Sunday, August 05, 2007

Apa Yang Kau Cari Palupi?

APA YANG KAU CARI PALUPI?

Pada tanggal 30 Juli 2007 yang baru lalu, majalah “Globe” edisi Asia, melalui Executive Chairman nya Rizal Ramli mempublikasikan daftar peringkat orang-orang terkaya di Indonesia. (Kompas, 31 Juli 2007).

Dari daftar tersebut dapat dibaca bahwa gelar Orang Terkaya Nomor 1 di Indonesia saat ini dipegang oleh Budi Hartono, pemilik perusahaan PT Djarum Kudus dengan nilai aset sebesar 37,8 triliun rupiah.

Disusul kemudian oleh Rachman Halim, bos Gudang Garam di tempat kedua dengan kekayaan senilai 31,5 triliun. Sementara tempat ketiga diisi oleh dedengkot kelompok Sinar Mas, Eka Tjipta Widjaja dengan harta sebesar 27,9 triliun rupiah.

Sebelumnya, beberapa waktu yang lalu majalah beken “Forbes” juga mengumumkan daftar Orang-orang Terkaya di Indonesia.

Saat itu, formasinya berbeda. Yang bertengger di peringkat teratas adalah Sukanto Tanoto dari Raja Garuda Mas (Rp. 25 T). Peringkat kedua dipegang oleh Putera Sampoerna (Rp. 19 T), sedangkan di tempat ketiga ada Eka Tjipta Widjaja (Rp. 18,2 T).

Melihat angka-angka kekayaan mereka ini, mungkin ada di antara kita yang kesulitan membayangkan, sebenarnya seberapa besarkah uang triliunan milik orang-orang terkaya tersebut?

Saya bisa mengatakan bahwa mereka memang “benar-benar kaya”, karena jumlah uang yang mereka miliki memang “benar-benar buessarr..”. dan untuk itu saya bisa menunjuk satu kejadian sebagai acuan.

Dulu, sewaktu heboh peristiwa korupsi yang dilakukan oleh Edy Tanzil, dana yang ditilep oleh bos kelompok Golden Key itu adalah sebesar 1,3 triliun. Seorang pembaca “Kompas” yang tergelitik dengan jumlah tersebut, lantas mencoba menghitung, seberapa “besar” kah uang 1 triliun sebenarnya?

Ia lalu mengasumsikan bahwa uang 1 triliun itu diberikan dalam bentuk uang kertas pecahan 100 rupiah. Diukurnya panjang dan lebar dari selembar uang kertas tersebut, kemudian dihitung ada berapa lembar 100 perakan yang dibutuhkan guna melengkapi nilai 1 triliun.

Rasa keingintahuan mendorongnya untuk menghitung seberapa luaskah apabila seluruh lembar uang kertas 100-an rupiah digelar di atas tanah, sampai mencapai nilai 1 triliun. Hasilnya?

Wow, ia sendiri “surprised”! Karena ternyata luas “uang cepekan” yang digelar sampai senilai 1 triliun, akan menutupi keseluruhan luas Pulau Jawa!

Fuantastik.. kata seorang teman.

Maka ia yakin kalau jumlah kekayaan 150 orang kaya Idonesia, yang konon mencapai Rp. 419 triliun digelar dengan cara yang sama, maka seluruh luas wilayah Republik Indonesia akan tertutup habis, baik daratan mau pun lautannya..

Angka Tertinggi

Saya mencoba untuk mengkaji dengan cara saya sendiri. Dulu di Indonesia, ada sebutan “jutawan” untuk menggambarkan orang kaya atau banyak duit. Beberapa waktu kemudian istilah tersebut tampaknya menjadi ketinggalan jaman, sehingga muncul istilah pengganti, yaitu “milyarder” karena orang kaya uangnya tidak lagi cuma jutaan, tapi milyaran.

Lalu, kalau sekarang mereka uangnya sudah triliunan begitu, saya nggak tau lagi istilahnya apa? Triliuner?

Satu triliun itu kalau ditulis dengan angka, maka paling tidak harus ada angka nol sebanyak 12 buah. Ditambah angka 1 di depannya, maka total ada 13 digit.

Lantas, sampai berapa digitkah angka yang harus dicapai oleh para orang kaya agar prestasinya tidak dapat lagi digeser oleh orang lain? Berapakah angka tertinggi yang ada di dunia ini?

Angka atau bilangan tertinggi di dunia ini tidak ada, bahkan manusia pun tidak tahu cara menuliskan angka yang mewakili nilai “tidak terhingga”, sehingga disepakati bahwa dipakai simbol “∞” untuk keperluan itu.

Nah, kalau angka tertinggi itu tidak pernah ada, saya berfikir, bukankah kontes pemeringkatan orang-orang terkaya itu juga menjadi pekerjaan yang sia-sia? Tidakkah itu sama dengan pekerjaan mengejar-ngejar bayangan, yang sampai kapan pun tidak akan pernah sampai dititik akhir?

Seorang teman sempat mengeritik saya: “Pak Rusman, bukankah kita lihat di arena olah raga juga berlaku seperti itu? Coba lihat, atlit lompat tinggi tidak akan pernah mencapai langit sampai kapan pun mereka melompat, kan? Tapi kompetisi selalu digelar. Atlit-atlit unggulan datang, berprestasi maksimal, mereka lalu menjadi juara di puncak kejayaannya untuk kemudian digusur lagi oleh mereka yang datang belakangan. Muncul juara baru, begitu seterusnya, dan itulah siklus hidup. Yang penting itu semua bermanfaat..”

“Justru itu yang saya maksud..”, jawab saya menimpali.

“Kejuaraan olah raga memang mendatangkan banyak manfaat bagi banyak orang. Atlit menjadi sehat, termotivasi, dan mereka pun dibayar untuk prestasinya. Pihak penyelenggara berikut berpuluh-puluh pekerja mendapat penghasilan dari karcis masuk, penonton pun terhibur..”

“Nah, kalau bicara mengenai manfaat, mari kita lihat sampai di mana manfaat yang bisa ditarik dari sebuah kontes orang-orang kaya. Jumlah kekayaan yang dilibatkan tidak main-main lho. Ratusan triliun itu lebih besar dari anggaran belanja negara di bidang apapun, selama satu tahun. Kalau uang sekian banyak benar-benar dimanfaatkan untuk kemaslahatan masyarakat, tentunya keadaan negeri ini tidak separah sekarang. Coba lihat, pengangguran berapa juta orang? Kelaparan di mana-mana, kemiskinan merajalela. Itu sebabnya saya merasa kontes semacam itu tidak banyak mendatangkan manfaat..”

Kesenjangan Sosial

Publikasi pemeringkatan orang-orang terkaya di Indonesia, lebih condong merupakan publikasi tentang kesenjangan sosial yang ada di Indonesia. Karena, sementara sekelompok kecil orang menguasai sekian banyak potensi ekonomi negara, di sisi lain kita lihat kemelaratan yang berlarut-larut menimpa sebagian besar rakyat.

Pertanyaannya adalah, seberapa jauhkah keberadaan kaum kaya itu mendatangkan manfaat bagi rakyat banyak?

Kita tidak menutup mata bahwa di antara orang-orang kaya itu terdapat beberapa pengusaha yang telah berjasa “menghidupi” ribuan buruh yang bekerja di pabrik-pabrik mereka.

Tapi, buruh tetaplah buruh, sebuah profesi yang sama-sama kita tahu kondisinya, gajinya, serta kesejahteraannya seperti apa. Demikian juga masa depannya, yang dari tahun ke tahun ya begitu-begitu juga..

Kita tidak menutup mata akan adanya para pengusaha kaya yang menjadi “filantropis”. Mereka maju ke depan saat terjadi berbagai bencana dan menyumbangkan banyak dana guna membantu para korban. Tapi, seberapa ikhlaskah? Seberapa besar? Dan tidak adakah maksud lain di balik itu semua?

Seorang taipan negeri ini dengan ringan mengatakan menyumbang 2 milyar untuk korban tsunami di Aceh, seraya mengatakan: “Itu hanya sebagian kecil dari harta saya..”

Alhamdulillah, yang bersangkutan mau menyumbang sesama. Tapi, hanya itukah?

Kalau sang taipan menyumbang 2 milyar dari hartanya yang 20 triliun misalnya, maka itu berarti dia menyumbang sebesar 1 per mil dari total aset yang dimiliki. Bandingkan bila seorang pesuruh kantor yang seluruh miliknya bernilai 2 juta rupiah, lalu ia menyumbang sebesar Rp. 50.000 untuk Aceh, berarti dia memberi sebesar 2,5 persen dari hartanya. Tidak jelas lagi, mana yang lebih berharga dari keduanya, sumbangan sang taipan, ataukah sumbangan si pesuruh?

Bukankah rakyat tidak hanya butuh kerja hari ini untuk bisa makan hari ini, dan diberi ransum saat bencana datang saja? Mereka butuh masa depan yang lebih baik..

Motivasi

Beberapa orang mengatakan bahwa daftar orang-orang terkaya di Indonesia itu dapat dimanfaatkan sebagai motivasi bagi kalangan pengusaha Indonesia untuk lebih memacu prestasinya secara lebih maksimal, sehingga diharapkan di masa mendatang akan ada lebih banyak lagi pengusaha-pengusaha sukses yang berkontribusi besar untuk negara.

Rizal Ramli pun mengatakan bahwa daftar orang-orang terkaya yang dipublikasikan oleh institusinya itu merupakan terobosan dari semangat kewirausahaan dan talenta komunitas bisnis Indonesia.

Benarkah demikian?

Kalau melihat apa yang saya utarakan di atas, kehadiran orang-orang kaya tampaknya tidak terlalu banyak mengangkat derajat kehidupan rakyat Indonesia. Kemiskinan dan kelaparan yang masih berlarut-larut di segala pelosok tanah air menjadi bukti nyata.

Dilain fihak, sebagaimana banyak saya tuliskan pada tulisan-tulisan sebelumnya, motivasi menjadi kaya akan merupakan upaya yang riskan. Di tengah-tengah budaya hidup yang serba materialistis ini, di mana orang menghalalkan segala cara untuk bisa mendapatkan kekayaan, pemeringkatan orang-orang kaya justru bisa mendatangkan mudarat.

Sebab apa?

Sebab, sebelum adanya angket pemeringkatan tersebut, masyarakat telah terlebih dahulu dimotivasi habis-habisan oleh kultur kehidupan yang mendewakan kemewahan selama lebih dari 30 tahun, sejak zamannya Orde Baru berkuasa.

Lihat saja film atau sinetron Indonesia, yang tanpa relevansi jelas, begitu banyak mengeksploitir kekayaan sebagai daya tariknya. Kalau Anda datang ke lahan parkir para wakil rakyat yang terhormat di Senayan, di situ kita bisa lihat “pameran mobil mewah” milik beliau-beliau yang sudah pasti kaya-kaya semua.

Di kota-kota besar, apartemen-apartemen mewah memasang harga yang tidak tanggung-tanggung. Rata-rata bisa mencapai di atas 1 milyar rupiah. Tapi, sulitkah untuk mengerti mengapa di negeri miskin ini, apartemen mewah sudah “sold-out”, terjual habis bahkan sebelum pembangunan fisiknya dimulai?

Hal-hal semacam itu merupakan pencetus motivasi rakyat banyak untuk bisa menjadi kaya. Di tengah-tengah kondisi negeri saat sekarang, di mana mencari pekerjaan susah, mencari peluang usaha juga susah, tidak ada pilihan lain selain mencari jalan pintas. Maka jangan heran kalau kemudian beberapa pengusaha berubah menjadi pembobol-pembobol bank, sebagian lagi mengedarkan bahkan membangun pabrik narkotika, munculnya penipu-penipu melalui sms hadiah, para birokrat yang menjalankan korupsi berjamaah dan lain sebagainya.

Ini juga barangkali yang bisa menjelaskan mengapa hasil angket internasional menobatkan Indonesia sebagai salah satu “Negara Terkorup di Dunia”.

DR. Suparman mengatakan bahwa seorang wirausahawan adalah seorang pengusaha yang secara moral bersih. Jujur dan berintegritas, jauh dari perilaku korupsi serta kolusi. Dan itu yang dibutuhkan bangsa ini, kalau kesejahteraan rakyat memang menjadi prioritas.

Oleh sebab itu, menurut saya, bagi seorang wirausahawan sejati tidaklah perlu memotivasi diri dengan faktor kekayaan semata. Riskan, sebab begitu kekayaan tidak mau datang dengan segera, kita pasti tergoda untuk mencari jalan pintas.

Dan, istimewanya, akan banyak pihak lain, yang dengan tangan terbuka akan menerima kita untuk bersama-sama mencari jalan pintas di blantika bisnis Indonesia yang sudah ambur adul.

Selama kita masih mau berharap bahwa suatu waktu kelak landasan moral bangsa Indonesia akan kembali membaik, sehingga pada gilirannya nanti juga akan membawa perbaikan kesejahteraan bersama yang lebih adil, maka sebaiknya kita mencari pemicu motivasi yang lain saja. (rh)



Rusman Hakim
Pengamat Kewirausahaan
E-mail: rusman@gacerindo.com
Web: http://www.gacerindo.com
Blog: http://rusmanhakim.blogspot.com
Mobile: 0816.144.2792