Saturday, August 13, 2016

Fenomena sharing economy semakin jelas..

Dalam foto-foto ini terlihat bagaimana warga beramai-ramai berebut mendaftar untuk menjadi pengemudi GrabCar, perusahaan taxi online, yang digelar di sebuah mal di Jakarta. Apa yang bisa kita simpulkan dari fenomena seperti ini?

1. Lapangan kerja semakin sempit, pemerintah tidak mampu menyediakan pekerjaan bagi warga dalam jumlah yang memadai.

2. Peluang usaha di era teknologi semakin luas, termasuk menjadi pengemudi taxi mandiri.

3. Fenomena “sharing economy” semakin nyata, di mana semua orang mendapat kesempatan untuk memperoleh penghasilan melalui komunitas.

Bagaimana menurut Anda, bro and sis?


Sunday, August 24, 2014

Momentum Tuhan

Jakarta, 25 Agustus 2014. -- Berbeda dengan umumnya orang awam yang menganggap lumrah saat menyaksikan buah-buah apel berjatuhan ke atas tanah, Isaac Newton justru berpikir keras. “Apa yang menyebabkan buah-buah apel meluncur ke bawah ketika jatuh? Kenapa bukan ke atas?”.
Peristiwa munculnya pemikiran sederhana itu, ternyata menjadi momen penting tercetusnya “teori gravitasi” di kemudian hari. Itulah “Momentum Tuhan” atau “Moment Of God”. Momentum yang terjadi hanya dalam periode waktu yang singkat, tapi mampu menjadi sebuah titik balik spektakuler yang menyebabkan munculnya sebuah perubahan besar. Momentum yang juga mampu membuat seseorang berubah nasib menjadi sangat sukses.

Ada 3 (tiga) jenis momentum yang bisa terjadi, yaitu: 


I. Enlightenment (Pencerahan)
Ciri-ciri terjadinya Moment of God (MOG) jenis ini memperlihatkan bahwa ada seseorang yang secara mendadak dan seketika memperoleh inspirasi yang sangat kuat. Substansi dari inspirasi itu sendiri bisa sangat berbeda dengan apa yang selama ini dia impikan, rencanakan atau usahakan. Selain itu datangnya pun seakan-akan disertai tenaga mental yang maha dahsyat, sehingga yang bersangkutan tidak mampu menolak, menghindar atau memilih opsi lain selain dari inspirasi yang dia terima. Contoh orang-orang yang mengalami “Enlightenment” antara lain adalah: Conrad Hilton dan Isaac Newton yang kita sudah kita singgunng di atas. 


II. Alignment (Penyelarasan)
Dalam peristiwa “Alignment” atau disebut juga peristiwa “Penyelarasan”, sang pelaku dalam pengembaraan hidup/bisnisnya bertemu dengan seorang tokoh penting, yang kemudian akan membawanya ke jenjang kesuksesan. Peran tokoh tersebut sangat vital dalam kehidupan profesional sang pelaku, sehingga seakan menjadikannya sebagai “Success Guide” atau “Sang Pemandu Kesuksesan”. Banyak tokoh yang mengalami momen “Alignment”, antara lain: Bill Gates, Soichiro Honda, Bob Sadino, Mike Tyson dan lain-lain.

III. Endowment (Keberkahan)
Beberapa tokoh sukses mengalami kesuksesannya hampir tanpa usaha sama sekali. Baik dirinya sendiri, orang-orang dekat sampai pun masyarakat banyak tidak pernah menyangka bahwa yang bersangkutan tiba-tiba akan mengalami kesuksesan dalam kehidupannya. Peristiwa inilah yang disebut “Endowment” alias “Keberkahan”, yaitu suatu anugerah yang langsung diberikan Tuhan Yang Maha Kuasa kepada yang bersangkutan. Ini pula yang oleh banyak orang disebut sebagai “garis tangan”, “hokkie” atau “peruntungan”. Di Indonesia banyak yang mengalami momen “Endowment”, salah satunya adalah Olan Sitompul, penyiar RRI, yang memenangkan undian berskala besar beberapa tahun lalu.

Nah, selama ini kita para pendamba kesuksesan – baik di dunia bisnis mau pun di dunia profesional – telah berupaya mati-matian siang malam demi meraih sebuah benda ajaib bernama KESUKSESAN itu. Kita bekerja keras, mengumpulkan modal, keluar masuk ruang seminar, belajar membuat perencanaan bisnis yang hebat, belajar jurus-jurus marketing yang dahsyat dan lain sebagainya. Tapi, hasilnya tidak terlalu signifikan. Apa sebab?
Sebabnya adalah kita telah salah dalam mengimplementasikan konsep “do the right thing”. Kita telah meletakkan tangga karir kita ke dinding yang salah, yang bukannya mengantar diri kita ke puncak kesuksesan, melainkan ke puncak kelelahan. Untuk mencapai kesuksesan, bukan kerja keras yang dibutuhkan. Melainkan bagaimana caranya agar memperoleh “Moment Of God” sebagaimana orang-orang sukses telah mengalaminya lebih dulu. Bagaimana caranya?

Ijinkan saya untuk menyampaikan pada Anda beberapa artikel lanjutan tentang kisah-kisah bagaimana para tokoh sukses mengalami “Momentum Tuhan” dan setelah itu bagaimana kita juga bisa mengalami hal serupa. Semoga bermanfaat!

Rusaman Hakim
Chairman

Rusman Hakim Unlimited Corporation
Entrepreneurial Inspirator & Public Speaker
SME Business Consultant
Email: rusman@media-wirausaha.com, rusmanhakim@yahoo.com

Wednesday, October 03, 2012

Gotong Royong dan Latah Bisnis



Sifat dasar masyarakat Indonesia adalah egalitarian (kebersamaan) dan kegotong-royongan.  Ini sebenarnya sifat kemasyarakatan yang baik sekali.  Banyak terbukti serta diakui bahwa sifat kegotong-royongan yang menjelma dalam bentuk-bentuk “kerjasama”, “ko-operasi” (co-operation) serta “team-work”, jauh lebih efektif daripada sifat individualistis, apalagi yang terwujud dalam suatu iklim kompetitif yag tidak sehat.
Akan tetapi, seperti juga semua hal di dunia yang mengandung unsur-unsur positif sekaligus juga akan memiliki sisi negatifnya, maka sifat kegotong-royongan juga perlu dicermati ekses-eksesnya.  Di Indonesia, ekses gotong-royong menyebabkan masyarakatnya menjadi sangat tergantung pada kebersamaan, sehingga bila salah satu pergi ke timur, yang lain akan berduyun-duyun pergi ke timur juga.  Satu kelompok pergi ke barat, sisanya juga akan mengikuti pergi ke barat, demikian seterusnya.  Konsekuensinya, figur pemimpin menjadi jarang muncul.  Sekali ada seorang pemimpin mencuat ke permukaan, maka ia akan dikultuskan, disanjung bahkan seakan didewakan.

Fenomena seperti ini juga terjadi di dunia usaha.  Bila bisnis sedang “in” di bidang properti, maka banyak sekali pengusaha akan beralih ke dunia properti.  Jika ada yang sukses berbisnis di bidang eceran, ramai-ramai bikin bisnis eceran.  Sehingga, kita menjadi rancu antara trend di dunia bisnis, dengan trend  di dunia mode.  Padahal keduanya sangat berbeda, bahkan berlawanan.
Seorang pemimpin bisnis tidak akan berperilaku demikian.  Bila satu bidang usaha sudah diminati banyak kalangan, maka artinya bidang tersebut sudah terlalu sesak dijejali dengan faktor persaingan.  Sudah tentu situasi seperti itu kurang menguntungkan.  Maka pada umumnya seorang wirausahawan yang penuh kepemimpinan tidak ikut-ikutan menceburkan diri ke bidang yang sudah penuh sesak, melainkan mencari terobosan baru yang lebih orisinil.
Sekarang ini, kita tahu bahwa sebagian masyarakat yang bermental “latah”, sebagai produk dari sifat dasar yang “ekstra-gotong-royong”, terus menerus mendatangi sekaligus memadati kota-kota besar, untuk mencari nafkah.  Alasannya klasik, karena di kota besar mencari uang mudah, sedangkan di desa terasa sulit sekali.  Hal tersebut memang sangat khas dalam masyarakat kita sekarang ini yang berkecenderungan urbanisasi.  Padahal, sejauh mana kebenaran alasan di atas, belum ada yang bisa betul-betul memastikannya.
             
Maka, peluang yang ada di kota-kota besar itu pun sudah cukup “penuh sesak” dengan persaingan, mengingat sudah begitu banyaknya manusia “menyerbu” kesana.  Apalagi tidak semua dari persaingan itu termasuk persaingan sehat.  Seyogyanyalah sekarang, sebagai calon wiraswastawan yang berkapasitas kepemimpinan, kita mencoba dan menjajaki peluang di tempat baru, yang masih cukup lowong untuk menciptakan karya-karya baru.  Salah satu alternatif untuk itu adalah program transmigrasi.  Kenapa ?
Logis saja.  Amerika yang sekarang merupakan negara termakmur di dunia, dulunya adalah sebuah benua yang masih kosong dan liar.  Tidak ada gedung-gedung tinggi, tidak ada kota-kota megapolitan, jalan-jalan mulus bebas hambatan atau sarana modern lainnya.  Para pendatanglah yang merintis itu semua, sampai Amerika dikenal sebagai “negeri harapan”.  Demikian pun halnya Australia yang sekarang begitu modern, dulu tidak lebih dari sebuah daratan pembuangan orang-orang hukuman.  Semua berubah menjadi negeri yang kaya makmur, karena buah tangan para pionir yang memiliki sifat-sifat kepemimpinan tinggi.(rh)

Thursday, May 21, 2009

4 DIMENSI USAHAWAN DALAM MENANGGAPI PERUBAHAN


4 DIMENSI USAHAWAN DALAM MENANGGAPI PERUBAHAN

Menurut catatan saya, sedikitnya ada 4 jenis dimensi ruang di mana para usahawan harus mampu berkiprah. Pada 4 dimensi ruang itu pula , para usahawan membekali diri dengan 4 jurus dasar sebagai solusi untuk bertahan dalam kehidupan yang sewaktu-waktu bisa berubah.

Hal ini sebenarnya tidak melulu tentang sepak terjang para pengusaha atau pebisnis, melainkan juga mencakup semua kelompok sosial yang bermental proaktif, tangguh, tanggap serta trengginas terhadap setiap perubahan yang mungkin terjadi. Empat dimensi itu adalah sebagaimana diuraikan di bawah ini.

(1)
Pada keadaan pasar (ekonomi) normal, solusinya adalah nilai tambah
atas hal-hal teknis.

Apabila keadaan sedang tidak menunjukkan ketidakstabilan, tidak juga ada gonjang-ganjing dalam masalah politik, ekonomi, sosial atau lainnya, maka solusi untuk tetap eksis di blantika kehidupan berbisnis, biasanya dilakukan dengan meningkatkan nilai tambah atas hal-hal teknis pada produk, baik barang mau pun jasa. Sebab apa?

Sebab dalam dimensi ruang seperti ini, yang memegang peranan utama adalah memang hal-hal yang menyangkut kualitas produk, teknologi, ketersediaan bahan baku, ketersediaan SDM dan lain sebagainya.

Sampai kepada tingkat persaingan yang intensitasnya masih termasuk normal, para usahawan harus berkonsentrasi pada masalah bagaimana membuat nilai tambah yang memungkinkan produk mereka menjadi lebih unggul terhadap para pesaingnya.

(2)
Pada keadaan pasar yang ambur-adul, solusinya adalah pergeseran citra.

Ketika tingkat persaingan sudah meninggi sedemikian rupa hingga menciptakan kondisi tidak sehat, maka pasar berubah menjadi apa yang oleh Chan Kim dan Renee Mauborgne disebut sebagai “Lautan Merah” yang berdarah-darah. Di sini semua orang menderita, pasar yang buruk mengakibatkan usaha keras dan biaya besar hanya memberikan sangat sedikit hasil yang tidak sepadan dengan ongkos yang dikeluarkan.

Solusinya adalah dengan melakukan pergeseran citra atas produk, antara lain dengan merubah definisi usaha, kemasan serta kategori produk, jangkauan segmen pasar, serta berbagai keunggulan kompetitif yng sangat spesifik. Dengan jalan ini, sang usahawan bisa menciptakan sebuah pasar baru yang bebas dari persaingan tak sehat. Dengan kata lain ia telah menciptakan “Samudera Biru” yang aman sentosa (Kim dan Renee: “Blue Ocean Strategy”).

Cara lainnya adalah dengan mengeksplorasi berbagai ceruk pasar yang baru atau “niche markets”, yaitu celah pasar yang belum tergarap di tengah-tengah pasar yang sudah ada.

(3)
Pada situasi krisis yang parah di suatu lokasi, solusinya adalah pergeseran geografis.

Adakalanya, sebagai akibat kebijakan pemerintah yang kurang adil, langkanya sumber-sumber daya ekonomi, atau faktor-faktor force majeur seperti huru-hara, bencana atau bahkan perang, suatu kawasan berubah menjadi daerah krisis yang “tak layak bisnis”.

Untuk mengatasi hal itu, para usahawan dan juga berbagai fihak yang memiliki nalar dan daya juang, umumnya akan mengambil jalan keluar dengan melakukan pergeseran atau perpindahan geografis. Termasuk dalam hal ini fenomena “pengusaha perantauan” yang merantau dari daerah asal mereka ke daerah lainnya, urbanisasi penduduk dari pedesaan ke perkotaan, dan juga pengungsian dari satu negeri ke negeri lainnya. Bukti empiris memperlihatkan contoh, bahwa pengungsi Vietnam yang menghebohkan beberapa waktu lalu, sebagian besar merupakan kaum pengusaha di negeri asalnya.

Dengan analogi yang sama, sejarah memunculkan fenomena sejenis pada peristiwa eksodusnya kaum Yahudi yang kemudian mendirikan negara Israel, hijrahnya Nabi Muhammad dari Mekkah ke Madinah serta hijrahnya para pejuang RI dari Yogyakarta pada tahun 1949.

(4)
Pada krisis global, solusinya adalah: “Fasten your belt!”, benarkah?

Krisis global tentunya mencengkeram hampir seluruh kawasan di dunia. Oleh sebab itu krisis ini tidak tepat untuk diatasi dengan jurus-jurus seperti disebutkan di atas. Satu-satunya jalan keluar yang selama ini dianjurkan oleh pakar ekonomi dan dianut oleh masyarakat di hampir semua negara adalah dengan jalan “fasten your belt” alias “kencangkan ikat pinggang Anda”.

Maka tidak heran kalau kita lihat pada masa krisis seperti sekarang, semua orang berusaha menghemat, pengeluaran benar-benar diawasi dan dikendalikan, tidak ada yang mau memulai transaksi jika tidak betul-betul bisa dipertanggungjawabkan.

Namun, jarang yang menyadari bahwa dengan bersikap demikian ketat, sebenarnya kita telah mengundang krisis yang lebih hebat lagi. Para pengusaha cerdas dan para ekonom yang arif mengkhawatirkan bahwa justru dengan sikap menahan diri yang berlebihan, perputaran roda perekonomian akan semakin berat. Dan sikap seperti itu pula yang akan menyebabkan masa krisis akan menjadi semakin panjang dan lama.

Sangat mengesankan apa yang dilakukan oleh Konosuke Matsushita pada era krisis tahun 1929, di mana ia dengan keyakinan penuh justru lebih meningkatkan pengeluaran dan transaksi-transaksi bisnisnya. Ia melatarbelakangi aksinya itu dengan kata-kata: “Jika semua orang menahan uangnya dan tidak bertransaksi, maka kehidupan ekonomi akan mati..”

Nah, sejalan dengan apa yang dilontarkan oleh Pak Matsushita, ijinkan saya menghimbau agar marilah kita hadapi dan atasi krisis global ini secara bersama dan serentak, dengan jalan tetap bertransaksi secara wajar. Harapannya adalah agar dalam waktu tidak terlalu lama lagi badai akan berlalu, dan kehidupan akan kembali membahagiakan kita semua. Amin.


Rusman Hakim
Pengamat Kewirausahaan
Gacerindo Entrepreneurial Leadership Center
E-mail: rusman@gacerindo.com
Portal: http://www.gacerindo.com/
Blog: http://rusmanhakim.blogspot.com/
Web: http://www.pempekpatrol.com/
Mobile: 0816.144.2792



















Friday, May 15, 2009

MENYASAR ATAU KESASAR?




MENYASAR ATAU KESASAR?

Beberapa waktu yang lalu, saya mendapat kehormatan untuk berwawancara di studio Radio Pelita Kasih (RPK-FM) Jakarta. Seperti biasa, topik untuk saya adalah soal pembahasan bisnis dan kewirausahaan. Saya berperan sebagai narasumber, sedangkan mitra acara RPK adalah Ir. Novry Sabmen Simanjuntak, Pemimpin Umum dan Perusahaan Majalah “AdInfo”, sebuah media bisnis kawasan yang berlokasi di Jakarta Barat.

Setelah saya menjawab sejumlah pertanyaan, host penyiar radio RPK mengalihkan pertanyaan pada Novry. Sebuah pertanyaan terlontar: “Pak Novry, sebagai sebuah media dalam bentuk majalah kawasan, sebenarnya apa yang menjadi tujuan utama AdInfo dalam berbisnis?”

Novry menjawab dengan sigap kira-kira seperti ini: “Kami menyasar para pengusaha yang beroperasi di daerah Jakarta Barat…bla..bla..” dan sang penyiar tampak puas dengan jawaban beliau.

Dasar otak saya yang terlalu liar (yang kadang-kadang saya sendiri sulit mengendalikannya), di tengah hujan pertanyaan baik dari host mau pun dari masyarakat pendengar RPK, masih “sempat-sempatnya” terpikir oleh saya: “Pasti yang dimaksud Novry dengan ‘menyasar’ adalah ‘membidik sasaran’, bukannya ‘kesasar’ yang berarti ‘tersesat’..”

Dewasa ini memang cukup banyak kata-kata yang terasa baru di telinga saya, dan biasanya orang medialah yang paling cepat menyerap serta mengaplikasikannya di lapangan. Saya salut terhadap mereka, karena dari media jugalah saya pertama kali berkenalan dengan kata-kata semacam “mengejawantah”, “menengarai”, “mengunduh”, “mengunggah” dan lain sebagainya.

Namun sempat juga saya tersenyum sendiri, membayangkan kalau ada orang menerjemahkan kalimat Novry menjadi: “Kami kesasar ke para pengusaha....”.

Bahasa Indonesia memang unik, seunik bangsa ini yang terdiri dari beribu pulau, bermacam budaya, beragam warna kulit, berbagai adat istiadat, berjenis-jenis agama, dan beratus bahasa serta sub bahasa, mulai dari bahasa nasional Bahasa Indonesia, bahasa daerah, sampai pun bahasa prokem (preman) juga ada.

Untuk alasan itulah, saya menjadi cinta Indonesia, cinta bangsa ini berikut segala problematika dan suka duka yang tak dapat disamai oleh bangsa lain..

Rusman Hakim
Pengamat Kewirausahaan
Email: rusman@gacerindo.com
Web: http://www.gacerindo.com/, http://www.pempekpatrol.com/
Blog: http://rusmanhakim.blogspot.com/
Mobile: 0816.144.2792

Sunday, January 25, 2009

WORK WITH, NOT WORK FOR..!


WORK WITH, NOT WORK FOR..!

Minggu, 18 Januari 2009

Pada hari pertama menjalani karir kemandirian di dekade 1990an, saya datang ke kantor pusat klien saya -- salah satu bank pemerintah terbesar -- untuk menandatangani kontrak sebagai konsultan independen.

Waktu itu, manajer SDM ternyata masih mengikuti rapat, maka ia memerintahkan seseorang untuk menyiapkan lembar kontrak untuk saya. Seorang staf yang terlihat amat lugu tergopoh-gopoh menyerahkan seberkas dokumen. Ternyata yang dia serahkan keliru, karena yang dibawanya adalah draf blanko perjanjian kerja untuk pegawai kontrak. Namun karena ingin tahu, saya sempatkan juga untuk membaca draf tersebut. Apa saja sih, yang dibahas dalam perjanjian kerja pegawai kontrak, pikir saya.

Baru membaca paragraf pertama, saya sudah surprised. Di situ tertulis: “PARA PIHAK: ..BANK XYZ….untuk selanjutnya disebut PEMBERI KERJA….. … si Polan,…untuk selanjutnya disebut PENCARI KERJA…”

Saya merasa aneh dengan kata-kata “pemberi kerja” dan “pencari kerja” itu. Kenapa tidak digunakan sebutan “Pihak Pertama” dan “Pihak Kedua” saja, sebagaimana lazimnya tertulis pada sebuah perjanjian kerjasama, MoU atau sejenisnya. Sungguh exposure pada istilah “pencari kerja” itu bernada melecehkan.

Nah, kalau pada paragraf pertama saja, istilah yang dipakai sudah terasa vulgar, maka jangan ditanya paragraf-paragraf selanjutnya. Nyaris semua pasal bertendensi menekan dan memarginalkan posisi, harga diri serta jaminan yang akan diterima oleh pegawai kontrak.

Saya menyerahkan kembali dokumen tersebut sambil berkata: “Pak, maaf ya.. Ini salah, bukan draf kontrak ini yang untuk saya. Saya bukan pencari kerja. Bank ini yang justru mencari saya untuk jadi konsultan. Oleh karena itu, tolong sampaikan pada pak Manajer supaya dibuatkan yang baru dan khusus untuk saya..”

Sang staf terperangah, dan sebelum ia sempat mengucapkan sesuatu, saya susulkan kata-kata: “Bilang juga pada beliau, bahwa yang tanda tangan harus Pak Direktur. Saya keberatan kalau yang tanda tangan kontrak saya Manajer SDM..”. Setelah itu saya pergi meninggalkan sang staf yang masih salah tingkah.

Kenapa saya berani berlaku searogan itu? Tidak, saya bukan arogan. Itu hanya manuver entrepreneurial dalam upaya menaikkan posisi tawar saya, sekaligus pindah ke kuadran yang lebih bernuansa kemandirian. Nothing to lose.., karena saat itu saya masih bekerja di salah satu perusahaan IT paling bergengsi di Indonesia, saya tidak khawatir apa-apa. Kontrak jadi ditandatangani syukur, tidak pun tidak masalah.

Seperti telah saya duga, esok harinya pagi-pagi sang Manajer SDM sudah menelpon. “Halo, Pak Rusman? Maaf kejadian kemarin Pak. Hari ini Bapak ditunggu Pak Direktur untuk tandatangan kontrak, dengan format khusus untuk Bapak sebagai konsultan independen..”

Anda tahu kenapa saya begitu yakin? Karena 2 hari sebelumnya saya sudah berhasil “menaklukkan” 3 orang konsultan bule dalam sebuah paparan. Saya kebetulan mampu menunjukkan pada mereka, titik-titik penting yang menyebabkan proyek IT mereka macet selama 2 tahun. Bule-bule ini langsung “jatuh hati” pada saya, dan mendesak agar saya segera bergabung dengan mereka di bank pemerintah itu. Karena mereka berasal dari perusahaan konsultasi internasional ternama, masing-masing dari Booz, Allen and Hamilton (BAH), Harvard Institute for International Development (HIID) serta Comprehensive Marketing System (CMS) yang direkrut Depkeu, saya percaya mereka akan mampu “memaksa” Direksi Bank untuk memakai jasa saya. Dan itu terbukti..!

Namun, bukan itu point saya. Ada yang lebih penting. Dari apa yang saya ceritakan di atas, setidaknya ada 3 bahan kajian yang perlu mendapat perhatian, yaitu:

Pertama, salah satu tantangan berat yang dihadapi generasi muda dalam merintis masa depannya adalah adanya tekanan-tekanan dari generasi tua yang mengendalikan perusahaan-perusahaan nasional, BUMN dan lain-lain, berupa marginalisasi posisi tawar kaum muda. Seperti dalam kasus di atas, di mana status generasi muda yang berpotensi menjadi profesional, hanya diperlakukan sebagai “pencari kerja” dengan kompensasi serta jaminan serba terbatas.

Dengan provokasi seperti itu, tidak heran kalau selama ini para karyawan selalu dihinggapi perasaan bahwa dirinya tidak lebih dari “kuli” atau “tangan di bawah”, sehingga lambat laun mereka pun kehilangan karakter leadershipnya.

Kedua, bahwa untuk menghindari jebakan menjadi karyawan bercitra kuli atau tangan di bawah, maka seyogyanya kaum muda harus dapat melakukan sepak terjang yang entrepreneurial. Hanya dengan jalan itu, seseorang yang relatif masih yunior dapat menempatkan diri sebagai sesama tangan diatas terhadap pihak lain. Tentu saja mereka harus membekali diri dengan sumber daya pengetahuan atau keterampilan yang diperlukan. Seperti ditunjukkan dalam cerita di atas, bagaimana “anak kemarin sore” seperti saya berhasil mengadakan business deal langsung dengan direksi bank ternama yang didukung para konsultan mancanegara.

Ketiga, ada langkah lebih ideal untuk kaum muda merintis kehidupan yang lebih baik. Yaitu, bermodalkan entrepreneurial mindset yang dilengkapi dengan satu saja kecakapan di bidang tertentu, seseorang akan dapat mendirikan sebuah usaha mandiri. Dengan jalan ini, otomatis posisinya akan terangkat sebagai “majikan kecil dengan tangan di atas” . Toh, ada pepatah yang berbunyi: “Lebih baik jadi bos kecil, daripada jadi kuli besar..!”

Untuk menjadi usahawan, tidak melulu dengan membuka gerai makanan, bengkel, warung atau toko di pinggir jalan. Juga tidak perlu repot membeli ruko lebih dulu dan hak-hal lain yang tidak substansial. Bagi kalangan menengah, banyak entrepreneurial efforts yang lebih memadai seperti jadi konsultan, freelancer, trainers, dan banyak lagi.

Rekan saya David, pembicara dari Dynamic Life Singapore pernah mengatakan: “WORK WITH.., NOT WORK FOR..”. Artinya, bagi kita yang entrepreneurial, (meski masih berstatus pegawai sekali pun), jangan mengatakan bahwa Anda bekerja untuk seseorang, tapi berkatalah bahwa Anda bekerja bersama seseorang. Dengan demikian Anda tetap memiliki posisi tawar yang baik, tanpa harus dimarginalkan sebagai tangan di bawah..

Semoga bermanfaat !

Rusman Hakim
Pengamat Kewirausahaan
Profec’s Entrepreneurial Leadership Center
E-mail: rusman@gacerindo.com
Blog: http://rusmanhakim.blogspot.com/
Web: http://www.rusmanhakim.com/ (under construction)
Mobile: 0816.144.2792

THE EAGLE HAS LANDED


THE EAGLE HAS LANDED

26 Januari 2009: Sebuah renungan di Tahun Baru Imlek 2560

Saya menyukai film perang, dan salah satu yang menurut saya paling hebat adalah film berjudul: THE EAGLE HAS LANDED (Sang Garuda Telah Mendarat). Film yang diperani oleh Michael Caine ini berkisah tentang kegagahperkasaan seorang perwira legendaris Nazi Jerman yang bernama Kolonel Kurt Steiner. Di situ ditayangkan bagaimana sang kolonel dengan keberanian yang luar biasa ditunjang kemampuan tempur 16 orang para komando, berhasil mendarat di Inggris dan mengobrak-abrik pasukan Sekutu yang waktu itu sudah menduduki Polandia.

Sejak awal hingga akhir, penonton terus diprovokasi dengan adegan-adegan pertempuran menegangkan, seru dan sarat dengan nilai-nilai patriotisme yang heroik. Meski pada akhirnya Kolonel Steiner gugur sebagai martir, namun misi yang diembannya berhasil dengan sukses sekaligus menimbulkan kerugian besar pada pasukan Sekutu. Itu adalah sebuah kisah nyata yang terjadi di lingkungan militer saat perang.

Sebuah kisah heroisme saat damai juga terjadi di lingkungan sipil. Sepak terjang seorang Kolonel lain yang tidak kalah serunya telah menginspirasi banyak orang. Dialah Kolonel Sanders, yang di usia 65 tahun telah begitu gagah-berani menjelajah benua Amerika dengan mengendarai sebuah mobil tua, mengetuk 1000 lebih pintu rumah orang hanya untuk mencari mitra dalam rangka membangun kerajaan bisnisnya, Kentucky Fried Chicken (KFC).

Semua kisah -- baik yang difilmkan atau dibukukan -- hanya menjadi seru, menarik serta berharga untuk disimak apabila di dalamnya banyak adegan-adegan menegangkan. Guncangan-guncangan emosional selalu diperlukan guna membuat sebuah true-story berkualitas. Siklusnya pun selalu menampilkan hal yang sama, mulai dari sang tokoh muncul dalam situasi penuh tekanan, tidak jarang diwarnai dengan ketidakberdayaan, keterbatasan, cercaan bahkan hinaan, lalu dilanjutkan dengan perjuangan gagah berani, dan diakhiri dalam 2 kemungkinan, yaitu sukses (happy ending), atau martir (sad ending).

Saya membayangkan, betapa bangganya anak cucu Kol. Steiner dan juga Kol. Sanders ketika mendengar kisah-kisah luar biasa tentang sepak terjang orang-orang tua mereka. Bangga karena menyadari bahwa pendahulu mereka adalah para leaders yang dihormati.

Bagaimana dengan kita? Sudahkah kita merangkai kisah hidup kita sendiri dengan berbagai pengalaman mendebarkan, seru serta menegangkan sehingga menjadikannya kisah yang berkualitas?

Kalau belum, mari tinggalkan zona nyaman yang hingga sekarang masih kita rangkul erat-erat, lalu terjun ke medan tempur sebagaimana The Eagle Has Landed. Tidak masalah apakah akhir kisah kita akan “happy ending”, ataukah “sad ending”. Yang penting, dengan terjun ke medan tempur kita telah membuat kisah hidup kita berkualitas. Kisah yang anak cucu kita bangga mendengarnya, bukan justru malu karena orang tuanya pecundang yang tidak pernah bertempur sama sekali.

Rusman Hakim
Pengamat Kewirausahaan
Profec’s Entrepreneurial Leadership Center
E-mail: rusman@gacerindo.com
Portal: http://www.gacerindo.com/
Blog: http://rusmanhakim.blogspot.com/
Web: http://www.rusmanhakim.com/ (under construction)
Mobile: 0816.144.2792

Saturday, November 22, 2008

HARI-HARI OMONG KOSONG



HARI-HARI OMONG KOSONG..

Dalam acara ramah tamah pada peresmian sebuah lembaga keuangan mikro baru-baru ini di Depok, seorang mantan bankir tampaknya tertarik dengan status saya yang disebut pengamat kewirausahaan. Beliau mendekat sambil berkata: “Pak, kami dari perbankan dan juga lembaga-lembaga keuangan mikro merasa sangat berkepentingan dengan wirausaha. Oleh sebab itu, kami sekarang ini sedang mengedepankan program-program yang membantu perkembangan Usaha Kecil dan Mikro (UKM) di Indonesia..”.

“Wah bagus sekali, Pak. Apa saja kriteria dalam menentukan UKM mana yang akan dibantu, dan mana yang tidak?” tanya saya.

Sang mantan bankir tertawa seraya mengatakan: “Mudah saja. Kita tinggal lihat gerai usahanya, ramai tidak? Lalu lihat pembukuan keuangannya, transaksi dan arus kasnya bagus tidak? Kalau gerainya ramai, dan laporan keuangannya bagus, berarti usahanya lancar dan berpotensi untuk sukses. Nah, yang begitulah yang akan kita bantu..”

“Lalu, kalau pengusaha kecil yang gerainya belum ramai, arus keuangannya masih tersendat-sendat, bagaimana?” tanya saya lagi.

“Yah, kalau yang begitu, ya belum bisa dibantu Pak. Kita tidak berani ambil risiko. Lebih baik kita tunggu sampai usahanya lancar..”

Mendengar jawaban ini, saya jadi tersenyum. “Di situlah letaknya perbedaan pandangan antara perbankan dan kewirausahaan, Pak. Dalam kacamata wirausaha, pengusaha yang sudah lancar bisnisnya, seharusnya tidak boleh dibantu..”

“Loh, sebab apa? “ tukas “pak bankir”.

“Sebab, tanpa dibantu pun dia sudah mampu mengatasi berbagai permasalahan yang dihadapi dan dia bisa maju. Oleh karenya, bantuan yang diterima dari bank justru akan melemahkan daya juangnya sebagai wirausahawan tangguh”.

Tanpa bermaksud menggurui, saya lantas mengambil contoh kasus pangusaha-pengusaha bank kelas kakap penerima BLBI. Mereka itu sebenarnya tidak perlu dibantu, tapi pemerintah telah memanjakan mereka dengan berbagai fasilitas yang tidak seharusnya diberikan. Dan sekarang, kita lihat sendiri bagaimana dahsyat akibatnya yang hampir-hampir membangkrutkan negeri ini.

Pak bankir tampak sedikit terperangah, tapi melanjutkan argumentasinya: “Kalau bank atau lembaga keuangan harus membiayai pengusaha yang masih terseok, risikonya terlalu besar Pak. Sebab, apabila pengusaha itu tidak mampu membayar pinjamannya, bukankah semua pihak dirugikan? Dana hilang, sementara masih banyak pengusaha-pengusaha lain yang menunggu bantuan..”

“Bapak betul. Bank dan lembaga keuangan memang bukan bagian dari Departemen Sosial yang bertugas bagi-bagi uang tanpa berharap kembali. Bank hidup dari bunga pinjaman, atau kalau bank syariah mungkin dari bagi hasil. Itu semua adalah bisnis. Jadi kalau boleh, perkenankan saya untuk usul, bagaimana kalau istilah “bantuan” itu dihilangkan saja. Dilihat dari kedua belah pihak, rasanya tidak klop.”

“Dari sisi perbankan, business is business. Tidak ada yang gratis. Pinjam uang, harus bayar bunganya. Atau sisihkan bagi hasilnya. Jadi, sesungguhnya itu bukan bantuan..”, lanjut saya.

“Dari sisi kewirausahaan, pengusaha adalah leader. Tidak ada kata mengemis, dan tidak ada kata mohon belas kasihan bagi seorang leader. Pinjaman adalah bisnis, dan itu harus dibayar. Semua pelaku bisnis haruslah setara-sederajat. Tidak ada istilah “tangan di bawah” bagi pengusaha terhadap siapa pun, termasuk pada bank atau lembaga keuangan.”

Pembicaraan kami terputus di situ, karena acara pengguntingan pita dimulai.

Seselesainya acara peresmian kantor tersebut, dalam perjalanan pulang saya berfikir sendiri. Ya, kalau antara perbankan dan dunia wirausaha terdapat gap masalah pembiayaan, lantas apa jalan keluarnya?

Tiba-tiba saya teringat akan tulisan David Ch’ng tentang sukses kaum minoritas perantauan di Asia Tenggara, yang mengutarakan bahwa salah satu kunci sukses mengatasi masalah pembiayaan usaha adalah dengan jalan membentuk komunitas. Tepatnya, komunitas usaha.

Ya, dan itu pula yang telah dilakukan secara tradisional oleh saudara-saudara kita dari berbagai etnik di Indonesia dalam berbisnis, mulai dari komunitas orang Minang dengan Rumah Makan Padangnya, orang Tegal dengan Wartegnya, orang Bugis, orang Gorontalo, orang Banjar, orang Madura, orang Bali, orang Maluku, serta nyaris hampir semua suku di Indonesia dengan masing-masing komunitasnya. Dan mereka juga sukses!

Nah, temans.. Kita yang hidup di jaman modern ini, tentu lebih sadar dengan manfaat berkomunitas. Dengan cara itu kita berorganisasi, dengan cara yang sama pula kita berkelompok dalam milis-milis. Dengan kesadaran tentang potensi bisnis dalam sebuah komunitas, mengapa pula kita tidak mulai berfikir bagaimana mengeksplorasi sumber daya tersembunyi dari sebuah grup di internet, demi kesuksesan hidup di masa depan? Bukankah kita tidak mau sekadar “harmoko”, hari-hari omong kosong?

Rusman Hakim
Pengamat Kewirausahaan
Profec’s Entrepreneurial Leadership Center
E-mail: rusman@gacerindo.com
Portal: http://www.gacerindo.com
Blog: http://rusmanhakim.blogspot.com
Web: http://www.rusmanhakim.com, http://www.pempekpatrol.com
Mobile: 0816.144.2792