Sunday, June 25, 2006

INVISIBLE ENTREPRENEUR

Sewaktu masih bersekolah di SMP dulu, saya punya pengalaman yang unik. Beberapa teman saya umurnya agak lebih tua dari rata-rata umur siswa SMP kelas 3 di sekolah kami. Meski hanya lebih tua 2 tahun, namun penampilan mereka sangat berbeda dari siswa-siswa lainnya. Mereka tampak jauh lebih dewasa dari usia sebenarnya, apalagi dari status mereka yang masih pelajar SMP kelas 3. Pakaian necis mentereng, sepatu selalu baru dan mengkilat, kadang-kadang pamer kacamata hitam “nite-n-day”, dan kadang-kadang pula merokok sigaret luar negeri (tentunya sembunyi-sembunyi dari penglihatan guru). Yang paling membuat kagum saya dan teman-teman adalah bahwa mereka selalu datang ke sekolah menggunakan sepeda motor baru yang tampak mewah sekali. (Zaman itu sepeda motor masih merupakan barang mewah, dan pelajar yang menggunakan mobil ke sekolah hanyalah mereka yang anak pejabat saja). Mereka pun punya punya banyak uang, terbukti dari royalnya mereka mentraktir kami makan atau minum hampir setiap hari.

Keadaan tersebut tentu saja menimbulkan pertanyaan besar di benak saya dan teman-teman. Dari mana mereka mendapatkan segala kemewahan itu, dan dari mana pula mereka bisa memiliki banyak uang? Bukankah mereka hanya anak-anak SMP kelas 3 yang belum waktunya untuk bekerja?

Tidak tahan menyimpan teka-teki, akhirnya saya putuskan untuk bertanya langsung. Salah seorang dari teman-teman kami yang “kaya” itu akhirnya membuka rahasia, bahwa ia mendapatkan uang untuk membeli segala sesuatu yang mereka sukai itu bukan dari pemberian orang tua, karena orang tua mereka bukanlah orang kaya. Mereka mendapatkannya dengan jalan “mengobyek”!

Ngobyek? Apa itu? Ternyata yang dimaksud dengan “ngobyek” adalah kegiatan “berbisnis” dengan jalan menjadi makelar atau perantara dalam berbagai transaksi jual beli sepeda motor. Setiap kali transaksi terjadi, mereka akan mendapatkan sekian persen sebagai komisi. Nah, karena sepeda motor waktu itu masih mahal, dapat dibayangkan berapa besar mereka mendapatkan uang dari kegiatan “ngobyek”. Apalagi kalau diingat mereka tidak lebih dari anak-anak yang masih berstatus pelajar. Luar biasa.!

Saya sangat terkesan dengan sepak terjang teman-teman yang sudah mampu mencari penghasilan sendiri itu. Mereka mampu beli motor sendiri, yang bahkan tidak semua orang dewasa mampu membelinya. Buka main..!

Sampai di rumah, saya bercerita kepada orang tua saya tentang kehebatan teman-teman tersebut. Sambil menyatakan rasa kekaguman saya, saya pun menanyakan pendapat ayah dan ibu bagaimana kalau saya juga mengikuti jejak teman-teman itu untuk “ngobyek”. Toh hasilnya nyata, dan paling tidak, dengan hasil ngobyek, uang sekolah akan dapat saya bayar sendiri tanpa menggangu keuangan orang tua.

Namun, tahukah Anda apa jawaban kedua orang tua saya? Bukan saja mereka tidak menyetujui, mereka bahkan setengah marah mengatakan pada saya: “Tidak, tidak! Lupakan semua itu. Teman-teman kamu itu nggak bener.. Anak sekolah tugasnya adalah sekolah dan belajar baik-baik. Jangan sekali-kali tergoda dengan uang. Sekali kamu tergoda uang, pelajaran kamu akan hancur dan masa depan kamu suram..”

Saya kecewa sekali dengan sikap kedua orang tua saya itu. Tapi ya, sudahlah. Barangkali mereka memang benar, demikan saya menghibur diri.

Bertahun-tahun kemudian, setelah selesai sekolah dan setelah menjadi profesional beberapa waktu lamanya, saya terjun ke dunia usaha. Saya mendirikan perusahaan sendiri berbentuk PT dan memulai semuanya dengan modal kecil yang serba pas-pasan. Di periode itulah saya baru merasakan betapa beratnya menjadi seorang pengusaha pemula yang tidak mempunyai bekal apa pun untuk berusaha. Modal cekak milik sendiri, tidak ada panutan, tiada pengalaman sama sekali, serta tak pula punya jaringan yang memadai. Saking beratnya permasalahan yang saya hadapi, saya sempat dalam hati mengecam pemerintah yang kebijakan-kebijakannya tidak berpihak kepada pengusaha kecil, berlawanan dengan apa yang selama ini didengung-dengungkan.

Bayangkan saja, sebuah usaha kecil yang baru didirikan, sudah harus terbebani dengan pengurusan sekian banyak surat-surat perizinan. Mulai dari akte pendirian, Surat Domisili Usaha, NPWP, Surat Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak, Tanda Daftar Perusahaan, Surat Izin Usaha Perdagangan, Daftar Rekanan Mampu, Tanda Daftar Rekanan, Surat Izin Penggunaan Bangunan, dan lain sebagainya. Yang menambah kepusingan adalah kewajiban untuk membuat laporan perpajakan yang harus disampaikan setiap bulan. Padahal, sebagai usaha kecil yang baru mulai, laporan-laporan itu otomatis hanya berisi pemberitahuan tentang penghasilan kita yang nihil dari bulan ke bulan. Namun itu belum seberapa, ada lagi kejadian-kejadian yang lebih menyebalkan. Karena waktu itu masih zamannya Orde Baru, maka berbagai pihak yang mengatasnamakan berbagai institusi resmi mencoba mengail di air keruh. Ada yang mengaku-aku pejabat Depnaker, lalu menghubungi saya dan memaksa untuk membeli buku Undang-Undang Ketenagakerjaan. Ada yang memperkenalkan diri sebagai seorang Mayor Jenderal yang menjabat sebagai Wakil Ketua DPR, lalu “memaksa” meminta sumbangan sekian juta rupiah, karena ybs. ingin mengadakan turnamen sepakbola wanita di Bekasi. Ada lagi oknum beratribut partai Golkar yang mengharuskan saya menyumbang salah satu acara yang diadakan partainya Pak Harto tersebut. Kemudian, datang lagi dua pemuda berseragam KNPI yang juga mendesak meminta kontribusi dalam jumlah yang sudah ditentukan. Bahkan percaya atau tidak, ada personel Dinas Kebakaran yang datang sambil mendesak saya untuk membeli tabung pemadam api, yang setiap tahun harus diisi ulang. Pokoknya macam-macam lah. Meski demikian, perusahaan saya yang pertama ini sempat berjalan selama beberapa tahun. Seorang teman lama yang melihat usaha ini mulai berkembang, ikut bergabung tak lama kemudian.

Usaha kecil yang masih terseok-seok mencari sesuap nasi, ditambah dengan berbagai tekanan dari pihak luar seperti diutarakan di atas, benar-benar membuat saya stres. Puncaknya terjadi saat krisis moneter merebak di Indonesia. Sudah jatuh tertimpa tangga. Sudah krisis, dikhianati teman pula. Usaha saya benar-benar hancur, proyek perusahaan berikut sebagian besar karyawan saya diboyong teman tadi yang berstatus partner usaha.

Kepalang tanggung, PT saya bubarkan. Saya ingin membangun ulang usaha saya tanpa kehadiran siapa pun. Tidak ada lagi partner-partneran. Kalau teman sejak kecil saja berkhianat, tentu tidak ada lagi orang yang bisa dipercaya, gumam saya dalam emosi. Semua hutang perusahaan saya lunasi dengan semua aset yag masih tersisa. Uang kas, peralatan dan perlengkapan perusahaan, semua saya likuidasi. Belum cukup, tidak kurang dari satu rumah dan dua mobil milik pribadi sekalian saya jual untuk menutup hutang. Saya berfikir, ini pengalaman luar biasa bagi saya. Pengalaman yang harus saya hadapi dengan senyum dan kelapangan dada.

Namun setelah itu, saya sendiri menjadi bingung. Setelah semua aset habis, apalagi yang dapat saya perbuat? Berhari-hari lamanya saya tercenung dengan pertanyaan itu, apa yang bisa saya perbuat.. apa yang bisa saya perbuat… semua aset sudah habis.. sudah habis.. Sampai pada suatu hari, ketika pikiran saya menerawang menelusuri perjalanan hidup yang unik ini, saya mendadak teringat dengan sepak terjang teman-teman di SMP dulu, yang berbisnis dengan “mengobyek” sepeda motor. Aha! Betul, bukankah mereka dulu berbisnis tanpa modal, menjadi perantara, menjualkan motor orang lain dan akhirnya memperoleh banyak uang? Sebuah inspirasi telah muncul begitu saja.

Dengan segera saya hubungi seorang teman bisnis yang mempunyai perusahaan komputer cukup besar. Untuk ukuran komputer lokal, perusahaan dia ini bahkan yang terbesar. Saya utarakan maksud saya untuk bekerja sama dengan jalan menjadi reseller non-quota dari perusahaannya itu. Teman ini langsung menyambut baik, bahkan berjanji untuk membantu saya sebaik-baiknya. Maka sejak itu, saya pun bisa menjalankan bisnis lagi seorang diri, tanpa mitra, tanpa pegawai. Tugas saya hanya mencari order ke sana ke mari, sedangkan semua pekerjaan administratif dan juga semua pekerjaan teknis, ditangani oleh para staf dari perusahaan teman saya itu.

Hubungan kerja antara saya dengan perusahaan tersebut, dibakukan dalam sebuah MoU (Memorandum of Understanding = Nota Kesepakatan), yang di dalamnya antara lain menunjuk saya sebagai Direktur Marketing yang berhak melakukan penjualan, negosiasi, pengambilan keputusan, sampai ke penandatanganan kontrak untuk dan atas nama perusahaan. Semua perangkat pemasaran (marketing tools) dipenuhi oleh teman ini, mulai dari kartu nama, brosur, proposal sampai kepada perlengkapan presentasi. Hanya saja, saya tidak mendapat gaji sama sekali, karena saya bukanlah karyawan, melainkan seorang wirausahawan lepas.

Saya katakan wirausahawan lepas, karena posisi saya berbeda dengan seorang salesman lepas. Seorang sales dibebani dengan quota/target, sedangkan saya tidak. Sales mendapat uang transport dan komisi, sedangkan saya tidak mendapat uang transport, tidak pula komisi. Yang saya dapatkan adalah “bagi hasil” dan jabatan saya adalah setingkat Direksi (dalam hal ini Direktur Pemasaran).

Berjalan beberapa bulan, ternyata bisnis saya lancar. Apalagi, dukungan teman saya cukup maksimal, sehingga saya tidak perlu pusing dengan urusan teknis, seperti instalasi, implementasi, garansi, pemeliharan dan reparasi, karena semua sudah menjadi tanggungan Divisi Teknik dari perusahaan teman saya itu. Demikian juga dengan urusan administrasi seperti kontrak jual-beli, penagihan, laporan pajak dan tetek bengek lainnya, semua sudah beres tanpa saya ikut campur tangan.

Dengan kerja seperti itu, wah.. saya merasa bagaikan seekor macan yang tumbuh sayap. Konsentrasi saya penuh hanya kepada masalah penjualan, sehingga dalam waktu relatif singkat sejumlah order sudah saya dapatkan. Pelaksanaan lapangan lancar, urusan bagi hasil juga alhamdulillah lancar. Saya senang, teman saya dan perusahaannya pun senang. Inilah sebuah mekanisme kerja sama yang betul-betul didasarkan atas konsep “win-win solution”, sebagaimana diistilahkan oleh Stephen Covey.

Lancarnya usaha seperti ini, membuat saya menjadi “ketagihan”. Saya coba untuk menerapkan skema kerja sama yang serupa dengan perusahaan-perusahaan lain. Ternyata, sebagian besar perusahaan yang saya hubungi menyambut baik tawaran kerja sama yang saya ajukan. Tidak kurang dari 4 perusahaan besar menjadi mitra saya setelah itu. Saya lihat, asalkan konsep kerja dan proposal yang diajukan dasarnya jelas, masuk akal dan menjanjikan keuntungan yang proporsional bagi kedua pihak, rata-rata perusahaan akan bersedia menjalankannya. Maka demikianlah,sedikitnya sekitar 2 tahun kemudian, saya berkiprah sebagai “One Man Enterprise” (perusahaan 1 orang), usahawan yang berkiprah betul-betul hanya mengandallan duit orang lain, tenaga orang lain dan bahkan perusahaan orang lain. Saya betul-betul bahagia dengan bekerja seperti itu. Kerja fokus, duit lancar, pekerjaan tetek bengek dikerjakan orang lain. Satu-satunya hal yang sedikit mengganggu fikiran saya hanyalah, haruskah saya berusaha dengan cara seperti ini terus, di mana yang muncul hanyalah nama perusahaan orang lain, bukan nama perusahaan saya. Bukankah kalau demikian, saya sepantasnya disebut sebagai “Invisible Entrepreneur”, pengusaha yang tidak kelihatan, karena tak pernah memunculkan nama perusahaan sendiri?

Sampai saat ini, saya masih menjabat sebagai direktur di 2 perusahaan, serta sebagai Vice President di sebuah perusahaan lainnya. Semua perusahaan itu sepenuhnya milik orang lain, bukan milik saya. Selain di salah satu di antaranya, dimana saya punya sedikit saham, saya tidak punya saham lain dari perusahaan-perusahaan tersebut. Tapi penghasilan saya sering kali lebih besar dari beberapa pemilik saham. Komposisi bagi hasil yanng tercantum di MoU memungkinkan hal itu bisa terjadi. Itu juga sebabnya, saya sering menolak jika saya ditawari pembelian saham oleh para mitra saya. Alasan saya, kalau saya menjadi pemilik saham, maka saya harus ikut menanggung rugi saat perusahaan merugi. Sedangkan sebagai mitra, saya tidak memiliki kewajiban demikian.

Namun begitu, belum lama ini saya putuskan juga untuk membentuk sebuah PT yang total milik saya sendiri. Hanya untuk antisipasi bila suatu saat saya ingin mengaktualisasikan prestasi saya melalui korporasi milik sendiri. Akan tetapi, kebimbangan tentang apakah saya akan terus berkiprah sebagai Invisible Entrepreneur, masih terus membayangi pikiran.

Sampai suatu saat, dalam sebuah acara aanweijzing (penjelasan tender) saya berkenalan dengan seorang pengusaha yang sama-sama mengikuti lelang pekerjaan. Tadinya, pembicaraan kami hanyalah mengenai hal-hal yang ringan saja. Akan tetapi, mungkin karena rasa kesesuaian di antara kami, pembicaraan makin mengarah ke hal-hal yang lebih serius dan pribadi. Di situlah akhirnya saya menyadari bahwa rekan baru ini ternyata memiliki kesamaan dalam perjalanan hidupnya dengan saya. Ternyata ia seorang Invisible Entrepreneur juga! Bukan seorang karyawan dan bukan seorang profesional, tapi seorang pengusaha tunggal yang maju di dunia bisnis mempergunakan bendera perusahaan orang lain.

Yang membuat saya surprised adalah penjelasannya tentang bagaimana dia menjiwai sepak terjangnya sebagai seorang Invisible Entrepreneur :

“Saya bahagia dengan cara saya berbisnis seperti sekarang ini. Bukan saja karena menyangkut kepentingan saya dalam memudahkan cara berbisnis, tapi juga dengan pertimbangan lain menyangkut masa depan keluarga dan anak-anak saya. Saya sengaja tidak mendirikan perusahaan sendiri, karena saya tidak ingin mewariskan hutang-piutang dan masalah lain kepada anak-anak saya kalau perusahaan itu pailit dan bangkrut. Sebaliknya, bila perusahaan itu maju dan berkembang menjadi perusahaan besar, saya juga tidak ingin anak-anak saya menjadi serakah, saling bermusuhan memperebutkan harta warisan. Perusahaan itu akan mendatangkan fitnah bagi kerukunan dan keutuhan keluarga serta anak-anak saya di kemudian hari. Ada satu hal yang lebih penting lagi, yaitu bila saya meninggalkan warisan berupa perusahaan besar yang menjamin kehidupan masa depan anak cucu saya dengan harta benda yang berkelimpahan, maka itu sama artinya saya sudah merampas hak-hak mereka dalam kehidupannnya. Hak-hak apa? Yaitu hak mereka untuk merasakan perjuangan hidup, hak mereka untuk berkreasi, hak mereka untuk merasakan tidak saja kesenangan dan kemewahan, tapi juga hak mereka untuk merasakan tekanan, penderitaan dan kesusahan hidup. Kedengarannya aneh, bukan? Tapi itulah sebuah kebenaran. Semua kesenangan dan kemewahan hanya akan dapat dinikmati apabila seseorang sudah mengetahui dan merasakan yang namanya penderitaan dan kesusahan. Kesenangan, kekayaan dan kemewahan hanya terasa nikmat, bila orang merasakan lebih dulu pahit getir perjuangan dalam mendapatkannya. Anak cucu kita akan tidak tahu lagi apa yang mereka harus perbuat di dunia ini, apabila semua kesenangan dan kebutuhan mereka sudah kita penuhi. Mereka tidak akan merasakan nikmatnya semua harta benda itu, mereka hanya menggunakan tanpa persaan apa-apa. Dan mereka akan mencoba untuk mencari hal-hal lain yang bisa memberikan nikmat kepada mereka dalam bentuk lain. Keadaan seperti itu akan rawan sekali bagi mereka untuk terjerumus ke hal-hal negatif, foya-foya, judi, bahkan narkoba. Sebab, kita sudah merampas hak mereka untuk mendapatkan giliran menghadapi tantangan hidup, bertualang dan berkreasi serta mendapatkan pengertian serta pencerahan tentang kehidupan. Ya.. itulah antara lain sebabnya saya sekarang berkiprah dengan cara saya sendiri…” teman baru ini berkata seraya tersenyum.

Saya tercenung dengan uraiannya yang sangat spiritual itu. Setelah beberapa waktu saya berfikir dan mengevaluasi, saya hanya bisa mengambil kesimpulan bahwa teman ini bukan saja seorang Invisible Entrepreneur, tapi lebih tepatnya adalah seorang Idealistic-Invisible-Entrepreneur… (Pengusaha Ideal Yang Tidak Menampakkan Diri) …. Setidaknya ia telah memperkaya wawasan saya dengan sebuah sikap hidup unik, bebas dan mandiri..




Rusman Hakim
Pengamat Kewirausahaan
E-mail: rusman@gacerindo.com
Website: http://www.gacerindo.com
Blog: http://rusmanhakim.blogspot.com
Mobile: 0816-144.2792