Sunday, April 30, 2006

Jangan Menilai Sebuah Buku Hanya Dengan Membaca Satu Halaman Saja

Jangan Menilai Sebuah Buku Hanya Dengan Membaca Satu Halaman Saja

Jika Anda sekarang adalah seorang wirausahawan yang cukup berhasil, lalu Anda bertemu dengan seorang karyawan yang tampak rajin bekerja, akankah Anda lantas mencibir, seraya berkata dalam hati: “Hm, inilah figur seorang karyawan dan ia bekerja setengah mati, padahal biar sampai tua pun, ia tidak akan pernah bisa kaya..”
Kalau demikian halnya, kemungkinan besar Anda telah melakukan sebuah kekeliruan. Sebab, Anda telah melakukan penilaian atas masa depan seseorang hanya dari statusnya saat ini. Anda telah memvonis sebuah buku tebal hanya dengan membaca 1 halaman permulaan saja.
Ada banyak macam motivasi yang menyebabkan seseorang menjadi karyawan. Ada yang memang semata-mata karena alasan ekonomi demi mencari nafkah sehari-hari. Ada pula yang istilah kasarnya, ingin “numpang hidup”. Ada juga yang ingin mendapatkan status sosial. (Karyawan jenis ini biasanya bisa dicirikan dari kecenderungannya mencari kerja pada perusahaan-perusahaan besar atau perusahaan asing yang memiliki reputasi internasional/MNC = Multi National Company). Tapi ada satu jenis lagi yang perlu kita cermati, yaitu mereka yang sebenarnya berjiwa wirausaha, tapi karena perhitungan tertentu, mereka memilih untuk terlebih dahulu menjadi karyawan di perusahaan orang lain. (Tentang seluk-beluk motivasi kerja ini, Anda dapat membaca buku saya “Cermin Kepemimpinan” terbitan PT Elex Media Komputindo).
Alasan seorang cikal-bakal wirausahawan menjadi karyawan terlebih dulu, biasanya tidak jauh dari 2 hal penting: mengumpulkan modal, serta belajar dari pengalamannya bekerja di perusahaan orang lain.
Tahukah Anda bahwa ada banyak sekali tokoh-tokoh kewirausahaan yang berasal dari kuadran E (mployee)? Beberapa di antaranya adalah:
1) Konosuke Matsushita: Tokoh ini adalah tokoh wirausaha kelas dunia. Ialah raja peralatan listrik dari Jepang, dengan perusahaannya Matsushita Corporation. Ia merintis karirnya dengan jalan bekerja pada orang lain terlebih dahulu, antara lain menjadi pegawai toko sepeda dan karyawan perusahaan listrik.
2) Stan Shih: Ia adalah seorang tokoh bisnis asal Taiwan, yang berhasil membangun perusahaan produsen komputer merek ACER. Sebelum sukses meluncurkan Acer menjadi perusahan kaliber internasional, ia adalah seorang karyawan dari perusahaan elektronika “Qualitron”.
3) Enny Hardjanto: Saya rasa Anda tahu tokoh yang satu ini, sebab dulu ialah yang sering menghubungi Anda dalam urusan kartu kredit Citibank. Ya, Enny dulunya adalah Vice President Citibank Indonesia. Tapi ia telah memilih dunia usaha sebagai jalur karir lanjutannya, dengan mendirikan PT Hanesa Endera Sakti.

Dapatkah Anda membayangkan, seandainya Anda sebagai entrepreneur pada suatu saat bertemu tokoh-tokoh ini ketika mereka berstatus karyawan, lalu Anda mencibir kepada mereka seraya menggumam: “Anda karyawan, dan Anda tidak akan bisa kaya..” Beberapa tahun kemudian Anda bertemu lagi dengan mereka, dan ternyata tokoh-tokoh itu telah berlipat-lipat kali lebih sukses dari Anda, apa yang Anda rasakan? Saya rasa, sedikitnya Anda akan terperangah…bukan?
Kalau kita mengira bahwa “kewirausahaan” itu adalah sebuah profesi, maka saya khawatir bahwa kita telah keliru. Kewirausahaan sejatinya adalah sebuah nilai (entrepreneurship value) yang perwujudannya harus didukung oleh semangat kewirausahaan (entrepreneurship spirit). Oleh sebab itu, jangan heran kalau sekarang ini telah berkembang wacana tentang kewirausahaan di lingkungan perusahaan, yang penerapannya melibatkan para karyawan. Wacana itu sekarang populer dengan istilah “Intrapreneurship”. Tidak kurang dari perusahaan-perusahaan raksasa kaliber dunia sekarang terlibat dalam kegiatan-kegiatan Intrapreneurship, antara lain IBM, Xerox, Kodak dan lain sebagainya. (Lain kali akan saya coba untuk mengulas tentang Intrapreneurship ini).



Rusman Hakim
Pengamat Kewirausahaan
Email: rusman@gacerindo.com
Blog: http://rusmanhakim.blogspot.com
Group: gacerindo-club@yahoogroups.com
Mobile: 0816-144.2792

KUADRAN “E” Versus KUADRAN “B”

KUADRAN “E” Versus KUADRAN “B”

Belum lama ini, penerbit Elex Media Komputindo (Gramedia Group) meluncurkan sebuah buku yang berjudul “Siapa Bilang Karyawan Tidak Bisa Kaya” kepada masyarakat yang memang haus akan buku-buku kiat sukses kehidupan. Buku buah karya Safir Senduk itu rupanya memang sangat menarik, terbukti dari cukup hangatnya sambutan dari berbagai kalangan di masyarakat. Tidak heran kalau kemudian, beberapa orang pembaca yang merasa terinspirasi, lantas membawa isu ini ke berbagai milis internet.
Tanpa diduga, naiknya judul buku tersebut ke dunia maya, telah mengundang adu argumentasi antara sejumlah peserta milis yang mendukung ide bahwa karyawan pun bisa menjadi kaya, melawan sekelompok peserta lainnya yang menentang ide dimaksud. Kelompok terakhir ini, yang hampir seluruhnya merupakan para wirausahawan, berkilah bahwa sekaya-kayanya seorang karyawan akan lebih kaya seorang majikan (note bene adalah pengusaha) yang mempekerjakan karyawan.
Sebenarnya, masalah apakah yang dijadikan fokus perdebatan tersebut? Apakah hanya semata-mata soal jumlah kekayaan yang akan mampu diraih seorang pengusaha dibanding yang mungkin bisa dikumpulkan seorang karyawan?
Saya menyempatkan diri untuk berfikir sejenak seusai membaca berbagai e-mail yang terlibat dalam wacana ini. Saya merasakan adanya aroma persaingan, antara satu kelompok sosial yang terdiri dari orang-orang yang berprofesi sebagai karyawan, dengan kelompok lain yang menyatakan dirinya sebagai kelompok entrepreneur. Ada nuansa yang merefleksikan “upaya perlawanan” kelompok karyawan yang selama ini dianggap “tidak mungkin bisa kaya”, terhadap dominasi kelompok pengusaha yang sudah terlanjur menjadi simbol kekayaan serta kesuksesan.
Kenapa dua kelompok profesi itu harus saling bertentangan, sampai “berseteru” di internet? Bukankah semua tahu bahwa seharusnya mereka saling membutuhkan?
Bila seorang entrepreneur mengkampanyekan isu kewirausahaan agar orang lain mau menjadi “Business Owner”, itu adalah hal yang baik dan sah-sah saja. Tapi pasti bukan dengan maksud agar semua orang menjadi pengusaha sehingga tidak ada lagi orang yang mau menjadi karyawan, bukan? Sebaliknya, bila seorang pekerja mengklaim bahwa profesi sebagai karyawan merupakan sebuah kemuliaan, itu juga hal yang sangat benar, dan tak perlu dibantah. Tapi tentunya bukan semata-mata karena ingin kaya, kan?
Nah, sekarang, coba bayangkan, apabila para pengusaha harus menjalankan usahanya tanpa dukungan seorang karyawan pun, masih mungkinkah Robert Kiyosaki mengelompokkan orang-orang ini di kuadran “B”? Di lain pihak, kalau karyawan mau bekerja, tapi tidak ada pengusaha yang membayar gajinya, masihkah kelompok ini ditempatkan di kuadran “E”?
Saya rasa, jelas dan gamblang, jawabannya adalah: tidak. Kenapa?
Sebab, bila terjadi keadaan seperti itu, di mana pengusaha bekerja tanpa karyawan (karena tidak ada lagi orang yang mau jadi karyawan), dan karyawan bekerja tanpa majikan (karena jadi karyawan toh sudah bisa kaya), maka kedua-duanya akan terlempar ke kuadran S, kuadrannya orang-orang yang berstatus “Self Employed” !
Hal ini tentu memberi pencerahan kepada kita bahwa mempertentangkan kedua kuadran “E” dan “B” akan merupakan pekerjaan yang “jauh panggang dari api”. Setiap orang menjalankan karmanya masing-masing, yang satu berbeda dengan yang lain. Biarlah mereka yang garis tangannya menjadi karyawan, berbahagia dengan kehidupannya sebagai karyawan berikut segala suka dan dukanya. Dan biarlah mereka yang ditakdirkan menjadi pengusaha tetap berbahagia dengan status pengusahanya, lengkap pula dengan segala suka dukanya. Semua profesi adalah terhormat, dan tidak ada satu profesi yang lebih terhormat dari profesi yang lain. Yang jelas, setiap profesi merupakan satu komponen dari sebuah jaringan maha besar dalam kehidupan ini, yaitu “interdependency”, di mana setiap orang memiliki ketergantungan pada orang lainnya.


Rusman Hakim
Pengamat Kewirausahaan
Email: rusman@gacerindo.com
Blog: http://rusmanhakim.blogspot.com
Group: gacerindo-club@yahoogroups.com
Mobile: 0816-144.2792

Wednesday, April 26, 2006

Terjun Langsung ke Dunia Usaha?

TERJUN LANGSUNG KE DUNIA USAHA?


Di dalam milis wirausaha, kerap kita jumpai e-mail yang nadanya menghimbau seseorang untuk segera terjun ke dunia usaha. Kata-kata himbauannya kira-kira seperti ini: “Langsung aja mandi, gak usah kebanyakan mikir..”, atau “Langsung aja terjun, kalau terlalu banyak pertimbangan, ya gak akan pernah jadi…”, dst…dst..

E-mail seperti itu sudah sering muncul di berbagai milis internet. Namun demikian, kenyataan tetap memperlihatkan, bahwasanya pendamba kewirausahaan yang masih belum berani terjun total, jumlahnya cukup banyak. Ada yang masih bertahan dalam status sebagai pegawai orang lain, dan ada juga yang setelah sekian lama, masih saja dalam keadaan “bertanya-kanan-bertanya-kiri” tanpa tujuan yang jelas. Lho, kenapa begitu?

Saya sangat setuju dengan himbauan “langsung terjun” ini. Sebab benar, kalau terlalu banyak pertimbangan ini-itu, biasanya minat tinggallah minat, yang selamanya tidak kunjung menjadi kenyataan.

Namun demikian, saya merasa perlu memberikan tambahan kata-kata: “dengan catatan”. Catatan apa?

Catatan bahwa sebelum terjun, calon pengusaha seyogyanya sudah mempunyai sebuah “peta perjalanan” yang benar dan baik. “Benar” artinya sesuai dengan yang dibutuhkan, “baik” artinya dilengkapi data-data yang terpercaya. Ambil contoh, kalau kita ingin berlayar dari Jakarta menuju Sorong di Papua, maka harus ada peta yang akan menuntun kita melayari rute-rute pelayaran yang aman. Dengan peta yang sama kita juga akan dapat menentukan tempat-tempat di mana akan transit, seperti Surabaya, Makassar, Ambon untuk selanjutnya sampai di Sorong. Bayangkan kalau kita tidak mempunyai peta sama sekali, betapa besarnya risiko pelayaran tersebut?

Apa yang dimaksud dengan “peta perjalanan” dalam urusan memulai sebuah bisnis, tidak lain adalah sebuah rencana usaha, atau dalam istilah yang umum, disebut “Business Plan” (BP). Dengan BP inilah, seorang kandidat pengusaha akan dapat memantapkan kepercayaan dirinya, untuk tidak ragu-ragu terjun serius ke dalam bisnis. Sebab, ia akan tahu secara pasti apa sebenarnya tujuan usahanya (visi), sebagaimana dalam contoh di atas, seakan-akan pelayarannya telah ditetapkan menuju kota Sorong. Ia akan tahu pula, misi-misi apa sajakah yang harus dilakukan, yang digambarkan bagaimana perjalanannya akan melalui kota-kota Surabaya, Makassar dan Ambon untuk transit. Di samping itu, dengan BP, seorang pengusaha menjadi arif untuk tidak memasuki bidang-bidang yang berisiko bagi bisnisnya, sebagaimana kapalnya akan berlayar menjauhi tempat-tempat berbahaya yang penuh batu karang, alur badai dan lain sebagainya. Ia pun akan mengerti dari mana ia akan memperoleh dan mengelola sumber-sumber daya yang diperlukan, termasuk sumber daya keuangan, seperti halnya bagaimana ia akan mendapatkan bahan bakar saat memulai pelayaran, dan bagaimana pengisian selanjutnya di perjalanan.

Tidaklah cukup terjun ke dunia usaha yang maha luas -- yang luasnya bagaikan lautan tak bertepi -- hanya berbekal motivasi saja. Memang motivasi adalah modal dasar kita untuk melakukan segala sesuatu, karena tanpa motivasi orang akan loyo sebelum bertindak apa pun. Namun demikian, tanpa sebuah peta yang benar dan baik, kemungkinan terbesarnya kita akan menemui risiko yang bukan tidak mungkin akan berakibat fatal bagi bisnis, sekaligus masa depan kita. Tidak peduli seberapa besar pun motivasi yang kita miliki.

Stephen Covey mempunyai penggambaran yang menarik tentang motivasi ini. Ia mengandaikan, kalau seseorang ingin berkendara berkeliling di dalam kota Michigan, sedangkan orang itu tidak mempunyai peta kota tersebut, lalu malah meggunakan peta kota Detroit, maka semakin tinggi motivasinya, makin cepat pula ia akan tersesat.

Kita tidak akan menutup mata akan adanya beberapa orang tertentu yang dengan berani terjun ke dunia bisnis tanpa panduan apa pun pada awalnya, dan sukses! Akan tetapi, berapa banyak jumlah orang yang demikian? Terus terang saya tidak mempunya data yang akurat tentang hal tsb., tapi menurut pengamatan jumlahnya tidak akan banyak, 10% pun sudah terlalu banyak. Dari sejumlah kasus seperti itu, umumnya yang berperan adalah faktor keberuntungan, yang tentu saja tidak akan dapat menjadi acuan bagi kita.

Mungkin Anda pernah membaca tentang sejarah asal muasal nenek moyang bangsa Indonesia? Literatur mengatakan bahwa bangsa kita ini sebenarnya berasal dari sebuah daerah di Asia, yang waktu itu dinamakan India Belakang. Kalau tidak salah, letaknya kira-kira berdekatan dengan negeri Vietnam sekarang ini. Nah, waktu itu, disebabkan musim paceklik dan bencana alam, ditambah lagi dengan kezaliman penguasa, beribu-ribu penduduk melakukan eksodus, melarikan diri dengan kapal-kapal kayu mengarungi samudera maha luas untuk mengungsi. Mereka memutuskan pergi ke arah selatan dengan harapan akan menemukan sebuah negeri baru yang masih kosong untuk dapat mereka tinggali. Maka tanpa persiapan yang memadai, ribuan orang itu pun beramai-ramai berlayar ke selatan menggunakan ratusan bahkan ribuan kapal-kapal kecil yang terbuat dari kayu. Apa yang terjadi? Sebagian kecil dari mereka, tidak sampai 30% nya selamat mencapai daratan baru yang dinamakan Nusantara, tapi sebagian besarnya, lebih dari 70% gagal mencapai tujuan. Sebagian tenggelam di tengah laut dan menjadi mangsa ikan hiu, sebagian lagi tersapu badai hilang entah ke mana, dan selebihnya mati karena sakit dan kelaparan.

Pelajaran yang dapat diambil dari peristiwa sejarah ini adalah bahwa barang siapa terjun ke suatu kancah perjuangan tanpa persiapan yang matang, apalagi tanpa persiapan sama sekali, maka kemungkinan “survival”nya adalah kecil sekali, tidak sampai 30%, bahkan mungkin jauh lebih kecil lagi.

Saya, dan tentu saja kita semua, pasti tidak menginginkan ada kejadian di mana calon-calon wirausahawan Indonesia yang jumlahnya ribuan, terjun berama-ramai ke dalam dunia wiraswasta begitu saja tanpa berbekal peta yang benar dan baik, untuk kemudian sebagian besar lenyap “tersapu bersih” oleh ganasnya lautan dunia usaha, atau menjadi mangsa binatang-binatang bisnis (business animal) yang buas atau mungkin juga tersesat di rimba raya perdagangan dan industri, sampai kehabisan sumber daya sama sekali. Saya sedih dan terharu ketika beberapa waktu yang lalu, sempat membaca e-mail seorang rekan yang menceritakan bagaimana ia, karena begitu terobsesi dengan buku-buku seri financial freedom dari Robert “Rich Dad Poor Dad” Kiyosaki, dengan serta merta melepaskan pekerjaan dan jabatan yang mapan di Citibank Jakarta, untuk kemudian terjun penuh ke dunia bisnis. Ternyata, keputusan yang hanya didasari oleh motivasi menggebu-gebu itu memaksanya untuk menerima kenyataan bahwa cuma dalam waktu relatif singkat, ia harus kehilangan segala-galanya. Menjadi miskin dan harus mencari-cari pekerjaan baru guna mengulang perjalanan karir kembali dari bawah… Dan saya lebih terharu lagi ketika rekan ini pada baris-baris terakhir e-mailnya dengan jiwa besar dan patriotik sekali mengaku tidak menyesal dan suatu saat akan kembali ke dunia wirausaha..

Dunia bisnis adalah sebuah kancah perjuangan. Kalau kita bandingkan itu sebagai sebuah peperangan, maka panglima perang Sun Tzu pernah bersabda: “Apabila Anda menginginkan kemenangan di medan perang, maka terlebih dahulu Anda harus mengenal dengan baik keadaan sekitar, sungai-sungai, gunung-gunung serta hutan-hutan yang ada, dengan demikian baru pintu kemenangan akan terbuka untuk Anda ..”

Safety Net

Masih takut untuk terjun segera ke dunia usaha?

Kalau sebuah Business Plan belum cukup untuk membuat Anda berani terjun berbisnis, maka ijinkan saya untuk berbagi beberapa kiat tambahan guna memberikan rasa aman lebih jauh. Kiat-kiat ini, fungsinya mirip dengan perangkat “safety net”, semacam jaring pengaman yang biasa digunakan oleh para pemain akrobat, khususnya pemain trapeze. Dengan demikian, bila Anda jatuh, masih ada “sesuatu” yang akan menjaga keselamatan Anda sehingga tidak perlu mengalami bencana yang terlalu fatal.

• Memulai Usaha Tidak Berarti Harus Menyediakan Sejumlah Uang: Kebanyakan orang mengartikan mulainya sebuah usaha identik dengan keharusan menyediakan sejumlah besar uang untuk investasi awal. Apakah itu untuk kantor, pabrik, peralatan, overhead dan lain sebagainya. Sebenarnya, tidaklah harus demikian. Sebuah upaya kewirausahaan dapat dimulai tanpa investasi apa pun. Modal dengkul pun bisa. Pada kesempatan mendatang saya akan sampaikan sebuah artikel, bagaimana seorang wirausahawan dapat mengembangkan diri mulai dari modal dengkul, sampai dapat berbisnis helikopter. Oleh sebab itu, camkanlah bahwa Anda tidak boleh dan tidak usah mengeluarkan dana apa pun di awal usaha.
• Pergunakan Potensi Orang Lain: Prinsip BODOL (Bisnis Optimis Duit Orang Lain) adalah prinsip yang benar, selama Anda dapat memegang etika bisnis dengan baik. Kalau Anda mempunyai sebuah konsep usaha yang bagus, Anda dapat menuliskannya dalam sebuah proposal yang menarik, lalu cari seseorang dari kuadran I (Investor) untuk bekerja sama.
• Pergunakan Kemapanan Bisnis Orang Lain: Ini adalah sebuah konsep yang sudah sangat dikenal, wujudnya antara lain bisa berupa franchise atau semacamnya.
• Berbagi Tugas Strategis Dengan Istri/Suami: Kiprah Anda di dunia usaha akan jauh lebih aman kalau Anda berbagi tugas dengan pasangan, yaitu sementara Anda berjuang di dunia kewirausahaan, istri atau suami tetap bekerja sebagai karyawan. Dengan demikian, pengeluaran rumah tangga dapat dialokasikan pada penghasilan pasangan Anda, dan tidak boleh diganggu gugat untuk keperluan bisnis.
• Dan banyak Lagi…

Saya berharap, tulisan ini sedikit banyak akan dapat memberi sumbangan bagi rekan-rekan wirausahawan guna menambah wawasan pemikiran sekaligus membantu rekan-rekan lain yang mungkin masih merasa gamang untuk terjun langsung ke dunia bisnis. Bagi yang barangkali masih belum terlalu familiar dengan apa yang disebut “Business Plan” dan ingin berdiskusi lebih jauh, silahkan menghubungi saya.

Pada kesempatan mendatang, mudah-mudahan saya akan bisa menyusulkan sebuah tulisan lagi tentang bagaimana “tidak terjun”, melainkan “turun perlahan” ke dunia bisnis dengan bantuan “tali pengaman”.

Salam sukses,


Rusman Hakim
Pengamat Kewirausahaan
Email: rusman@gacerindo.com
Blog: http://rusmanhakim.blogspot.com
Group: gacerindo-club@yahoogroups.com
Mobile: 0816-144.2792

Monday, April 10, 2006

KEWIRAUSAHAAN, SEBAGAI SEBUAH NILAI

KOLOM: ENTREPRENEURSHIP’S COMMON SENSE:

JUDUL : KEWIRAUSAHAAN, SEBAGAI SEBUAH NILAI
Oleh: Rusman Hakim

Dewasa ini, dunia kewirausahaan (kewiraswastaan) tampaknya sudah mulai diminati oleh masyarakat luas. Namun, karena kurangnya informasi, banyak orang merasa masih belum jelas tentang aspek-aspek apa saja yang melingkupi dunia wiraswasta. Sebagian orang beranggapan bahwa kewiraswastaan adalah dunianya kaum pengusaha besar dan mapan, lingkungannya para direktur dan pemilik PT, CV serta berbagai bentuk perusahaan lainnya. Oleh karena itu, kewirawastaan sering dianggap sebagai wacana tentang bagaimana menjadi kaya. Sedang kekayaan itu sendiri seakan-akan merupakan simbol keberhasilan dari kewiraswastaan.
Bukan hanya sebagian masyarakat awam yang berpikir demikian, karena ternyata beberapa lembaga pembinaan kewiraswastaan juga mempunyai persepsi yang mirip dengan itu. Pada beberapa kesempatan, lembaga-lembaga tersebut menampilkan figur tokoh-tokoh sukses yang katanya berhasil menjadi kaya, dengan jalan berwiraswasta. Figur sukses itu antara lain terdiri dari tokoh-tokoh pengusaha besar yang masyarakat mengenalnya sebagai orang-orang terkemuka yang dekat dengan para pejabat pemerintahan.
Terlepas dari siapa tokoh-tokoh sukses dan kaya yang ditampilkan itu, serta bagaimana cara mendapatkan kekayaannya, marilah kita kembali ke inti persoalan : “Benarkah kewiraswastaan merupakan wacana tentang bagaimana caranya untuk menjadi kaya ?”
Kalau bicara sekadar menjadi kaya, tentu semua orang maklum bahwa tidak semua orang kaya adalah pengusaha, sebaliknya tidak semua pengusaha adalah orang kaya. Rata-rata pejabat di Indonesia sudah termasuk orang kaya atau orang berada, apalagi kalau pejabat itu korup. Karyawan-karyawan swasta, terutama para general manager dan direktur juga banyak yang kaya. Bahkan, ada pengemis jalanan berpenghasilan lebih dari Rp. 300.000,- bersih per hari, dan jelas bahwa ia berpotensi untuk menjadi kaya. Dapatkah mereka semua, termasuk para koruptor dan pengemis, menjadi figur panutan dalam wacana kewirausahaan ? Rasanya tidak lah ya..?
Kewiraswastaan atau kewirausahaan sebenarnya bukanlah bertujuan untuk menjadi kaya. Setidaknya inilah yang dekemukakan oleh para perintis kewiraswastaan di Indonesia sejak 3 dekade yang lalu. Merintis masa depan dengan belajar menjadi pengusaha lebih mirip dengan belajar bagaimana mengemudikan kendaraan. Seorang instruktur pada sebuah sekolah mengemudi mobil pernah berkata pada para siswanya, yang dalam praktek selalu berusaha untuk menjalankan kendaraan dengan kecepatan tinggi : “Keterampilan mengemudi bukan dilihat dari seberapa cepat kendaraan dipacu. Karena memacu kecepatan adalah hal yang mudah. Itu hanya soal seberapa dalam kita menginjak pedal gas. Ilmu mengemudi lebih merupakan keterampilan bagaimana menjalankan mobil dari keadaan tidak bergerak, menjadi bergerak dan berjalan dengan stabil, serta bermanuver dengan baik sesuai keadaan, berbelok, maju, mundur, parkir, menanjak, menurun dan lain sebagainya, tanpa membahayakan diri sendiri ataupun orang lain. Kecepatan adalah soal lain..”
Apa yang dikatakan sang instruktur memang benar. Keberhasilan mengemudi bukan dilihat dari seberapa cepat kendaraan dipacu. Demikian pun keadaannya dengan kewiraswastaan. Keberhasilan berwiraswasta tidaklah identik dengan seberapa berhasil seseorang mengumpulkan uang atau harta serta menjadi kaya, karena kekayaan bisa diperoleh dengan berbagai cara, termasuk mencuri, merampok, korupsi, melacur dan lain-lain perbuatan negatif. Sebaliknya kewiraswastaan lebih melihat bagaimana seseorang bisa membentuk, mendirikan serta menjalankan usaha dari sesuatu yang tadinya tidak berbentuk, tidak berjalan bahkan mungkin tidak ada sama sekali. Seberapa kecil pun ukuran suatu usaha, jika dimulai dengan niat baik, cara-cara yang bersih, keberanian dan kemandirian, sejak dari nol dan kemudian bisa berjalan dengan baik, maka nilai kewiraswastaannya jelas lebih berharga, daripada sebuah perusahaan besar yang dimulai dengan bergelimang fasilitas, penuh kolusi serta sarat dengan keculasan.
Dalam kewiraswastaan, kekayaan menjadi relatif sifatnya. Ia hanya merupakan produk bawaan (by-product) dari sebuah usaha yang berorientasi kearah prestasi. Prestasi kerja manusia yang ingin mengaktualisasikan diri dalam suatu kehidupan mandiri. Ada pengusaha yang sudah amat sukses dan kaya, tapi tidak pernah menampilkan diri sebagai orang yang hidup bermewah-mewah, dan ada juga orang yang sebenarnya belum bisa dikatakan kaya, namun berpenampilan begitu glamor dengan pakaian dan perhiasan yang amat mencolok. Maka soal kekayaan pada akhirnya terpulang kepada masing-masing individu. Keadaan kaya-miskin, sukses-gagal, naik dan jatuh merupakan keadaan yang bisa terjadi kapan saja dalam kehidupan seorang pengusaha, tidak peduli betapapun piawainya dia. Kewiraswastaan hanya menggariskan bahwa seorang wiraswastawan yang baik adalah sosok pengusaha yang tidak sombong pada saat jaya, dan tidak berputus asa pada saat jatuh.
Tidak ada satu suku kata pun dari kata “wiraswasta” yang menunjukkan arti kearah pengejaran uang dan harta benda, tidak pula kata wiraswasta itu menunjuk pada salah satu strata, kasta, tingkatan sosial, golongan ataupun kelompok elit tertentu.
Terkadang orang tidak menyadari bahwa “wiraswasta” tidak sama dengan “swasta” dan “orang swasta” tidak dengan sendirinya merupakan wiraswastawan sejati, meskipun mungkin yang bersangkutan menyatakan diri begitu.. Ini disebabkan “wiraswasta” mengandung kata “wira”, yang mempunyai makna luhurnya budi pekerti, teladan, memiliki karakter yang baik, berjiwa kstaria dan patriotik. Oleh sebab itu dapat dipastikan bahwa seorang wiraswastawan sejati selalu memegang etika sebaik-baiknya dalam berbisnis.
Orang swasta yang berhasil mengumpulkan harta berlimpah, tidak dapat dikatakan sebagai wiraswastawan sejati, selama harta yang dikumpulkannya itu didapat dengan jalan yang tidak benar seperti kolusi, memeras, menipu, mafia-isme dan lain-lain aktivitas sejenis.
Saya menemukan bahwa kadang-kadang terjadi salah pengertian tentang istilah “kewiraswastaan” yang merupakan terjemahan dari kata asing “entrepreneurship”. Ada pendapat bahwa kewiraswastaan tidak hanya terjadi dikalangan orang atau perusahaan swasta saja, tetapi juga ada dilingkungan perkoperasian, lingkungan pendidikan bahkan dilingkungan badan-badan usaha milik pemerintah (BUMN). Oleh karenanya, “entrepreneurship” bukan monopoli kelompok perusahaan swasta saja. Maka kemudian timbul istilah “wirausaha” yang dianggap lebih universal dalam penerapannya. Gejala ini berlanjut lebih spesifik lagi dengan munculnya istilah “kewirakoperasian” untuk para aktivis koperasi.
Saya berpendapat, istilah “wiraswasta” tidak hanya menunjuk kepada orang-orang dari kalangan perusahaan swasta. Sebagai istilah yang mewakili kata “entrepreneurship”, penggunaannnya sudah sangat universal, sehingga sebetulnya tidak perlu lagi direvisi. Secara etimologi, sebagaimana dijelaskan oleh Dr. Suparman Sumahamidjaya, arti kata wiraswasta bisa diuraikan lebih kurang sebagai berikut :

wira = luhur, berani, jujur, ksatria.
swa = sendiri.
sta = berdiri.

Jadi, maksud dari kata wiraswasta adalah, mewujudkan aspirasi kehidupan berusaha yang mandiri dengan landasan keyakinan dan watak yang luhur. Lebih spesifiknya, kaum wiraswastawan sejati adalah mereka yang berani memutuskan untuk bersikap, berpikir dan bertindak secara mandiri, mencari nafkah dan berkarir dengan jalan berusaha di atas kemampuan sendiri, dengan cara yang jujur dan adil, jauh dari sifat-sifat keserakahan dan kecurangan.
Definisi di atas tidak membatasi bahwa wiraswastawan harus seorang yang menjalankan perusahaan milik sendiri. Dengan demikian kewiraswastaan berlaku di lingkungan manapun, termasuk koperasi, BUMN, pengusaha kaki lima, makelar bahkan di lingkungan karyawan sekalipun. Sebab apa? Karena kaum profesional yang status formalnya adalah seorang karyawan, pada hakikatnya merupakan seorang wiraswastawan juga, karena mereka bekerja dengan menjual “leadership”, atas dasar kemitraan bisnis yang adil dan saling menguntungkan, dan bukan atas dasar keinginan untuk “menumpang hidup” semata. Para distributor dari sebuah perusahaan multi-level-marketing, sebagaimana agen-agen asuransi, juga merupakan pribadi-pribadi yang berusaha secara mandiri dan mereka berwiraswasta. Beberapa perusahaan yang telah maju ternyata juga didirikan oleh para mantan karyawan yang memiliki naluri kewiraswastaan. Hal ini menguatkan bukti bahwa nilai-nilai kewiraswastaan memang ada dimana-mana. Hanya saja, kewirawastaan ada yang kelihatan secara jelas, ada yang tersembunyi.
Betapa pun saya menyambut baik munculnya berbagai istilah alternatif, karena hal tersebut dengan sendirinya akan memperkaya khasanah kosakata bahasa Indonesia yang masih memerlukan pembinaan-pembinaan lebih jauh. Sebab itu, dalam situs ini akan dipergunakan istilah “wiraswasta” dan “wirausaha” secara silih berganti, agar tidak menimbulkan kejenuhan.
Beberapa aktivitas yang memiliki kandungan nilai kewirausahaan, baik yang jelas maupun yang tersembunyi bisa dicontohkan sebagai berikut :

1). Pengusaha-pengusaha “kantoran” yang menjalankan perusahaan milik sendiri atau bermitra. Baik dari kelas pengusaha besar, menengah ataupun kecil.
2). Pengusaha-pengusaha seperti pedagang kaki lima, warung nasi, restoran, toko klontong, bengkel, salon dan lain-lain.
3). Pengusaha candak kulak, seperti bakul jamu, tukang bakso pikul/grobak, dan lain sebagaiya.
4). Pengurus dan anggota-anggota koperasi.
5). Tokoh-tokoh pemasaran, seperti para direktur dan manajer pemasaran, sales representative, business representative, salesmen/girl door to door.
6). Para distributor multi-level-marketing serta para agen asuransi.
7). Tokoh-tokoh profesi seperti dokter, pengacara, notaris, konsultan yang membuka praktik sendiri, sampai supir taksi.
8). Mereka yang menjalankan bisnis sambilan, tanpa melecehkan pekerjaan utamanya sebagai karyawan.
9). Para karyawan, yang sambil bekerja, berusaha mengumpulkan modal dan belajar untuk mempersiapkan diri menjadi pengusaha nantinya.
10). Para makelar yang jujur.
11). Kaum profesional yang menjual leadership pada perusahaan-perusahaan besar mulai dari yang menjabat sebagai presiden direktur, direktur atau manajer.
12). Pekerja free-lance, instruktur-instruktur aerobik, pelatih olahraga yang bekerja waktu penuh.

Sunday, April 09, 2006

KEPIAWAIAN MENJUAL


KOLOM: ENTREPRENEURSHIP’S COMMON SENSE:

JUDUL : KEPIAWAIAN MENJUAL
Februari 2006

Menguasai seluk beluk produk yang dijual, merupakan suatu keharusan bagi setiap penjual. Masalah ini mirip dengan kondisi seorang guru, yang terlebih dahulu harus menguasai suatu ilmu, sebelum bisa mengajarkannya pada murid-murid. Barangkali, tugas penjual lebih berat dari pada tugas seorang guru, karena kalau guru cukup mengajar sesuatu menurut apa adanya, maka seorang penjual selain mengajar dan memperagakan, ia harus juga dapat memikat konsumen agar tertarik membeli produk yang ia jajakan.
Seorang penjual tidak akan bisa menarik minat calon pelanggan, selama ia tidak mampu menjelaskan dengan baik semua hal-ihwal barang atau jasa yang ia tawarkan, atau ia tidak bisa menjawab setiap pertanyaan yang diajukan. Di atas itu, ia juga harus bisa mengalihkan pusat perhatian orang kepada faktor-faktor keunggulan produk secara maksimal, dan tanpa maksud menipu atau menyembunyikan hal-hal buruk, perlu diusahakan agar kesan orang terhadap faktor kelemahan produk bisa minimal. Perlu diingat, bahwa tidak ada yang sempurna didunia ini. Tidak ada gading yang tak retak. Produk yang baik adalah produk yang disiapkan secara teknis sedemikian rupa oleh pabrik, sehingga semua kelemahannya sudah diperhitungkan tidak akan merugikan pemakai, selama prosedur yang benar, diperhatikan baik-baik. Oleh karenanya, pengetahuan tentang produk perlu sekali dikuasai oleh semua penjual, agar dalam penyerahannya kepada konsumen tidak akan menimbulkan kesan ada unsur-unsur penipuan.
Walaupun tujuan peragaan adalah untuk menonjolkan keunggulan, namun unsur-unsur kelemahan harus juga disampaikan secara jujur. Untuk mengatasi kelemahan produk, umumnya pabrik telah menyiapkan prosedur-prosedur, aturan-aturan pemakaian yang harus diikuti oleh konsumen. Sampaikanlah itu semua, ajarkan dan beri contohnya. Dengan jalan ini, penjual akan mendapat rasa penghargaan dari konsumennya sebagai orang yang jujur dan profesional.
Ada beberapa penjual yang karena sifat malas dan ingin mudahnya saja, lantas mengabaikan keharusan memiliki pengetahuan produk. Ia tidak mau membaca spesifikasi barang, tidak juga mempelajari petunjuk pemakaian dan lain-lainnya, sehingga melakukan penjualan secara “amatiran”. Saat memberikan peragaan, ketika ditanya soal kelemahan produknya, ia cenderung menutup-nutupi seakan barang itu adalah barang paling sempurna didunia, atau ketika terdesak mencari jawaban, memberikan keterangan “ngawur” dan dikarang-karang sendiri. Akibatnya, calon pelanggan tidak respek terhadapnya. Mereka yang kritis malah curiga, jangan-jangan ini sebuah penipuan!
Selanjutnya, untuk mengantisipasi adanya persaingan dari produk-produk sejenis, seorang penjual dituntut untuk mampu menggali segala nilai tambah yang mungkin ada dan tersembunyi didalam sebuah komoditi. Misalnya, kita dapat mengambil sebuah model, umpamanya buku. Dimata orang yang memiliki naluri kewiraniagaan, buku tidak hanya berguna untuk satu hal tertentu saja, melainkan memiliki keaneka ragaman manfaat, antara lain sebagai sumber informasi ilmu pengetahuan, sebagai bahan bacaan dikala senggang, sebagai barang dagangan bagi kaum pedagang buku, untuk sarana menulis dan menggambar, untuk hadiah kepada seseorang, sebagai hiasan didalam rumah, sebagai status sosial bagi orang-orang terpelajar, bisa sebagai bahan sumbangan ke perpustakaan umum, bahkan buku bekas pun bisa dijual atau diloakkan.
Dengan berbekal kejelian melihat nilai tambah dari sebuah produk, seorang penjual akan bisa berhasil memenangkan sebuah persaingan yang amat ketat. Disini berlaku hukum relativitas atas “selling points” (faktor-faktor unggulan yang akan dijual) dari sebuah produk, yang mengatakan bahwa terjadi atau tidaknya sebuah transaksi penjualan, bukan ditentukan oleh kondisi produknya sendiri, melainkan oleh kelihaian siwiraniaganya. Yang dimaksud tentu kepiawaian wiraniaga tersebut dalam menggali selling points tadi. Ada pemeo yang mengatakan bahwa ditangan seorang penjual yang hebat, (maaf), kotoran manusia pun bisa berubah menjadi emas. Penulis melihat, pemeo ini bukanlah sekadar kata-kata kiasan yang terlalu dilebih-lebihkan, melainkan sebuah ungkapan yang benar terjadi secara fisik. Karena, ternyata ada seorang pengusaha yang berhasil sukses, dengan jalan berkecimpung dalam bidang “pertinjaan”, meliputi penyedotan, perbaikan dan pembuatan septic-tank, dan sebagainya. Tentu kita dapat menyimpulkan, bahwa sesungguhnyalah pengusaha tersebut mempunyai naluri bisnis yang amat tajam, sehingga bisa melihat dan memanipulasi nilai-tambah pada tinja untuk menjadi tambang emas bagi diri dan keluarganya !
Jelas bahwa setiap benda didunia ini mempunyai nilai manfaat, walaupun barang itu dibuat untuk maksud tertentu, atau malah mungkin tidak pernah dirancang untuk apapun juga, seperti daun kering misalnya, ia tetap bisa digunakan dan memiliki nilai tambah. Dengan kesadaran inilah seorang penjual akan bisa berkiprah sebaik-baiknya, seakan benda apapun akan bisa dijual tanpa banyak masalah.

SINCEREPRENEUR


SINCEREPRENEUR

Tahukan Anda bahwa saat ini banyak istilah-istilah berkembang di kalangan kewirausahaan di dunia, yang sangat berhubungan dengan istilah entrepreneur? Dari sekian banyak istilah itu, terdapat antara lain kata-kata: intrapreneurship, yang membahas soal-soal semangat kewirausahaan di lingkungan perusahaan, ultrapreneurship, yang menunjukkan mutu kewirausahaan yang istimewa dari seorang entrepreneur dan ada lagi yang namanya ecopreneur. Yang terakhir ini ditujukan pada pengusaha-pengusaha yang peduli terhadap kelestarian lingkungan.

Nah dalam kaitannya dengan pembahasan di atas, saya ingin berpartisipasi kepada dunia wirausaha dengan menyumbang sebuah istilah lagi, yang saya sebut dengan: sincerepreneur. Dan yang perlu saya tekankan di sini adalah bahwa ini bukanlah sekedar istilah, melainkan sebuah konsep. Yaitu konsep hidup yang seyogyanya dapat dilakoni oleh kita semua yang mengklaim diri sebagai entrepreneur.

Sincerepreneur berasal dari kata “sincere” yang berarti “tulus dan jujur” digabung dengan penggalan kata “entrepreneur”. Saya rasa mudah dimengerti apa yang saya maksud dengan istilah itu, yaitu tentang pengusaha yang benar-benar bekerja dengan hati yang tulus dan jujur, serta tidak untuk kepentingan diri sendiri saja, melainkan untuk dan mendahulukan kepentingan orang banyak. Secara pendek, konsep “sincerepreneur” adalah, “sekali kita berhasil memenuhi kebutuhan dasar untuk kehidupan kita dan keluarga, maka sejak itu pula kita mulai bekerja untuk orang lain..” Apa artinya?

Abraham Maslow telah membuat teori tentang kebutuhan manusia, yang disebut dengan segi tiga Maslow. Teori ini mengatakan bahwa kebutuhan manusia itu terdiri dari tingkatan-tingkatan. Yang pertama adalah kebutuhan dasar, meliputi makan, minum, pakaian dan lain sebagainya. Berikutnya adalah kebutuhan sosial, di mana orang perlu membangun hubungan-hubungan antar manusia guna menyempurnakan hajat hidupnya. Kemudian ada kebutuhan self esteem (pengakuan), aktualisasi diri serta kebutuhan spiritual.

Dalam konsep sincerepreneur, seorang usahawan mempunyai acuan bahwa setelah penghasilannya dapat menutupi kebutuhan dasar kehidupannya, artinya kebutuhan SPPK (sandang, pangan, papan dan kendaraan) nya terpenuhi, berikut kebutuhan keluarga seperti sekolah anak dan rekreasi ala kadarnya, maka sejak itu ia harus bekerja untuk kepentingan masyarakat. Uang lebih yang dimilikinya adalah milik masyarakat, yang harus ia gunakan untuk mendirikan perusahaan atau yayasan yang dapat menampung sebanyak-banyaknya orang bekerja. Meski pun ia tetap berhak menggunakan uangnya untuk apa pun yang ia anggap perlu, namun seyogyanya tidak menjurus kepada kepentingan pribadi yang berbau hura-hura, foya-foya, mengejar kenikmatan duniawi, atau pun yang bersifat mubazir.

Bagi seorang sincerepreneur, semua kegiatan yang berbau hura-hura dan mubazir, adalah dosa. Sebaliknya, semua kegiatan yang ditujukan atau ada kaitannya dengan membantu atau menolong orang lain, adalah wajib. Barangkali, hal demikian terdengar seperti mengada-ada dan sungguh sulit untuk dilakukan oleh sebagian besar orang. Tapi percayalah, orang perlu mengerti bahwa kebahagian dalam menolong orang lain adalah jauh lebih besar dari pada kebahagiaan dalam memperkaya diri sendiri. Kebahagian dalam berkorban adalah lebih nikmat dari pada kebahagiaan dalam kegiatan-kegiatan yang bersifat egoisme. Kebahagiaan dalam bekerja untuk orang lain adalah kebahagiaan spiritual yang langgeng dan hakiki, sedangkan kebahagian bekerja untuk diri sendiri bersifat pemuasan nafsu sekejap yang tak pernah terpuaskan, bagaikan meminum air laut, makin diminum makin haus.

Selain itu, self esteem adalah hal yang perlu dihilangkan dari daftar prioritas, karena sincerepreneur bekerja tanpa pamrih, tidak mengejar popularitas. Aktualisasi diri merupakan wahana untuk berkontribusi sebanyak-banyaknya kepada umat manusia, sedangkan spiritual merupakan tahap akhir dari semua karyanya yang dipersembahkan kepada Tuhan.

Ciri-ciri dari seorang sincerepreneur antara lain adalah tidak pernah mengumbar ekspresi kesuksesan dalam bentuk-bentuk kepemilikan yang berlebihan seperti rumah dan mobil mewah atau gaya hidup eksklusif yang ingin membedakan dirinya dari kebanyakan orang yang dianggap belum sukses. Meski pun secara ekonomi seorang sincerepreneur sudah sangat mapan, namun dalam penampilannya hanya sebatas citra seorang kelas menengah dengan berbagai fasilitas yang juga sebatas citra kalangan menengah.
SEBUAH PESAN KEPADA WIRAUSAHAWAN INDONESIA

Di era 1970-an, TVRI pernah menyiarkan siaran pembinaan kewirausahaan di bawah asuhan seorang tokoh bernama DR. Suparman Sumahamidjaya. Wah, inilah acara kegemaran saya, yang tidak pernah saya lewatkan setiap kali acara tsb. ditayangkan (setiap hari Selasa setiap minggu). Kalau tidak salah, itulah pertama kalinya -- dengan restu pemerintah – nilai-nilai kewirausahaan ditanamkan ke dalam benak masyarakat Indonesia melalui acara televisi. Tujuannya jelas, bahwa pemerintah menyadari keterbatasannya dalam hal penyediaan lapangan kerja, sehingga, dengan kampanye kewiraswastaan, masyarakat diharapkan dapat menolong dirinya sendiri secara ekonomi.

Di masa itu, istilah yang dipakai secara umum adalah “wiraswasta”, sedangkan istilah “wirausaha” baru muncul beberapa waktu kemudian, dan populer sampai sekarang. Menurut DR. Suparman, kata “wiraswasta” adalah terjemahan dari sebuah kata dalam bahasa asing (Perancis), “entrepreneur”, yang bila diuraikan akan menjadi seperti ini:
wira, berarti berani, jujur, tulus dan berbudi luhur
swa, artinya “sendiri”
sta, maknanya “berusaha”

Secara keseluruhan, kata-kata itu melukiskan figur seseorang yang menjalankan usaha secara mandiri, dilandasi sifat dan sikap yang luhur. Dengan demikian, seorang pengusaha, baik “wira”-swasta, mau pun “wira”-usaha, seharusnya memiliki sifat-sifat yang baik dan terpuji. Tidak berkolusi dengan pejabat, tidak memanipulasi takaran/timbangan, tidak serakah, tidak menyikut orang lain dan tidak mata duitan. Yang terakhir inilah yang sebenarnya ingin saya bahas dalam kesempatan ini.

Seperempat abad berlalu setelah era DR. Suparman, perkembangan kewirausahaan sungguh sangat menggembirakan. Meski pun pada kenyataannya, penerimaan Pegawai Negeri Sipil (PNS) masih diminati pelamar yang datang berduyun-duyun, namun di balik itu, ada fenomena yang bagi saya benar-benar mencengangkan. Sekarang ini, banyak sekali angkatan muda yang berminat, bahkan sangat terobsesi menerjuni bidang kewirausahaan. Kursus-kursus kewirausahan tumbuh bak jamur di musim hujan, bisnis waralaba terus merebak, tidak saja yang global, tapi terutama sekali yang lokal bertebaran di mana-mana. Klub-klub dan milis-milis entrepreneur juga bermunculan. Terlebih lagi, ternyata sudah banyak tokoh-tokoh muda Indonesia yang menjadi pakar bisnis, mentor-mentor kewirausahaan, konsultan-konsultan entrepreneurship yang naik ke panggung-panggung seminar, pelatihan serta lokakarya yang dengan begitu brilliannya membawakan topik-topik pembicaraan tentang kiat-kiat hidup sukses.

Terus terang saya kagum dan senang sekali dengan kenyataan bahwa kaum muda Indonesia sudah dapat berekspresi sedemikian rupa, cerdas dan bijak. Semoga fenomena ini tidak semata-mata fenomenal, seperti kata orang dulu, hangat-hangat tahi ayam, tapi akan terus berkembang dan bertumbuh. Makin banyak tokoh wirausaha yang dilahirkan, dan makin banyak pula pengusaha-pengusaha “bersih” yang muncul bahu-membahu memperkokoh ketahanan ekonomi bangsa.

Motivasi ala Amerika

Hanya ada satu hal yang masih mengusik perasaan saya. Dari berbagai pembicaraan di seminar, di pembicaraan sehari-hari bahkan di milis, terlalu sering saya mendengar ungkapan “bagaimana menjadi kaya”. Apalagi setelah nama Robert Kiyosaki melambung, maka pemeo “retired young, retired rich” seakan sudah menjadi jargon kalangan muda yang menamakan diri sebagai “entrepreneur”. Apa benar seorang entrepreneur sejati, memotivasi diri hanya sebatas “retired young, retired rich”? Pensiun muda pensiun kaya? Setelah itu apa?

Sebagai seorang pengamat kewirausahaan, saya melihat bahwa wacana profesionalisme, kewirausahaan serta kiat-kiat hidup sukses banyak didominasi oleh tokoh-tokoh yang berasal dari Amerika. Mereka inilah yang banyak mencuatkan kata-kata tentang kekayaan, tentang kelimpahan uang, rumah mewah sampai kapal pesiar dan pesawat pribadi. Tiga puluh tahun yang lalu saja, orang sudah kenal dengan yang namanya Napoleon Hill. Tokoh ini sangat masyhur dengan bukunya “Think and Grow Rich” (Berfikir dan Menjadi Kaya). Seorang tokoh lain, Tyler G. Hicks, dalam bab pertama bukunya “How To Start Your Own Business..”menulis: “Ketahuilah Nikmat Menjadi Kaya. Hanya Dengan Bekerja Di Rumah.dst..” serta bercerita bagaimana dia menghabiskan waktu liburnya di atas kapal pesiar. Anthony Robbins dalam “Awaken The Giant Within” juga menyinggung soal kekayaan materi berupa pesawat pribadinya. Lantas muncul lagi Robert Kiyosaki yang mengajarkan bagaimana menjadi kaya dengan jalan menyuruh uang bekerja untuk kita. Lalu populerlah pemeo yang tadi: “retired young, retired rich”..!!

Saya tidak mengatakan bahwa menjadi kaya itu salah. Bahkan dalam banyak hal, menjadi kaya itu jauh lebih baik dari pada menjadi miskin. Saya hanya khawatir, bahwa kita sedang berbicara kepada publik di Indonesia yang sedang parah-parahnya terjangkit demam konsumerisme, materialisme serta korupsi Bukan tidak mungkin, penghamburan kata-kata tentang kekayaan serta motivasi berlebihan tentang kekayaan akan menjadikan orang terbius dengan angan-angan yang melambung, sehingga suatu saat, sewaktu sadar bahwa kekayaan itu tidak datang dengan segera, akhirnya mereka mengambil jalan pintas.

Apakah tidak ada hal lain yang lebih ideal untuk memotivasi orang agar mau bekerja keras?

Kiranya perlu diperbandingkan, mengapa pembicara-pembicara Amerika menggunakan isu kekayaan sebagai motif, dan bagaimana dampaknya bila hal yang sama diterapkan di Indonesia. Betapa pun Amerika jelas berbeda dengan Indonesia. Negeri Paman Sam adalah negeri termakmur di dunia, negara terkuat yang didukung oleh sumber daya manusia paling berkualitas di seantero jagat. Tingkat kemiskinan sudah bisa dianggap nol. Oleh sebab itu, tidak akan ada lagi wacana yang menarik publik Amerika, apabila yang dibicarakan hanya sekadar tentang bagaimana keluar dari perangkap kemiskinan, atau bagaimana mengatasi status pengangguran dengan jalan menjadi wirausahawan. Jelas itu tidak akan menarik lagi. Harus dicarikan hal lain yang lebih bombastis. Maka kekayaanlah yang dianggap cukup “menjual”, karena dengan menjadi kaya barulah orang di Amerika merasa bermakna dan “terpandang”. Di suatu negeri yang rata-rata warganya sudah mapan dalam hal ekonomi, menjadi kaya (raya) hanyalah merupakan refleksi sebuah prestasi. Tidak ada beban moral atas kekayaan itu, karena semua orang di sekitar juga sudah hidup berkecukupan.

Bagaimana dengan di Indonesia?

Selama ini saya agak cemas, melihat betapa para motivator kita hanya mengedepankan isu kekayaan, kenikmatan hidup duniawi yang egoistis bahkan menjurus hedonis, serta mudahnya menjadi kaya, tanpa perlu kerja keras. Adakah kehidupan ini benar-benar semudah membalikkan tangan? Di tengah-tengah hiruk-pikuknya isu entrepreneurship sekarang ini, beberapa mentor, dalam usaha memotivasi para peminat bisnis, bahkan menggunakan slogan yang tidak tanggung-tanggung: “Kalau ingin kaya, jangan kerja keras, tapi jadilah pemalas..!”

Mungkin, beliau-beliau ini secara tersirat ingin menganjurkan apa yang disebut dengan “smart work”, kerja cerdas yang memungkinkan efisiensi waktu, biaya dan energi demi pencapaian target dalam bingkai waktu yang telah direncanakan. Dan bukannya “hard work” versi buruh pabrik yang nyaris tidak pernah merasakan manisnya madu kesuksesan, karena kesuksesan itu telah menjadi hak milik abadi dari para majikan mereka.

Namun demikian, slogan tetaplah slogan. Kalimat-kalimat pendek berisiko menyebabkan salah kaprah. Misalnya, menjadi pemalas itu tidak perlu diajarkan atau dianjurkan. Sifat malas memang sudah “bakat alam” semua manusia, apalagi orang Indonesia, termasuk saya. Jadi rasanya tidak perlulah menganjurkan orang menjadi pemalas. Kalau slogan lain mengatakan “Jadilah Kaya Hanya Dengan Bekerja Di Rumah”, maka kemungkinan besar orang akan menyerap kata-kata “kaya”nya saja, tapi mengabaikan kata “bekerja”. “Bekerja Di Rumah” akan menjadi berarti “Berleha-leha Di Rumah”. Pada saat sekian lama berleha-leha di rumah dan kekayaan tidak kunjung datang, maka jalan pintas pun menjadi pilihan berikut.

Banyak contoh tentang orang-orang yang frustasi karena kepingin cepat kaya, lalu mengambil jalan pintas. Antara lain, bagaimana beberapa pengusaha berubah menjadi pembobol-pembobol bank, sebagian lagi mengedarkan bahkan membangun pabrik narkotika, penipu-penipu melalui sms hadiah, para birokrat yang menjalankan korupsi berjamaah dan lain sebagainya.

Kalau kembali kepada slogan “retired young, retired rich”, hendaklah kita bertanya kepada diri sendiri, sudah sedemikian egoisnyakah kita? Di saat-saat bangsa dan negara sedang ambur-adul dengan rakyat miskin dan busung lapar yang masih begitu banyak bertebaran di seluruh pelosok tanah air, tegakah kita berfikir untuk menjadi kaya-raya, pensiun muda lalu pergi keliling dunia dengan kapal pesiar dan pesawat pribadi?

Barangkali ada baiknya kalau kita mengambil acuan yang lebih sesuai. Kalau kita harus ber-“xenophilia” (gandrung dengan segala sesuatu yang berasal dari negeri asing), maka kita dapat menemukan pebisnis-pebisnis yang sangat ideal, yang pengarahan-pengarahannya lebih sesuai dengan kondisi Indonesia, antara lain Kim Woo Chong, CEO sekaligus pendiri dari imperium bisnis asal Korea, Daewoo. Atau Akio Morita, salah satu pemilik perusahaan raksasa dari Jepang, yaitu Sony. Kalau harus nasionalis, kita akan dapat menemukan pengusaha dengan idealisme tinggi, tidak lain adalah Thayeb M. Gobel, pendiri PT National Gobel. Dan kalau kita harus berbicara secara sedikit spiritual, kita juga akan bisa menyimak apa yang dikatakan oleh Mahatma Gandhi, atau meneladani Nabi yang juga pengusaha sekaligus penguasa, yaitu Muhammad SAW.

Apa kata mereka dan bagaimana cara mereka memotivasi orang?

Tambahkanlah Sedikit Idealisme Dalam Berbisnis

Idola saya dalam dunia usaha, adalah Kim Woo Chong, pendiri Daewoo. Kim tidak pernah merekomendasikan aktivitas yang bersifat hura-hura atau hedonisme. Jangankan berlibur dengan menikmati nyamannya kapal pesiar, bermain golf pun tidak pernah ia lakukan, meski perangkat golf yang paling canggih dia punya. Padahal, umumnya pegusaha pasti memanfaatkan permainan ini paling tidak sebagai sarana lobi. Begitu juga nonton bioskop, nyanyi di karaoke, minum-minum di pub dan lain sebagainya, pantang bagi Kim Woo Chong.

Semua aktivitas yang bersifat hura-hura diharamkan oleh Kim. Karena apa? Ia berpendapat, meski memiliki uang triliunan rupiah, ia tidak berhak menggunakannya secara semena-mena. Apalagi untuk kegiatan yang tidak jelas manfaatnya. Setiap sen dari uang yang dikeluarkan, harus dapat dipertanggungjawabkan, karena semua uang tersebut berasal dari jerih payah serta tetesan keringat bayak orang. Mulai dari karyawan, buruh, mandor, manajer, pemasok barang, sampai pelanggan.

Kim juga tidak suka akan wacana “pensiun muda, pensiun kaya”. Ia sangat kecewa ketika suatu kali bertemu dengan seorang pemuda penyandang gelar MBA, yang menyatakan tidak sanggup bekerja di Daewoo karena takut kerja keras. Bahkan ketika ditanya apa cita-citanya, sang pemuda menjawab bahwa ia ingin bekerja di perusahaan asing yang mau memberinya gaji besar tanpa harus kerja keras. Setelah beberapa tahun, dengan uang gaji yang dikumpulkannya, ia akan berhenti kerja, pensiun, lalu bersama pacarnya akan membuka kafe dan hidup santai, tenang dan tenteram sepanjang hidup.

Sikap seperti ini, menurut Kim, adalah cerminan dari sikap mental “melempem dan egois” yang ditunjukkan oleh tipikal generasi muda Korea, yang terlanjur terkena “sindrom kenyamanan”, sebagai dampak kemajuan industrialisasi.

Sebaliknya dari egoisme, seharusnya setiap generasi memiliki semangat pengorbanan, bekerja demi kesejahteraan banyak orang dan terutama sekali, demi kesejahteraan generasi berikutnya. Itulah kunci kenapa Amerika menjadi sebuah negeri yang benar-benar makmur dengan rakyatnya yang sejahtera. Generasi pendahulu merekalah yang telah bekerja keras membangun Amerika dari sejak ditemukannya, diteruskan oleh generasi-generasi berikutnya, sampai terwujud Amerika yang kaya raya seperti sekarang ini. Itulah idealisme yang seyogyanya dikobarkan oleh para motivator bisnis di Indonesia.

Semua usaha atau perusahaan yang baik dan ideal, umumnya dimulai dari sebuah idealisme. Bukan sekadar untuk menjadi kaya sendiri untuk kemudian berfoya-foya keliling dunia dan menghabiskan waktu di klub-klub malam. Mari kita lihat:

1) DAEWOO: Kim Woo Chong memulai usahanya dengan satu acuan tentang bagaimana mengatasi penderitaan bangsanya seusai Perang Korea di mana negara tersebut jatuh ke dalam kondisi ekonomi yang benar-benar hancur. Ia tidak memvisualisasikan dirinya kelak menjadi orang kaya, tapi sebaliknya ia mencita-citakan bangsa dan negara Korea yang bisa mengejar ketinggalannya dalam bidang-bidang ekonomi dan teknologi, terhadap negara-negara maju seperti Amerika Serikat dan negara-negara Eropa. Untuk bisa mengejar ketinggalan itu, ia menyimpulkan bahwa orang Korea harus mampu bekerja dalam jumlah jam kerja yang 2 kali lebih banyak dari jam kerja orang Amerika. Kim kemudian mencontohkan, bagaimana ia sendiri bekerja setiap hari mulai dari jam 5 pagi sampai jam 9 malam, sementara orang lain bekerja mulai dari jam 9 pagi hingga jam 5 sore.
2) SONY CORP: Akio Morita, memutuskan untuk mendirikan perusahaannya, Sony, dengan satu motivasi yang muncul akibat melihat bagaimana hancur luluhnya Jepang setelah dibom atom oleh Amerika. Peristiwa tersebut merupakan indikator bahwa bangsa Jepang ternyata masih kalah di segala bidang oleh Amerika, oleh karenanya, bangsa Jepang harus menebus kekalahannya itu dengan bekerja dan belajar sungguh-sungguh. Tidak satu literatur pun yang menceritakan bahwa Akio Morita berkhayal untuk menjadi orang kaya yang pelesiran ke sana ke mari keliling dunia.
3) PT NATIONAL GOBEL: Thayeb Mohammad Gobel, tadinya adalah seorang karyawan yang bekerja untuk orang lain. Tapi hati kecilnya berkata lain, bahwa ia ingin memiliki usahanya sendiri. Niat dan cita-citanya itu segera dia cetuskan, segera setelah melihat bagaimana banyak orang di Jakarta mandi, mencuci bahkan berkumur di kali Ciliwung yang airnya begitu kotor dan keruh, jauh dari nilai-nilai kesehatan. Ia insyaf itulah gambaran kemiskinan rakyat Indonesia dan ia berbulat tekad untuk berkontribusi mengatasi penderitaan banyak orang melalui perusahaan yang didirikannya, PT National Gobel.
4) MAHATMA GANDHI: adalah seorang tokoh politik sekaligus spiritual di India. Ia memberikan pengarahannya kepada masyarakat banyak tentang nilai-nilai sebuah aktivitas (kerja), yang jauh lebih berharga daripada uang (hasil kerja):” Kebahagian sejati itu terletak pada aktivitas kerja, bukan pada hasil kerja itu sendiri”..
5) NABI MUHAMMAD: Nabi Muhammad adalah seorang pedagang atau pengusaha, dan dalam perjalanan hidupnya ia bahkan menjadi seorang Khalifah (Kepala Negara). Sebagai seorang pemimpin yang berkuasa atas seluruh Jazirah Arab, maka kekayaan beliau sudah sulit untuk diukur, saking kayanya. Tapi apa yang dijalankan beliau dalam hidupnya adalah, ia hanya tinggal di sebuah rumah gubuk sederhana, tidur di atas selembar tikar sederhana pula, serta makan ala kadarnya. Jauh dari yang namanya hura-hura dan pemanjaan diri.

Dalam konteks apa yang saya paparkan di atas, maka saya ingin sekali mengajak saudara-saudara, teman-teman dan rekan-rekan para entrepreneur, calon entrepreneur, para mentor dan pelatih bisnis, instruktur pelatihan kewirausahan, para pembicara seminar dan lokakarya, agar seyogyanya dapat me-review isu-isu motivasinya yang selama ini mungkin hanya sebatas pada kekayaan materi semata. Sebab, isu kekayaan berisiko menimbulkan berbagai dampak yang kurang baik, antara lain orang menjadi egoistis dan kurang kepedulian pada sesama. Karena, bukankah kalau seseorang ingin menjadi kaya, harus ada pula mereka yang miskin? Di samping itu, motivasi kekayaan biasanya bersifat rapuh, karena, jika setelah sekian waktu bekerja dan ternyata kekayaan tidak kunjung datang, maka orang akan mudah putus asa dan malas bekerja lebih jauh.

Dan yang terakhir, orang akan terperangkap dalam sebuah gaya hidup yang disebut “Money Centered Life”, kehidupan yang berpusat kepada uang. Pada saat uang meninggalkan seseorang, maka hancur pulalah hidup orang tersebut. Sudahkan Anda pernah membaca kisah tentang akhir kehidupan yang tragis dari orang-orang super kaya Amerika yang terjebak dalam “Money Centered Life”, seperti Charles Schwab, Jessy Livermore, Ivan Krueger, Samuel Insull, Howard Hopson, Arthur Cotton, Richard Whitney, Leon Frasier, dan Albert Fall? Kalau belum dan Anda tertarik untuk membacanya, Anda bisa menghubungi saya dan saya akan mengirimkan 1 kopi dari cerita tersebut.

Tulisan ini saya persembahkan kepada segenap bangsa Indonesia tidak dengan maksud apa-apa, selain daripada panggilan jiwa untuk peduli kepada nasib bangsa ini, nasib sebagian besar saudara-saudara kita yang masih diterpa berbagai penderitaan berupa kemiskinan, kemelaratan, kelaparan serta kebodohan. Marilah kita bersama-sama bekerja keras membangun negeri tercinta ini melalui jalur apa saja sesuai dengan kemampuan kita masing-masing, terutama para rekan sejawat yang menyatakan diri sebagai entrepreneur, bekerjalah terus guna meraih kesejahteraan yang maksimal dan merata, yang bisa dinikmati semua warganegara secara adil. Lupakanlah wacana untuk menjadi kaya sendiri, dan lupakanlah semua khayalan tentang pensiun muda, karena wirausahawan tidak mengenal kata pensiun. Selama hayat dikandung badan, selama itu pula kita bisa berkontribusi pada orang banyak. Lupakan pula semua kesenangan duniawi, pelesiran dan hura-hura. Jangan lakukan itu selama masih sangat banyak saudara-saudara kita yang miskin dan kelaparan, yang anak-anaknya kurus kering kurang gizi dan tidak mampu bersekolah.

SALAM WIRAUSAHA

Rusman Hakim
Pengamat Kewirausahaan
rusman@gacerindo.com
Mobile: 0816.144.2792