Monday, August 28, 2006

To Be Or Not To Be

To Be Or Not To Be

Seorang pemimpin bangsa Cina modern, Dr. Sun Yat Sen, adalah orang yang menpopulerkan semboyan “to be or not to be”. Secara bebas, semboyan tersebut bisa diterjemahkan menjadi : “berhasil atau tidak berhasil”.

Kata-kata tersebut mengandung arti yang dalam. Manusia harus selalu menyadari bahwa sistem dualisme selalu mengatur dunia ini dalam dua kutub yang saling berlawanan. Ada gelap ada terang, ada tinggi ada rendah, ada besar ada kecil dan seterusnya. Oleh sebab itu, dalam mengejar suatu cita-cita, perlu selalu dipahami bahwa pilihannya juga hanya ada dua, yaitu berhasil atau gagal.

Berhasil berarti kemenangan, gagal berarti kehancuran. Maka, dalam hal perjuangan mencapai cita-cita luhur, tidak ada kompromi. Tidak ada pilihan untuk setengah berhasil atau setengah gagal. Yang ada hanya “berhasil” ! Kita menolak kegagalan, sehingga kegagalan harus dicoret dari kamus kehidupan kita.

Para pemimpin telah menetapkan bahwa pilihan harus hanya satu, yaitu “berhasil”. Tidak pernah ada kegagalan. Yang mungkin ada hanyalah “belum berhasil”, bukan kegagalan.

Para kandidat yang ingin menjadi pemimpin usaha yang berhasil, harus benar-benar mengambil intisari pelajaran ini. Tidak akan pernah ada kegagalan, selama kita belum berhenti berusaha. Sir Winston Churchill mengatakan : “Jangan mengaku kalah ! Jangan, jangan dan jangan pernah menyerah dalam hal apa pun yang Anda lakukan !”

Perlu dimengerti bahwa suatu perjalanan panjang menuju cita-cita adalah suatu garis penghubung antara dua titik yang saling berjauhan, yang satu di sini yang lain nun jauh di sana, dan diantara keduanya terdapat serangkaian gunung terjal serta lembah dan jurang yang curam. Gunung terjal menempatkan kita di posisi ketinggian pada satu saat, sedangkan lembah dan jurang mengharuskan kita berada di kerendahan pada saat berikutnya.

Tidak ada sesuatu yang salah dengan hal itu, semua wajar-wajar saja dan memang seharusnya begitu. Demikian juga berbagai kemenangan dan kejatuhan kecil sepanjang perjalanan menuju sukses, adalah suatu hal yang wajar-wajar saja dan memang harus dilalui. Tidak ada jalan pintas. Tiada kebahagian tanpa pengorbanan, jer basuki mowo beo, pepatah Jawa mengatakan.

Sebuah perjalanan hidup adalah sebuah proses belajar tanpa henti. Tidak ada garis finish, kecuali saat kematian. Dan aturan alam menghendaki bahwa proses belajar memang harus sarat dengan jatuh bangun, karena jatuh bangun akan membuat manusia menjadi makin matang dan piawai. Jatuh bangun membentuk pengalaman, sedangkan pengalaman adalah guru terbaik bagi siapa pun.

Seseorang yang belajar mengendarai sepeda akan lebih mahir setelah mengalami jatuh bangun sebanyak 100 kali daripada orang lainnya yang hanya mengalami hal itu sebanyak 50 kali. Seorang anak balita (usia di bawah lima tahun) yang mengalami jatuh bangun lebih banyak ketika belajar berjalan, akan lebih kuat dan lebih waspada daripada anak lainnya yang mengalaminya lebih sedikit.

Demikian juga seorang uahawan yang berkali-kali mengalami kejatuhan sebelum sukses, akan menjadi pengusaha yang tangguh dan tak perlu diragukan lagi kepiawaiannya.

Berdasarkan hal-hal itu, tulisan ini ingin memberi pesan kepada semua saja, baik yang sudah dalam proses jadi pengusaha mau pun yang masih menjadi karyawan, agar dalam usaha mewujudkan cita-cita jangan sekali-kali mengenal kata menyerah.

Nikmatilah kerja, karena kenikmatan sejati terletak pada penjiwaan dan penghayatan kerja, bukan pada hasilnya, baik berupa uang mau pun materi lainnya. Kenikmatan kerja sifatnya abadi, sementara kenikmatan materi bersifat sementara, berjangka pendek dan menyesatkan.


Rusman Hakim
Pengamat Kewirausahaan

E-mail: rusman@gacerindo.com
Web: http://www.gacerindo.com
Blod: http://rusmmanhakim.blogspot.com
Mobile: 0816.144.2782

Saturday, August 19, 2006

Business Owner dan Individual Dependency

Business Owner dan Individual Dependency

Sekarang ini, kebanyakan dari kita telah mengerti bahwa untuk menjadi pengusaha, atau Business Owner, orang tidak perlu melakukan segala kegiatan sendiri. Kita telah mengerti bahwa yang namanya pendelegasian tugas itu “wajib” hukumnya, sepanjang kita ingin menjadi pemilik usaha yang cerdas alias “smart”.

Dalam ungkapan yang lebih tegas, seorang pemilik usaha tidak perlu hadir di tempat usahanya. Baik tempat usaha itu berupa toko, kantor atau tempat lainnya. Bahkan dalam buku-buku tentang kiat bisnis, disebutkan bahwa andaikata sang pengusaha pergi jalan-jalan keliling dunia selama setahun pun, bisnis akan tetap jalan.

Benarkah demikian?

Ya benar! Namun demikian, ada sesuatu di balik ungkapan tersebut yang dapat membuat kita terjebak.

Pendelegasian tugas, tidak dapat dilakukan secara seketika pada saat perusahaan baru berdiri. Pendelegasian tugas juga bukan berarti semua tanggung jawab pemilik usaha dilimpahkan semua secara tuntas..tas!..kepada bawahannya. Masih ada beberapa tugas yang harus dilakukan sendiri oleh owner, terutama dalam hal pengawasan.

Jangan pernah berfikir bahwa karena kita telah melakukan pendelegasian, lantas kita bisa melupakan semua hal tentang perusahaan. Lalu kita hanya beraktivitas untuk bersenang-senang dan berlibur. Atau fokus menyusun strategi untuk mendirikan perusahaan baru. Yang lama, biarin aja, toh sudah ada yang mengurus, ngapain dipikirin..!

Pendelegasian tugas biasanya dilaksanakan secara bertingkat. Yang paling umum di delegasikan adalah tugas-tugas yang bersifat teknis. Kalau saya berusaha dalam bidang penjualan eceran pisang goreng misalnya, maka saya akan melimpahkan tugas-tugas teknis seperti mencari pisang yang bagus, mengolah tepung dan menggoreng sampai menyajikannya, kepada bawahan saya.

Sedangkan tugas-tugas lainnya yang bersifat lebih strategis, seperti menentukan harga jual, mencari lokasi usaha yang baik, mencari resep-resep baru sampai menciptakan terobosan-terobosan bisnis yang lebih mutakhir, saya lakukan sendiri.

Itu pun kalau memang saya sudah sanggup merekrut orang untuk bekerja sebagai bawahan. Kalau, belum ya semua saya kerjakan sendiri dulu.

Pada perusahaan yang sudah agak lebih besar, tapi kepemilikan usahanya masih dipegang oleh satu orang, boleh jadi pekerjaan-pekerjaan teknis sudah seluruhnya dilimpahkan pada para manajer. Pemilik usaha mengawasi kinerja para manajer itu, baik secara langsung mau pun melalui laporan berkala yang diterimanya setiap minggu, bulan dan tahun.

Para pemilik toko, restoran, kafe, atau bengkel sering kali masih “turun tangan” mengawasi jalannya operasional usaha sambil sesekali ikut membantu melayani pelanggan. Tujuannya jelas: melihat secara langsung kinerja para pelaksana, memberi dukungan moral kepada para karyawan, sekaligus mengambil alih tanggung jawab dari tangan karyawannya dalam kasus-kasus kritis yang mungkin terjadi.

Lho, kenapa para pemilik usaha ini masih juga harus turun tangan sendiri? Bukankah sudah ada yang namanya store manager, duty manager, front office manager dan manager-manager lainnya? Apakah pendelegasian tugas tidak dimengerti oleh para business owner itu?

Ya, tidak juga. Hampir semua pemilik usaha bernuansa modern sekarang ini mengerti tentang hal itu. Tapi, di lapangan, “teori” tidak akan secara otomatis bisa diterapkan secara seketika dan utuh. Jangan mengira bahwa kalau ada ungkapan yang mengatakan: “pemilik usaha cukup bermalas-malasan di rumah, sementara semua pekerjaan dikerjakan oleh para karyawan”, lantas penerapannya akan langsung seperti itu. Apalagi, pada perusahaan-perusahaan yang relatif masih muda, yang baru beroperasi selama kurang dari 3 tahun.

Banyak faktor lain yang mempengaruhi sehingga jalannya skenario tidak bisa persis seperti yang diharapkan. Misalnya, faktor kesiapan mental pramuniaga, karyawan yang nakal dan suka korupsi, manajer yang tidak mampu mengatasi pelanggan yang rewel atau marah-marah dan banyak kejadian lainnya.

Individual Dependency

Salah satu hal yang menarik dari kasus-kasus pendelegasian yang harus mendapat pengecualian, adalah apa yang disebut individual dependency atau ketergantungan individu.

Apa itu ketergantungan individu, dan kepada siapa kebergantungannya?

Macam-macam. Ada pelanggan, yang hanya mau berhubungan dengan seorang salesman tertentu dari sebuah perusahaan untuk urusan-urusan produk yang dibelinya dari perusahaan dimaksud.

Dia tidak pernah mau dilayani oleh salesman lain, atau bahkan oleh atasannya, meski salesman tersebut sedang berhalangan. Ia lebih suka menunggu beberapa hari sampai orang yang dikehendakinya itu bisa menemuinya katimbang harus dilayani orang lain.

Di lain kasus, seorang EDP Manager sebuah perusahaan besar, hanya mau dilayani oleh seorang teknisi tertentu untuk urusan pemeliharaan dan perbaikan sistem Teknologi Informasi perusahaannya. Dia sama sekali tidak mau dilayani oleh teknisi lain, sekali pun telah diberi penjelasan bahwa teknisi lain juga mempunyai kualifikasi dan kepiawaian yang sama.

Pelanggan-pelanggan dengan kualifikasi tertentu, hanya mau dilayani oleh pemilik usaha atau Direktur Utama. Mereka tidak mau dilayani oleh pejabat lainnya, apalagi oleh seorang staf pelaksana.

Kasus-kasus seperti di atas, menunjukkan adanya ketergantungan pelanggan kepada figur-figur tertentu, dengan alasan yang kadang-kadang kurang logis. Akan tetapi, kejadian demikian sudah sering terjadi dan kini telah menjadi fenomena lumrah.

Para pimpinan perusahaan yang berpengalaman, pasti telah memakluminya, dan mereka biasanya cukup bijaksana untuk mengakomodir keinginan pelanggan-pelanggan yang unik.

Di lingkungan perusahaan, terutama yang masih dimiliki satu orang, business owner umumnya sangat mewaspadai kemungkinan-kemungkinan seperti itu. Itu sebabnya, banyak dari mereka selalu menyempatkan diri hadir di gerainya, atau kalau ia seorang supplier, meluangkan waktu untuk datang ke kantor pelanggannya tanpa diminta. Semata-mata untuk mengantisipasi timbulnya masalah, yang pihak pelanggan tidak ingin membicarakannya dengan orang lain, selain dengan si pemilik usaha.

Dengan demikian, perlu dimengerti bahwa selalu ada kejadian di mana seakan-akan pendelegasian tugas tidak berjalan secara harfiah, sebagaimana kita baca dalam buku.



Rusman Hakim
Pengamat Kewirausahaan

E-mail: rusman@gacerindo.com
Web: http://www.gacerindo.com
Blog: http://rusmanhakim.blogspot.com
Mobile: 0816.144.2792

Sunday, August 13, 2006

Jadi Pengusaha Kok Nggak Enak Ya?

Seorang teman yang entrepreneur pernah mengeluh: “Wah, jadi pengusaha itu nggak enak. Capek! Capek fisik sih nggak apa-apa, tapi capek mental? Mana tahan…?” Demikian dia mengutarakan uneg-unegnya.

“Lho kok bisa gitu?” saya bertanya heran.

Teman ini cerita serius: “Sekarang ini, saya praktis harus kerja 24 jam sehari, 7 hari seminggu, dan harus selalu siap siaga untuk kepentingan orang lain dan untuk hal apa pun”.

“Bayangkan saja, dalam satu kejadian, saya sedang mengendarai mobil ke luar kota untuk satu urusan keluarga yang penting. Tahu-tahu, hp saya berdering. Ketika saya angkat, ternyata dari klien saya Pak Anu. Beliau minta saya mencarikan stik golf dengan merek dan tipe tertentu, dan ditunggu di lapangan golf di pusat kota saat itu juga. Gila nggak? Tapi, ya terpaksa putar haluan, balik ke Jakarta lagi. Sebagai rekanan, tugas harus saya laksanakan. Kalau nggak, ya… tahu sendiri, bakul nasi saya bisa terbalik..”

Dia melanjutkan bahwa perisiwa semacam itu bukan satu-dua kali terjadi, tapi sering. Bukan kejadian aneh kalau menjelang tengah malam waktu siap-siap pergi tidur, telpon berbunyi. Seorang klien minta ditemani ke karaoke atau ke pub untuk “berdugem”.

Di kantor, selain urusan-urusan kantor, ia juga mesti berbaik hati mengurus hal-hal tetek bengek dari klien-klien besarnya. Mulai dari urusan perbaikan mobil pribadi yang bersangkutan, sampai juga membantu mencarikan informasi tentang sekolah di luar negeri untuk kepentingan anak-anak para pejabat kliennya tersebut.

Pokoknya macam-macamlah, sehingga lama kelamaan, ia akhirnya merasa jenuh juga dengan hal-hal yang begitu.

Ada lagi sebuah cerita dari seorang teman lain, yang “curhat” beberapa waktu sebelumnya. Namanya Jacky. Dia adalah pemegang franchise sebuah merek terkenal dari Inggris, yang menjual produk-produk apparel and lifestyle, seperti pakaian, dasi, sepatu dan lain sebagainya. Semuanya untuk konsumsi kelas menengah ke atas.

Tokonya, yang ada di PIM (Pondok Indah Mall – Jakarta), selalu ramai dikunjungi orang, baik yang benar-benar serius belanja, mau pun yang hanya sekadar melihat-lihat. Saya ikut senang melihat kemajuan usaha si Jacky, karena sejak acara “Grand Launching” – di mana saya juga diundang -- saya cukup antusias memantau perkembangan yang terjadi.

Sampai suatu hari, dia mengutarakan rasa tidak bahagianya dalam menjalankan bisnis tersebut. Ia berkisah bagaimana hatinya sangat jengkel melayani pelanggan-pelanggan rewel. Meski mengerti bahwa produk yang dijualnya adalah barang-barang berkualitas dengan harga tinggi, namun ia berpendapat tidak selayaknya para pelanggan itu menjadi begitu rewel, menuntut ini-itu yang kadang-kadang nyaris tidak masuk akal.

Kalau hanya complain tentang kualitas barang yang sudah dipakai hampir seminggu, lalu minta ditukar dengan yang baru, ia masih sanggup melayaninya. Tapi ada juga, pelanggan-pelanggan yang seakan beli barang bukan untuk dipakai dan dinikmati, melainkan memang hanya untuk memberi masalah pada dirinya.

Orang-orang yang kegemarannya menteror orang lain, mentang-mentang kaya. Begitu jalan pikiran si Jacky.

Ada orang yang mengeluhkan bahwa sepatu yang baru dibeli dari tokonya, setelah dipakai beberapa hari ketahuan ada cacatnya. Orang itu menuntut Jacky bertanggung jawab.

Meski sudah dijelaskan bahwa barang yang sudah dibeli tidak dapat ditukar atau dikembalikan, sang pembeli tidak mau mengerti. Sebaliknya malah mengancam akan memuat kasus ini di koran, kalau Jacky tidak bisa memberi pertanggungjawaban yang memuaskan. Gilanya, ketika Jacky mengalah dan menawarkan penggantian barang dengan yang baru, si pelanggan rewel ini menolak!

Dengan ketusnya orang tersebut mengatakan dia hanya ingin melihat Jacky memberi solusi yang profesional, bukan sekadar menukar barang. Namun ia sendiri tidak mau menjelaskan apa yang dimaksud dengan “solusi profesional” itu. “Kalau Anda merasa profesional, tentu Anda sudah tau dong apa yang Anda harus perbuat pada saya?”

Barangkali, nasib si Jacky teman saya ini memang tidak terlalu beruntung. Karena ternyata, bukan hanya satu orang itu pelanggannya yang super rewel dan “teroris”. Dalam satu bulan ada saja 1 atau 2 pelanggan baru yang datang dengan perilaku yang aneh-aneh dan eksentrik. Semuanya menyusahkan dia.

“Kalau ada 10 orang brengsek lagi datang ke sini, mending gue tutup aja deh toko ini..”, keluh si Jacky putus asa..

Dari dua kasus di atas, saya sempat mengadakan tanya jawab yang agak mendalam dengan kedua sahabat tadi. Pada akhir tanya jawab itu, saya memperoleh kesimpulan bahwa kemungkinan besar telah terjadi “tidak kecocokan” antara karakter dan kepribadian kedua teman tersebut dengan bidang usaha yang dipilihnya.

Kedua bidang bisnis yang diutarakan di atas, adalah bidang-bidang usaha yang bersifat pelayanan. Teman pertama berkecimpung dalam dunia pemasok (supplier), sedangkan yang kedua, si Jacky, menggeluti bidang eceran (retail), di mana mereka sama-sama harus menghadapi berbagai permintaan dan tuntutan yang datang dari pelanggannya.

Yang harus dicamkan benar oleh pelaku usaha bidang pelayanan adalah, bahwa yang dituntut dari mereka adalah kesediaan untuk melakukan sesuatu berdasarkan kebutuhan, keinginan serta selera pelanggannya. Bukan selera mereka sendiri.

Kesadaran ini harus sudah benar-benar ada, sejak pertama kali si pengusaha membuat keputusan untuk memulai usaha dalam bidang tersebut, serta terjun ke dalamnya secara serius.

Dalam kewirausahaan, ada sebuah anjuran untuk mengenali terlebih dahulu jenis kepribadian yang dimiliki seseorang, sebelum yang bersangkutan memutuskan untuk menggeluti sebuah bidang usaha tertentu. Karena apa?

Karena setiap bidang usaha juga mempunyai karakternya sendiri-sendiri, masing-masing bersifat spesifik terhadap yang lain. Oleh sebab itu, perlu sekali mengidentifikasi, apakah karakter seseorang itu cocok atau tidak dengan karakter dari usaha yang dipilihnya.

Jika terjadi tidak kesesuaian, bisa diramalkan bahwa dalam waktu tidak terlalu lama, si pengusaha akan merasa “tidak betah” bahkan akhirnya “tersiksa” oleh bidang usaha yang dipilihnya sendiri. Buntutnya jelas, bisnis akan menjadi tersendat, bahkan bisa menjadi layu sebelum berkembang.

Itu sebabnya, pada kejadian-kejadian semacam ini, para pelaku usaha akan merasakan bahwa menjadi pengusaha itu ternyata “tidak enak”, tidak seindah apa yang mereka lihat pada pengusaha-pengusaha lain yang sukses.

Itu pulalah alasannya, mengapa banyak orang merasa bahwa mereka tidak bakat atau tidak mampu menjadi pengusaha. Padahal, yang terjadi sebenarnya bukanlah tidak mampu jadi pengusaha, melainkan hanya tidak cocok dengan bidang usaha yang dipilih.

Sedikitnya ada 4 tipe kewirausahaan primer yang ada pada diri manusia. Yaitu, tipe “D” atau “Dominan”, tipe “P” atau “Pop”, tipe “S” atau “Servis” (Pelayanan) serta tipe “K” atau “Konvensional”. Nah, masing-masing tipe kepribadian manusia ini sifatnya sangat khas, sehingga bidang usaha yang sesuai untuk mereka juga berbeda satu dengan yang lain.

Dari namanya, mudah untuk dimengerti bahwa tipe kepribadian yang sesuai untuk melakukan bisnis jenis pelayanan, adalah tipe “S”. Namun bagaimanakah caranya agar kita atau seseorang dapat mengenali dirinya sebagai tipe “S” atau bukan?

Saya ingin sekali membahas secara tuntas tentang masalah kesesuaian kepribadian seseorang dengan jenis bidang usaha yang akan dijalankan, karena memang hal ini termasuk satu hal penting dalam kewirausahaan. Sayang sekali, pembahasan dimaksud akan memakan halaman yang terlalu panjang, sehingga kurang layak untuk disajikan dalam milis internet.

Saya berharap, apabila rekan-rekan di milis berminat untuk mengetahui dirinya termasuk tipe kepribadian apa, serta bidang-bidang usaha apa yang sesuai untuk dilakoni, mudah-mudahan ada kesempatan bagi saya untuk mempresentasikannya dalam waktu dekat. Entah dalam suatu acara seminar, pertemuan informal, “kopi darat” atau kesempatan-kesempatan lainnya.

Salam sukses,
Rusman Hakim
Pengamat Kewirausahaan

E-mail: rusman@gacerindo.com
Web: http://www.gacerindo.com
Blog: http://rusmanhakim.blogspot.com
Mobile: 0816.144.2792

Tuesday, August 01, 2006

BERHARAP YANG TERBAIK, BERSIAP YANG TERBURUK

Dua hari yang lalu, saya menerima sebuah pesan singkat (sms) dari seorang teman. Isinya, sebuah kabar duka tentang meninggalnya seorang rekan, yang sudah sekian tahun tidak berjumpa. Namanya Tedjo (bukan nama sebenarnya).

Ketika saya menelpon balik kepada si pengirim sms, dia bercerita bahwa rekan kami yang meninggal itu sungguh bernasib naas.

Semula Tedjo adalah seorang wirausahawan sukses, bahkan karena suksesnya itu ia bisa terpilih sebagai Ketua Umum sebuah asosiasi pengusaha dalam bidang bisnis tertentu.

Belasan tahun, sejak zaman Orde baru, Tedjo berkiprah sebagai pengusaha yang penuh kejayaan, kegemerlapan serta keglamoran. Ia kebanggaan keluarga, terutama bagi isteri dan anak-anak, serta sekaligus menjadi kebanggaan para sahabat dekatnya.

Sampai suatu ketika, beberapa saat sebelum gerakan reformasi meletus, lahan bisnis yang sudah bertahun-tahun digarapnya, diambil alih oleh seorang pejabat pemerintah yang berkuasa. Dan ternyata, peristiwa itu menjadi sebuah momentum dari sebuah perjalanan panjang penuh kepahitan bagi kehidupan Tedjo selanjutnya.

Sebagai seorang pengusaha yang pernah gilang-gemilang sekian lama, di mana ia telah menjadi lambang kejayaan sebuah komunitas besar dari sebuah industri, Tedjo mencoba bertahan. Ia percaya bahwa dirinya masih cukup piawai untuk merebut kembali kepemimpinan bisnis di pasar.

Tedjo mungkin saja benar. Kepiawaian dalam bidang usaha yang telah digeluti selama waktu yang lama, ditambah ketahanan finansial yang cukup besar hasil kucuran keringatnya selama ini, memberi bukti bahwa ia masih mampu terus berkiprah selama lebih dari lima tahun.

Namun demikian, hasil perjuangannya itu cuma sebatas mempertahankan nafas. Kinerja perusahaannya tidak kunjung meningkat, bahkan sedikit demi sedikit statistik memperlihatkan degradasi yang terus menurun. Meski segala kemampuan dan segala jurus bisnis yang dipunyai telah dikerahkan sepenuh-penuhnya, namun tetap saja tidak membuahkan hasil sebagaimana yang diharapkan.

Sejalan dengan berlalunya sang waktu, pamor seorang Tedjo yang dahulu adalah tokoh kebanggaan komunitasnya, kebanggaaan keluarga dan para sahabat, mulai memudar. Dan akhirnya pada tahun ke tujuh, perusahaan milik Tedjo harus gulung tikar dengan meninggalkan sejumlah hutang yang harus dibayar.

Sungguh sial nasib tokoh kita ini. Para sahabat yang tadinya begitu dekat dan akrab, sekarang pergi meninggalkan dirinya satu per satu. Seakan tidak ada lagi yang mau peduli akan nasibnya yang sedang dirundung malang. Bagaikan sekawanan kumbang yang terbang pergi entah ke mana setelah puas menghisap madu.

Puncaknya adalah ketika tanpa pernah disangka, sang isteri yang selama ini kelihatan setia mendampingi di saat sukses, kini ikut-ikutan berubah sikap. Tiada lagi senyum mesra, tidak ada lagi canda tawa dan tiada lagi pandangan penuh kekaguman pada sang suami. Yang ada hanya sikap acuh tak acuh, senyum sinis, kata-kata menusuk hati serta perilaku yang sudah di luar kendali.

Sehebat-hebatnya seorang Tedjo, ia tetaplah seorang manusia yang terdiri dari darah dan daging. Ia bukan terbuat dari baja atau beton bertulang. Usaha yang bangkrut serta beban finansial yang menyertainya, ditambah lagi beban mental yang harus diterima dari perubahan sikap para sahabat dan terutama isterinya sendiri, telah membuat Tedjo terpukul luar dalam.

Ia tidak mampu lagi berfikir jernih. Kecerdasan otaknya yang selama ini sangat brilian mencetuskan ide-ide bisnis, kini membeku. Depresi mental pun menyergap, dan ia menjadi sosok yang sakit-sakitan. Satu tahun ke depan setelah peristiwa penutupan perusahaannya, adalah masa-masa di mana ia harus keluar-masuk rumah sakit.

Pada akhirnya, tanpa dukungan moral dari pihak keluarga serta para sahabatnya, Tedjo pun berpulang ke rakhmatullah beberapa waktu kemudian.

Wafatnya Tedjo, bukanlah peristiwa pertama yang membuat saya harus berfikir tentang seluk beluk kehidupan ini, teristimewa tentang liku-liku kehidupan yang melingkupi para wirausahawan.

Beberapa tahun sebelum kematian Tedjo, seorang teman lain berinisial F, pernah mengirim kabar kepada saya bahwa ia sedang berada di ruangan sebuah rumah sakit, karena esok harinya akan menjalani operasi jantung yang cukup kritis.

F bercerita dengan jujur bahwa hal itu bermula dari sebuah peristiwa yang terjadi kira-kira 2 tahun sebelumnya. Sebuah peristiwa di mana ia harus menelan kenyataan pahit, bahwa proyeknya yang bernilai milyaran rupiah, dibatalkan begitu saja oleh seorang pejabat yang baru diangkat.

Protes sana, protes sini, urus sana urus sini, semua usahanya itu sia-sia belaka. Dan akhirnya, investasi bermilyar rupiah pun amblas!

Shock berat, menyebabkan tekanan jiwa dan gangguan jantung, yang berakhir di meja operasi. Syukurlah teman ini akhirnya selamat dan sembuh, dengan meninggalkan bekas sayatan panjang membelah dada serta lengannya.

Biar bagaimana pun, peristiwa-peristiwa semacam ini adalah sebuah realitas. Sebuah kenyataan yang tidak bisa dipungkiri keberadaannya, dan seharusnya tidak pula kita berpaling darinya.

Wirausahawan, sejalan dengan makna yang terkandung dalam kata “wira”, adalah seorang patriot. Seorang pejuang, yang memperjuangkan harkat dan kehormatan diri, keluarga serta masyarakat.

Yang menjadi pertanyaan adalah, bisakah kejadian-kejadian semacam itu dicegah? Dapatkah jatuhnya korban diminimalisir sampai sesedikit mungkin?

Sebagaimana telah saya paparkan pada tulisan terdahulu, seorang wirausahawan perlu melakukan balance adjustment atas 2 hal penting, yaitu keberanian versus kecerdikan (bravery vs smartness).

Kecerdikan lebih bersandar kepada logika. Dengan dasar-dasar pemikiran yang sederhana, sebenarnya seseorang akan dapat menekan tingkat risiko stres dan depresi, sampai ke tingkat cukup signifikan.

Saya terkesan dengan kiat seorang teman di milis, yang mengajukan sebuah konsep berbasis smartness.

Teorinya sederhana. Yaitu, apabila kita membangun sumber penghasilan lebih dari satu kuadran (misalnya satu di kuadran “B”/bisnis dan satu lagi di kuadran “S”/self employed), maka tentunya posisi keuangan kita akan lebih aman dibanding kalau kita cuma mempunyai sumber di satu kuadran saja.

Ini merupakan sebuah solusi yang sangat cerdik. Banyak yang sudah mempraktikkannya. Sebagai contoh, beberapa teman menjalankan usaha sambil tetap mempertahankan statusnya sebagai pegawai, untuk jangka waktu beberapa lama.

Konsep yang sama seharusnya dapat diterapkan juga dalam kasus-kasus bisnis sebagaimana diceritakan di atas. Andaikata teman saya Tedjo mau menjalankan bisnis di dua atau tiga bidang usaha yang berbeda sekaligus, mungkin cerita akan menjadi lain. Wallahu alam..

Solusi Spiritual

Di samping kecerdikan berdasarkan logika, ada sebuah solusi lain yang lebih bersifat hakiki, yang sebenarnya jauh lebih ampuh untuk digunakan sebagai penangkal stress dan depresi mental. Solusi dimaksud adalah solusi berdasarkan kiat-kiat spiritual.

Menurut saya, sudah seharusnya seorang entrepreneur mempersiapkan diri sebaik-baiknya -- termasuk dalam aspek spiritual – sebelum ia benar-benar terjun ke dalam kancah persaingan bisnis yang ganas.

Di negeri barat, kebanyakan kaum pengusaha adalah penganut-penganut agama Kristen yang baik. Sementara di Taiwan, Korea dan China, kaum pengusahanya rata-rata berbisnis dengan berpedoman kepada Konfusianisme. Dan mereka sangat memahami aspek-aspek spiritual. Spiritualisme yang diterapkan dalam dunia kewirausahaan, disebut “entrepreneurial spiritualism”.

Maka, untuk mengatasi depresi mental yang dialami para usahawan, diperlukan kesadaran tentang entrepreneurial spirituality. Ini adalah salah satu wacana yang merupakan bagian terpenting dari pengetahuan kewirausahaan secara utuh. Dengan kesadaran dimaksud, seorang entrepreneur akan selalu berada dalam kondisi: “berharap untuk yang terbaik, tapi tetap siap untuk yang terburuk”.

Sayang sekali bahwa pembahasan mengenai hal terebut memerlukan penulisan panjang, yang tidak mungkin bisa dimuat hanya dalam satu artikel saja. Namun demikian, apabila rekan-rekan di milis, Pak Moderator serta sidang pembaca sekalian berminat untuk mencermati apa yang disebut dengan entrepreneurial spirituality, saya bersedia untuk menuangkannya dalam satu rangkaian tulisan.

Untuk itu dengan segala kerendahan hati, saya mohon masukannya…!



Rusman Hakim
Pengamat Kewirausahaan

E-mail: rusman@gacerindo.com
Web: http://www.gacerindo.com
Blog: http://rusmanhakim.blogspot.com
Mobile: 0816.144.2792