Sunday, January 25, 2009

WORK WITH, NOT WORK FOR..!


WORK WITH, NOT WORK FOR..!

Minggu, 18 Januari 2009

Pada hari pertama menjalani karir kemandirian di dekade 1990an, saya datang ke kantor pusat klien saya -- salah satu bank pemerintah terbesar -- untuk menandatangani kontrak sebagai konsultan independen.

Waktu itu, manajer SDM ternyata masih mengikuti rapat, maka ia memerintahkan seseorang untuk menyiapkan lembar kontrak untuk saya. Seorang staf yang terlihat amat lugu tergopoh-gopoh menyerahkan seberkas dokumen. Ternyata yang dia serahkan keliru, karena yang dibawanya adalah draf blanko perjanjian kerja untuk pegawai kontrak. Namun karena ingin tahu, saya sempatkan juga untuk membaca draf tersebut. Apa saja sih, yang dibahas dalam perjanjian kerja pegawai kontrak, pikir saya.

Baru membaca paragraf pertama, saya sudah surprised. Di situ tertulis: “PARA PIHAK: ..BANK XYZ….untuk selanjutnya disebut PEMBERI KERJA….. … si Polan,…untuk selanjutnya disebut PENCARI KERJA…”

Saya merasa aneh dengan kata-kata “pemberi kerja” dan “pencari kerja” itu. Kenapa tidak digunakan sebutan “Pihak Pertama” dan “Pihak Kedua” saja, sebagaimana lazimnya tertulis pada sebuah perjanjian kerjasama, MoU atau sejenisnya. Sungguh exposure pada istilah “pencari kerja” itu bernada melecehkan.

Nah, kalau pada paragraf pertama saja, istilah yang dipakai sudah terasa vulgar, maka jangan ditanya paragraf-paragraf selanjutnya. Nyaris semua pasal bertendensi menekan dan memarginalkan posisi, harga diri serta jaminan yang akan diterima oleh pegawai kontrak.

Saya menyerahkan kembali dokumen tersebut sambil berkata: “Pak, maaf ya.. Ini salah, bukan draf kontrak ini yang untuk saya. Saya bukan pencari kerja. Bank ini yang justru mencari saya untuk jadi konsultan. Oleh karena itu, tolong sampaikan pada pak Manajer supaya dibuatkan yang baru dan khusus untuk saya..”

Sang staf terperangah, dan sebelum ia sempat mengucapkan sesuatu, saya susulkan kata-kata: “Bilang juga pada beliau, bahwa yang tanda tangan harus Pak Direktur. Saya keberatan kalau yang tanda tangan kontrak saya Manajer SDM..”. Setelah itu saya pergi meninggalkan sang staf yang masih salah tingkah.

Kenapa saya berani berlaku searogan itu? Tidak, saya bukan arogan. Itu hanya manuver entrepreneurial dalam upaya menaikkan posisi tawar saya, sekaligus pindah ke kuadran yang lebih bernuansa kemandirian. Nothing to lose.., karena saat itu saya masih bekerja di salah satu perusahaan IT paling bergengsi di Indonesia, saya tidak khawatir apa-apa. Kontrak jadi ditandatangani syukur, tidak pun tidak masalah.

Seperti telah saya duga, esok harinya pagi-pagi sang Manajer SDM sudah menelpon. “Halo, Pak Rusman? Maaf kejadian kemarin Pak. Hari ini Bapak ditunggu Pak Direktur untuk tandatangan kontrak, dengan format khusus untuk Bapak sebagai konsultan independen..”

Anda tahu kenapa saya begitu yakin? Karena 2 hari sebelumnya saya sudah berhasil “menaklukkan” 3 orang konsultan bule dalam sebuah paparan. Saya kebetulan mampu menunjukkan pada mereka, titik-titik penting yang menyebabkan proyek IT mereka macet selama 2 tahun. Bule-bule ini langsung “jatuh hati” pada saya, dan mendesak agar saya segera bergabung dengan mereka di bank pemerintah itu. Karena mereka berasal dari perusahaan konsultasi internasional ternama, masing-masing dari Booz, Allen and Hamilton (BAH), Harvard Institute for International Development (HIID) serta Comprehensive Marketing System (CMS) yang direkrut Depkeu, saya percaya mereka akan mampu “memaksa” Direksi Bank untuk memakai jasa saya. Dan itu terbukti..!

Namun, bukan itu point saya. Ada yang lebih penting. Dari apa yang saya ceritakan di atas, setidaknya ada 3 bahan kajian yang perlu mendapat perhatian, yaitu:

Pertama, salah satu tantangan berat yang dihadapi generasi muda dalam merintis masa depannya adalah adanya tekanan-tekanan dari generasi tua yang mengendalikan perusahaan-perusahaan nasional, BUMN dan lain-lain, berupa marginalisasi posisi tawar kaum muda. Seperti dalam kasus di atas, di mana status generasi muda yang berpotensi menjadi profesional, hanya diperlakukan sebagai “pencari kerja” dengan kompensasi serta jaminan serba terbatas.

Dengan provokasi seperti itu, tidak heran kalau selama ini para karyawan selalu dihinggapi perasaan bahwa dirinya tidak lebih dari “kuli” atau “tangan di bawah”, sehingga lambat laun mereka pun kehilangan karakter leadershipnya.

Kedua, bahwa untuk menghindari jebakan menjadi karyawan bercitra kuli atau tangan di bawah, maka seyogyanya kaum muda harus dapat melakukan sepak terjang yang entrepreneurial. Hanya dengan jalan itu, seseorang yang relatif masih yunior dapat menempatkan diri sebagai sesama tangan diatas terhadap pihak lain. Tentu saja mereka harus membekali diri dengan sumber daya pengetahuan atau keterampilan yang diperlukan. Seperti ditunjukkan dalam cerita di atas, bagaimana “anak kemarin sore” seperti saya berhasil mengadakan business deal langsung dengan direksi bank ternama yang didukung para konsultan mancanegara.

Ketiga, ada langkah lebih ideal untuk kaum muda merintis kehidupan yang lebih baik. Yaitu, bermodalkan entrepreneurial mindset yang dilengkapi dengan satu saja kecakapan di bidang tertentu, seseorang akan dapat mendirikan sebuah usaha mandiri. Dengan jalan ini, otomatis posisinya akan terangkat sebagai “majikan kecil dengan tangan di atas” . Toh, ada pepatah yang berbunyi: “Lebih baik jadi bos kecil, daripada jadi kuli besar..!”

Untuk menjadi usahawan, tidak melulu dengan membuka gerai makanan, bengkel, warung atau toko di pinggir jalan. Juga tidak perlu repot membeli ruko lebih dulu dan hak-hal lain yang tidak substansial. Bagi kalangan menengah, banyak entrepreneurial efforts yang lebih memadai seperti jadi konsultan, freelancer, trainers, dan banyak lagi.

Rekan saya David, pembicara dari Dynamic Life Singapore pernah mengatakan: “WORK WITH.., NOT WORK FOR..”. Artinya, bagi kita yang entrepreneurial, (meski masih berstatus pegawai sekali pun), jangan mengatakan bahwa Anda bekerja untuk seseorang, tapi berkatalah bahwa Anda bekerja bersama seseorang. Dengan demikian Anda tetap memiliki posisi tawar yang baik, tanpa harus dimarginalkan sebagai tangan di bawah..

Semoga bermanfaat !

Rusman Hakim
Pengamat Kewirausahaan
Profec’s Entrepreneurial Leadership Center
E-mail: rusman@gacerindo.com
Blog: http://rusmanhakim.blogspot.com/
Web: http://www.rusmanhakim.com/ (under construction)
Mobile: 0816.144.2792

THE EAGLE HAS LANDED


THE EAGLE HAS LANDED

26 Januari 2009: Sebuah renungan di Tahun Baru Imlek 2560

Saya menyukai film perang, dan salah satu yang menurut saya paling hebat adalah film berjudul: THE EAGLE HAS LANDED (Sang Garuda Telah Mendarat). Film yang diperani oleh Michael Caine ini berkisah tentang kegagahperkasaan seorang perwira legendaris Nazi Jerman yang bernama Kolonel Kurt Steiner. Di situ ditayangkan bagaimana sang kolonel dengan keberanian yang luar biasa ditunjang kemampuan tempur 16 orang para komando, berhasil mendarat di Inggris dan mengobrak-abrik pasukan Sekutu yang waktu itu sudah menduduki Polandia.

Sejak awal hingga akhir, penonton terus diprovokasi dengan adegan-adegan pertempuran menegangkan, seru dan sarat dengan nilai-nilai patriotisme yang heroik. Meski pada akhirnya Kolonel Steiner gugur sebagai martir, namun misi yang diembannya berhasil dengan sukses sekaligus menimbulkan kerugian besar pada pasukan Sekutu. Itu adalah sebuah kisah nyata yang terjadi di lingkungan militer saat perang.

Sebuah kisah heroisme saat damai juga terjadi di lingkungan sipil. Sepak terjang seorang Kolonel lain yang tidak kalah serunya telah menginspirasi banyak orang. Dialah Kolonel Sanders, yang di usia 65 tahun telah begitu gagah-berani menjelajah benua Amerika dengan mengendarai sebuah mobil tua, mengetuk 1000 lebih pintu rumah orang hanya untuk mencari mitra dalam rangka membangun kerajaan bisnisnya, Kentucky Fried Chicken (KFC).

Semua kisah -- baik yang difilmkan atau dibukukan -- hanya menjadi seru, menarik serta berharga untuk disimak apabila di dalamnya banyak adegan-adegan menegangkan. Guncangan-guncangan emosional selalu diperlukan guna membuat sebuah true-story berkualitas. Siklusnya pun selalu menampilkan hal yang sama, mulai dari sang tokoh muncul dalam situasi penuh tekanan, tidak jarang diwarnai dengan ketidakberdayaan, keterbatasan, cercaan bahkan hinaan, lalu dilanjutkan dengan perjuangan gagah berani, dan diakhiri dalam 2 kemungkinan, yaitu sukses (happy ending), atau martir (sad ending).

Saya membayangkan, betapa bangganya anak cucu Kol. Steiner dan juga Kol. Sanders ketika mendengar kisah-kisah luar biasa tentang sepak terjang orang-orang tua mereka. Bangga karena menyadari bahwa pendahulu mereka adalah para leaders yang dihormati.

Bagaimana dengan kita? Sudahkah kita merangkai kisah hidup kita sendiri dengan berbagai pengalaman mendebarkan, seru serta menegangkan sehingga menjadikannya kisah yang berkualitas?

Kalau belum, mari tinggalkan zona nyaman yang hingga sekarang masih kita rangkul erat-erat, lalu terjun ke medan tempur sebagaimana The Eagle Has Landed. Tidak masalah apakah akhir kisah kita akan “happy ending”, ataukah “sad ending”. Yang penting, dengan terjun ke medan tempur kita telah membuat kisah hidup kita berkualitas. Kisah yang anak cucu kita bangga mendengarnya, bukan justru malu karena orang tuanya pecundang yang tidak pernah bertempur sama sekali.

Rusman Hakim
Pengamat Kewirausahaan
Profec’s Entrepreneurial Leadership Center
E-mail: rusman@gacerindo.com
Portal: http://www.gacerindo.com/
Blog: http://rusmanhakim.blogspot.com/
Web: http://www.rusmanhakim.com/ (under construction)
Mobile: 0816.144.2792