkin muncul: “Lantas, apa yang bisa dilakukan oleh seseorang yang sudah berada dalam kesenangan dan kenikmatan, agar tindak-tanduk dan sepak-terjangnya tidak masuk dalam kategori keserakahan?” Jawabnya sederhana sekali: “Bekerjalah untuk orang lain, untuk masyarakat banyak. Pada tingkatan ini, semakin banyak yang Anda lakukan dan semakin tinggi prestasi yang Anda capai, akan semakin baiklah reputasi Anda dan semakin sejahtera pula masyarakat sekitar Anda..”

Dunia wirausaha adalah sebuah dunia yang sensitif terhadap keserakahan. Pengusaha yang “asyik dengan kesuksesan”, akan mudah sekali tergelincir masuk ke dalam kubangan keserakahan. Bermula dari keberhasilan meraih kesuksesan-kesuksesan kecil, merambah naik ke tingkatan kesuksesan-kesuksesan besar, seorang pengusaha sangat mungkin untuk segera berperilaku tak terkendali ditandai dengan dimulainya sepak terjang untuk menguasai lahan-lahan orang lain, membendung laju pertumbuhan pesaingnya dengan berbagai cara yang dihalalkan, bahkan sampai kepada upaya untuk mencaplok hak-hak milik masyarakat umum, seakan belum puas sebelum seluruh isi dunia ini menjadi miliknya.

Mudah untuk menemukan contoh tentang pengusaha-pengusaha serakah. Di zaman Orde Baru, pengusaha-pengusaha jenis ini bermunculan dalam jumlah yang sangat banyak. Begitu banyak, sehingga karena sepak terjang mereka begitu ganasnya, seorang Kwik Kian Gie sampai-sampai merasa perlu untuk menjuluki mereka dengan sebutan “business animals”. Dan bagi generasi muda sekarang, juga akan mudah mengenali mereka karena sebagian di antaranya telah berpindah tempat menjadi penghuni penjara, sebagian lagi menjadi buronan Interpol, serta ada juga yang telah meninggal dunia dalam pelarian, sebagaimana nasib orang-orang kaya yang terjebak dalam “money centered life”.

Vivere Peri Coloso

Almarhum Presiden Soekarno pernah mempopulerkan istilah “Vivere Peri Coloso”, sebuah istilah dalam bahasa Itali yang artinya lebih kurang: “nyerempet-nyerempet bahaya”. Dan begitulah sesungguhnya dunia usaha. Seorang pengusaha yang ingin tetap hadir dalam blantika bisnis, harus berani “nyerempet-nyerempet bahaya”. Memberikan pelayanan yang baik tanpa harus menyogok, bersaing harga tanpa harus melakukan “dumping” dan lain sebagainya. Dan untuk itu diperlukan naluri bisnis yang tinggi dan peka.

Kabar baiknya adalah bahwa para wirausahawan sejati ternyata arif dengan hal itu. Seorang adik saya yang dalam manuver “BODOL”nya menggandeng seorang “pangeran” dari dinasti Bakrie, menceritakan sesuatu yang menarik. Ia berkisah bahwa dalam sebuah rapat, sang pangeran memberikan pengarahannya bahwa dunia bisnis itu memang dunia yang penuh risiko, penuh dengan intrik, agitasi dan provokasi, sehingga diperlukan kelihayan tertentu untuk mengatasi semua itu. Namun begitu – demikian sang pangeran – bukan tidak mungkin suatu waktu, seorang pengusaha akan tersandung dan terjerembab ke dalam suatu manuver bisnis yang dapat menyebabkan dirinya disorot masyarakat sebagai tokoh bisnis yang memiliki kecenderungan serakah.

Oleh karenanya, untuk mencegah terjadinya hal-hal semacam itu, seorang pengusaha perlu selalu ingat, bahwa dirinya bekerja untuk orang lain, untuk masyarakat banyak. Dan itu harus diwujudkan dengan tindakan-tindakan nyata, seperti ambil bagian dalam kegiatan-kegiatan sosial, misalnya dengan menyumbang ke panti-panti asuhan, menyokong dunia pendidikan, mendirikan tempat-tempat ibadah, rumah sakit dan lain sebagainya.

Syukur alhamdulillah, baru-baru ini majalah “Swa” memberitakan bahwa beberapa tokoh pengusaha sukses ternyata telah aktif dalam kegiatan-kegiatan sosial, yang secara langsung mau pun tidak langsung, telah menggambarkan diri mereka sebagai figur yang tidak serakah, karena telah nyata-nyata bekerja untuk kepentingan orang banyak. Di antara para pengusaha yang tampil sebagai philanthropist (dermawan) itu terdapat antara lain: Sudamek (Kacang Garuda), Jakob Oetama (Kompas), Martha Tilaar (Martina Berto), Raam Punjabi (Multivision Plus), Rudy J. Pesik (Birotika Semesta/DHL), Soedarpo Sastrosatomo (Samudera Indonesia), Sofyan Wanandi (Gemala Group) dan lain-lain.

Orang terkaya di dunia pun, Bill Gates, yang selama ini ditengarai sebagai tokoh bisnis yang serakah, ternyata merupakan seorang dermawan pula. Ia menyumbangkan banyak dana untuk kepentingan pemberantasan penyakit AIDS dan malaria, melalui “Bill and Melinda Gates Foundation”. Dan jangan kaget, kalau biang kerok krisis keuangan George Soros pun ternyata termasuk dalam barisan para philanthropist. Ia konon telah merelakan uangnya sebesar 5.40 milyar dolar Amerika untuk kepentingan sosial.

Kita berdoa, semoga makin banyak wirausahawan, kecil mau pun besar, yang tidak sudi terperosok ke dalam jebakan keserakahan, untuk makin menunjukkan dirinya sebagai pengusaha dermawan yang peduli pada sesama.

(*** Ditulis sebagai pelengkap tulisan Roni Yuzirman “Karena serakah kawan saya bangkrut” ***)

SALAM WIRAUSAHA

Rusman Hakim
Pengamat Kewirausahaan
rusman@gacerindo.com
Blog: http://rusmanhakim.blogspot.com
Web: http: //www.gacerindo.com
Mobile: 0816.144.2792

Monday, May 08, 2006

Sukses - lanjutannya?

“Sukses – apa lanjutannya?” Ini sebuah judul email yang menggelitik. Simpel, tapi susah jawabnya ya kan? Pertanyaan “sukses itu apa?”, sudah susah dijawab, apalagi lanjutannya..?

Nah, kalau kita mengacu kepada pendapat mayoritas masyarakat yang pada umumnya menganggap bahwa sukses itu identik dengan uang, maka ada baiknya kalau kita meninjau lebih jauh apa gerangan yang ada di balik itu semua. “Money oriented people” biasanya beranggapan bahwa pada saat Anda berhasil mengumpulkan sejumlah besar uang, maka di situlah letak kesuksesan Anda. Kesuksesan yang bersifat terminal, artinya Anda telah sampai ke titik akhir dari sebuah perjuangan panjang. Titik di mana Anda tidak perlu lagi bekerja, titik di mana Anda juga telah memperoleh kebebasan penuh, kebebasan untuk berbuat apa saja sekehendak hati. Mau tidur di saat orang lain sibuk pergi ke kantor, ya boleh saja. Mau jalan-jalan ke luar negeri atau main golf di saat orang lain sedang bersitegang di ruang rapat, ya nggak ada yang larang. Pokoknya, apa pun yang Anda mau lakukan, tidak akan ada yang keberatan. Istri, suami, kerabat, famili, pegawai, dan siapa pun, termasuk mertua pun pasti tak akan menegur, apalagi mencegah. Toh Anda sudah kaya, dan barangkali inilah yang kebanyakan orang mengartikannya sebagai indiksasi sebuah “financial freedom”. Kebebasan keuangan, merdeka secara finansial!

Bayangkan, sementara orang-orang lain masih menjadi budak uang, bekerja mati-matian setiap hari untuk dapat memburu uang, Anda justru telah berhasil menjajah uang, menyuruhnya bekerja untuk mengundang teman-temannya yang lain menjadi pekerja Anda. Hebat sekali kan?

Ya benar. Anda hebat. Hanya saja, kaya atau sukses itu sifatnya relatif. Tidak definitif. Sukses atau kesuksesan sudah pasti sulit untuk dibuatkan tolok ukurnya. Kalau kaya? Bisakah diambilkan angka-angka yang bisa mewakili kesuksesan kita?

Kalau si Badu yang berpenghasilan 2 juta rupiah sebulan, berjalan-jalan di sebuah perkampungan kumuh yang penduduknya banyak busung lapar, maka dia mungkin akan merasa dialah orang terkaya di lingkungan itu. Tapi kalau ia kemudian melintas di kompleks elit semacam Pondok Indah Jakarta, kemungkinan besar ia akan merasa berubah miskin seketika itu juga. Seorang teman yang pengusaha, selama ini merasa telah mencapai tingkatan hidup yang “financial free” sehingga mengekspresikannya dengan bepergian ke luar negeri berulang kali setiap tahun. Namun suatu saat, ia berkata kepada saya, bagaimana ia merasa miskin kembali, saat mengunjungi Hollywood di Amerika Serikat. Lho, bagaimana ini? Siapa miskin, siapa kaya?

Yang saya dengar, orang terkaya di dunia yang namanya Bill Gates juga masih datang ke kantor setiap hari. Aneh ya, apakah ia ini merasa masih kurang kaya atau kurang sukses? Atau belum benar-benar “financial free”?

Yah, itulah yang namanya sebuah relativitas. Saya hanya berfikir, andaikata Anda menganggap kelimpahan uang sebagai sebuah terminal akhir, maka Dewa Kesuksesan akan menyambut Anda dengan kata-kata: “Happy landing in your own paradise..” lalu Anda dipersilahkan masuk kesebuah pintu gerbang yang di dalamnya terhampar sebuah padang rumput hijau indah serta luas tiada bertepi. Sepintas pemandangan itu sangat-sangat indah, tapi Anda bingung harus melangkah ke mana. Yang umum terjadi, pada masa-masa awal orang akan sangat menikmati terminal akhir dari sebuah kesuksesan seperti itu, namun perlahan tapi pasti, di suatu batas ia akan mengalami kejenuhan yang menyebabkannya merasa kehilangan tujuan.
Saya mendeteksi fenomena itu sebagai sebuah sindrom. Dari pembicaraan dengan beberapa rekan yang berkompetensi dalam aspek-aspek kejiwaan, belum ditemukan istilah yang benar-benar tepat dan baku untuk itu. Oleh karenanya saya cenderung untuk memberi istilah sebagai “sindrom kehilangan tujuan”, atau kalau boleh disingkat, kita sebut saja sebagai “SKT”.

Penyebab sindrom tersebut adalah karena seseorang menganggap “keberhasilan dalam mengumpulan banyak uang” sebagai sebuah titik akhir dari sebuah perjuangan. Dan bila keberhasilan sebagaimana yang didefinisikan itu telah tercapai, maka saat itulah “sidrom kehilangan tujuan” akan muncul.

Dampak dari SKT ini cenderung negatif, dan bisa terjangkit pada semua orang dari profesi apa saja, dan tersebar mulai dari lapisan masyarakat paling bawah, sampai ke lapisan paling atas.

Di tingkat lapisan masyarakat bawah, bisa kita lihat gejala SKT menghinggapi mereka yang merasa kebutuhan pokoknya telah terpenuhi. Beberapa rekan yang bekerja sebagai sopir atau pesuruh kantor (office boy) di perusahaan-perusahaan besar, menerima gaji yang jauh lebih tinggi, bila dibanding karyawan sejenis di perusahaan lain. Gaji tersebut sudah berlebihan menurut kebutuhan mereka, sehingga walau sebagian ditabung, masih ada sejumlah uang tersisa yang entah untuk apa nantinya digunakan.

Mereka akhirnya terkena SKT, karena setelah semua kebutuhan pokok dan nafkah keluarga telah terpenuhi, untuk apa lagi kelebihan uang itu ? Apa lagi yang harus dilakukan ? Maka. seperti telah disinggung di atas, SKT cenderung berakibat negatif. Sebagian dari mereka akhirnya pergi ke dunia gelap, foya-foya, mabuk-mabuk dan banyak yang merencanakan kawin lagi.

Pada tingkat menengah, gejalanya tidak jauh berbeda. Foya-foya sudah menjadi standar yang lumrah. Kalangan menengah biasanya menginjak taraf kemapanan sekitar umur 40-an tahun. Maka SKT menjelma dalam bentuk yang sudah sangat dikenal masyarakat, antara lain berupa “masa puber kedua” dan semacamnya. Makin tinggi tingkat kecukupan seseorang dalam soal materi—(ini sering diidentikkan orang sebagai keberhasilan hidup)--SKT menampakkan dampaknya lebih dahsyat.

Di kalangan atas, banyak dari kaum elit memelihara istri-istri simpanan, mencari hiburan keluar negeri, berjudi di pusat-pusat perjudian internasional. Yang lebih parah, para pengusaha raksasa yang terkena SKT, melanjutkan sepak terjangnya dengan merugikan orang lain, misalnya mencaplok perusahaan-perusahaan yang lebih kecil, berkolusi untuk menguasai lahan-lahan milik masyarakat yang berpotensi ekonomi dan banyak tindakan-tindakan tidak etis lainnya.

Lain halnya apabila seseorang menganggap keberhasilan dalam mengumpulkan kekayaan materi sebagai sebuah “titik awal” dari sebuah perjalanan lanjutan menuju kesuksesan lain yang lebih bermakna dan lebih berkualitas. Orang-orang tipe ini tidak akan terkena sindrom, sebab Dewa Kesuksesan tidak menyambut mereka dengan kata-kata: “Happy landing…...”, melainkan dengan ucapan “Welcome on board..”, untuk selanjutnya mempersilahkan orang sukses menaiki kapal yang dikemudikannya, lalu berlayar menuju pulau-pulau kesuksesan berikut.

Apa saja yang dimaksud dengan pulau-pulau kesuksesan berikut itu? Ya, antara lain mendirikan pabrik-pabrik baru yang mampu menampung banyak pekerja dalam rangka menanggulangi kasus pengangguran, mendirikan bank-bank perkreditan rakyat yang membantu kelangsungan usaha rakyat kecil, mendirikan yayasan-yayasan yang membina kaum jompo dan yatim piatu, sekolah-sekolah dan last but not least… menyelenggarakan seminar-seminar dan pelatihan-pelatihan kewirausahaan untuk berbagi pengetahuan serta pengalaman, agar banyak orang dapat mengikuti jejaknya menjadi pengusaha yang berhasil….



Rusman Hakim
Pengamat Kewirausahaan
Email: rusman@gacerindo.com
Blog: http://rusmanhakim.blogspot.com
Group: gacerindo-club@yahoogroups.com
Mobile: 0816-144.2792