Wednesday, December 13, 2006

BISNIS ITU PERMAINAN, BUKAN ILMU PENGETAHUAN

Selama kita merasa belum familiar dan takut memulai bisnis, biasanya yang timbul di pikiran kita adalah: “belajar!”. Pilihannya mungkin dengan jalan mengambil program S2 dan jadi seorang MBA, atau ikut sebanyak-banyaknya seminar dan pelatihan, atau bisa juga dengan berguru dan mengabdi pada seorang begawan bisnis.

Kira-kira, sudah selaraskah alur pemikiran yang sedemikian dengan apa yang terjadi pada kenyataannya? Mari kita telaah.

Kebanyakan dari kita berbisnis karena ingin sukses, lalu menjadi kaya raya. Kita membayangkan, betapa enak dan hebatnya bila kita dapat sesukses dan sekaya Bill Gates atau Donald Trump. Menurut pandangan masyarakat pada umumnya, mereka itulah orang-orang sukses yang sebenar-benarnya. Merekalah sosok-sosok pebisnis yang prestasinya membuat banyak orang terobsesi.

Maka tidak heran jika para pakar pun berusaha menyadap dan mempelajari segala hal yang ada pada orang-orang sukses itu, dengan harapan dapat mentransfer nilai-nilai kesuksesannya kepada orang-orang lain yang juga ingin menjadi figur sukses. Mereka berpendapat bahwa: “Leaders are made, not born”.

Selanjutnya, segala sepak terjang yang dilakukan oleh para pebisnis tersebut, dikumpulkan, dipilah-pilah, lalu dianalisis. Dari analisis itu dibuat teori-teori. Hasilnya, muncullah berbagai teori kesuksesan yang terkemas dalam materi-materi “ilmu bisnis”, wacana profesionalisme, ilmu kepemimpinan (leadership), dan lain sebagainya.

Orang-orang awam memang ingin sekali menemukan cara-cara yang bisa membantu mereka untuk secara cepat mencapai kesuksesan. Semacam rel kereta yang tinggal diikuti saja akan mengantar orang tiba di gerbang kejayaan.

Namun demikian, apa benar kalau kita ingin menjadi figur sukses -- lebih spesifiknya pebisnis sukses -- harus menempuh perjalanan yang sarat dengan teori-teori kesuksesan seperti itu?

Dari berbagai catatan yang ada, tampaknya tidak demikian. Banyak sepak-terjang yang dilakukan oleh para pemimpin bisnis dunia tidak mencerminkan bahwa kesuksesan mereka disebabkan pembelajaran yang sungguh-sungguh dalam ilmu bisnis, profesionalisme dan teori kepemimpinan. Tidak juga pengetahuan ekonomi, teori-teori tentang kebebasan finansial, ilmu marketing dan lain sebagainya. Pun, tidak karena mereka rajin mengikuti seminar kesuksesan atau lokakarya tentang strategi bisnis.

Di lain pihak, banyak pemimpin bisnis ternyata merupakan orang-orang yang justru tidak suka belajar, malas sekolah, dan hanya ingin bermain-main saja. Boro-boro ikut seminar atau lokakarya. Lho kok bisa?

Ada beberapa contoh kasus. Yang pertama, Thomas Alva Edison. Nama ini sudah kita tahu sejak di bangku SD bukan? Namun, tentunya kita kenal Edison lebih sebagai tokoh ilmu pengetahuan, karena sekolah memfokuskan ajaran hanya pada penemuan atas lampu pijar dan berbagai temuan teknis lain yang dilakukannya.

Maka jarang kita memperhatikan bahwa sesungguhnya Thomas Alva Edison adalah juga seorang pengusaha besar yang sukses. Ia adalah pemilik dan pendiri berbagai perusahaan dengan nama-nama seperti Lansden Co. (mobil/otomotif), Battery Supplies Co. (baterai), Edison Manufacturing Co. (baterai dsb), Edison Portland Cement Co. (semen dan beton), North Jersey Paint Co. (cat), Edison General Electric Co. (alat listrik dll), dan banyak lainnya. Salah satu yang masih berjaya sampai sekarang adalah General Electric.

Apakah untuk mencapai itu semua Edison harus bersusah-payah mengikuti berbagai sekolah dan pendidikan tinggi? Atau mengikuti seminar kelas dunia yang diselenggarakan oleh para pakar kesuksesan, pakar bisnis atau pakar financial freedom? Ternyata tidak. Figur Edison adalah figur pemalas yang hanya tahan 3 minggu bersekolah. Ia lebih suka bermain-main dengan perkakas, dengan kawat dan dengan listrik. Itu kesenangannya dan dengan itu ia sukses.

Contoh lain adalah Kenji Eno. Ia juga tidak suka sekolah. Ia cuma suka bermain-main dengan permainan, istimewanya dengan video games. Kelas 2 SMA berhenti sekolah terus nganggur. Lalu dapat kerja di perusahaan perangkat lunak, sampai akhirnya ia berhasil mendirikan perusahaan perangkat lunaknya sendiri yang dinamakan WARP. Dalam tempo beberapa tahun saja Kenji Eno mampu membawa perusahaannya menjadi perusahaan video games terhebat di dunia yang diakui oleh tokoh-tokoh industri.

Fenomena-fenomena yang dibuat oleh orang-orang semacam Edison dan Kenji Eno ini memberi kesan kepada kita semua bahwa bisnis itu sebenarnya lebih dekat kepada sebuah permainan, dan terlalu jauh untuk diperlakukan sebagai sebuah ilmu pengetahuan.

Gede Prama yang dikenal sebagai pakar manajemen (bahkan dijuluki Stephen Covey Indonesia), mengomentari fenomena Kenji Eno sebagai kesuksesan dari kebebasan berfikir yang mampu melompat, karena belum terkena polusi-polusi yang dibuat sekolah.

Menurut saya, adalah keliru mempelajari fenomena pemimpin, untuk menciptakan pemimpin. Demikian juga, keliru mempelajari fenomena pebisnis sukses, untuk mencetak pebisnis sukses. Sebab, fenomena pemimpin (atau pebisnis) adalah fenomena manusia, yang tidak sama dengan fenomena alam. Kalau Isaac Newton mempelajari peristiwa jatuhnya buah apel ke tanah (fenomena alam) dan kemudian menemukan hukum gavitasi, maka itu oke-oke saja. Karena fenomena alam tidak berubah, hukum gravitasi pun akan tetap abadi.

Akan tetapi, mempelajari fenomena manusia pasti akan menimbulkan frustrasi. Sebab, manusia merupakan mesin perubahan, sehingga tidak akan ada fenomena manusia yang tinggal tetap abadi sepanjang masa, berlawanan dengan yang kita lihat pada peristiwa jatuhnya buah apel.
Pemimpin, dalam bidang apa pun termasuk bisnis, adalah sosok manusia yang bebas, yang bertindak semaunya tanpa memperhatikan teori mau pun kaidah, sehingga nyaris percuma kalau kita ingin mempelajari dan mengikuti jejak sepak terjangnya.

Coba lihat, pada saat terjadinya resesi ekonomi dunia tahun 1929, semua orang berdasarkan teori-teori yang ada, berusaha untuk berlaku sehemat mungkin. Tapi sebaliknya, Matsushita si raja elektrik dari Jepang malah royal mengeluarkan uang. Seakan uang itu tidak lebih dari mainan saja layaknya. Meski pun bukan tanpa alasan dia berlaku demikian.

Lihat juga Kim Woo Chong, pendiri imperium Daewoo. Ketika semua pengusaha (juga dengan teori-teori yang ada) berkonsentrasi memasuki pasar negara-negara kaya semacam Amerika dan Eropa, ia malah dengan santainya masuk ke pasar-pasar “keras” seperti Iran, Sudan dan Rusia serta negara-negara blok timur.

“Kesia-siaan” mempelajari dan berusaha mengikuti sepak terjang para pemimpin bisnis bisa dirasakan secara langsung di lapangan. Saat pertama kali Harvard Business Review mempublikasikan konsep pemasaran yang beken dengan “Marketing Mix” 4P (product, price, place dan promotion), nyaris semua pengusaha serta pakar bisnis menganut konsep ini secara fanatik. Begitu juga dengan perguruan-perguruan tinggi dan sekolah manajemen.

Tapi, tidak terlalu lama, sebagai akibat “ulah” para pemimpin bisnis yang gemar bermain-main, perubahan tren perekonomian dan industri memaksa para pakar dan pembelajar merubah lagi konsepnya dengan 6P, 8P bahkan yang terakhir disebutkan sebagai 12P.

Terus bagaimana? Kalau kita harus bersiaga setiap saat untuk belajar dan tidak ketinggalan zaman dengan ilmu marketing, kapan kita berbisnis?

Saya rasa kita semua banyak yang terjebak dan hanyut dalam “arus ilmu pengetahuan” yang dibuat oleh mereka yang “pakar ilmu pengetahuan”, sehingga kita tidak sempat lagi berinovasi yang justru merupakan kunci sukses bisnis. Kita malah terus menerus “dipaksa” mengejar ketinggalan ilmu pengetahuan tanpa tahu di mana ujung pangkalnya.

Pertanyaannya: ”Sebenarnya kita mau jadi pebisnis atau mau jadi ilmuwan sih?”

Saya sendiri yakin bahwa bisnis dan kesuksesan itu adalah semacam permainan saja. Seperti apa yang dikatakan oleh William Cohen dalam tulisannya “The Art Of The Leader” : “Success is acquired by playing hard, not by working hard..”.

Mengacu pada obsesi banyak orang tentang Bill Gates dan Donald Trump sebagaimana disebut di atas, perlu diketahui bahwa kedua orang tokoh ini pun mencapai sukses dari kesenangannya bermain-main.

Bill Gates sejak masih berusia 13 tahun sudah bermain-main dengan perangkat lunak komputer, dan dengan itu ia menjadi salah satu orang terkaya di dunia. Donald Trump juga sejak kecil selalu bermain-main ke kantor ayahnya, Fred Trump. Dia suka sekali melihat-lihat maket gedung dan pencakar langit, sebelum tertarik dengan bidang bisnis sang ayah, yaitu properti. Dan jadilah Donald Trump seorang Raja Properti.

Terakhir yang ingin saya sampaikan adalah, orang yang mempelajari ilmu kepemimpinan tidak akan menjadi pemimpin. Tapi, orang yang mencoba menjadi pemimpin, akan menjadi pemimpin. Demikian juga, orang yang mempelajari ilmu bisnis, tidak akan menjadi pebisnis. Tapi, orang yang mencoba menjadi pebisnis, akan menjadi pebisnis.



Rusman Hakim
Pengamat Kewirausahaan
E-mail: rusman@gacerindo.com
Web: http://www.gacerindo.com
Blog: http://rusmanhakim.blogspot.com
Mobile: +62 21 816.144.2792

Sunday, November 12, 2006

BIZMART YANG SAYA LIHAT

BIZMART YANG SAYA LIHAT

Seperti yang telah dicanangkan via internet, acara “Kopi Darat” ke-IV milis Bisnis-Smart ternyata jadi dilaksanakan. Meski ditandai dengan berbagai “silang-pendapat” serta perubahan tempat, Kopdar akhirnya berjalan mulus dan cukup mengesankan.

Acara yang dihadiri lebih dari 20 orang itu, digelar pada hari Sabtu 11 November 2006 dengan mengambil lokasi di kafe “Bukafe” Jalan Duren Tiga Raya, Jakarta Selatan. Hadir antara lain, para aktivis serta petinggi milis seperti Anton Witono, Rio Nasution, Iwan, Roesmiyati, Eko dan tentu saja tidak ketinggalan “bos” Bisnis Smart, penulis buku “Cara Brilian Menjadi Karyawan Beromset Miliaran” (CBMKBM), Masbukhin Pradhana.

Acara-acara yang diagendakan pada acara tersebut secara berturut-turut setelah dibuka oleh panitia, adalah presentasi tentang masalah “Branding”, dibawakan oleh Rio Nasution, dilanjutkan dengan paparan mengenai “Menguak Daerah Abu-Abu antara Bisnis dan Wirausaha” oleh Rusman Hakim, dan dilanjutkan oleh Masbukhin Pradhana dengan mengambil acuan dari materi yang dibawakan oleh 2 pembicara sebelumnya.

Setelah makan siang, Kopdar dilanjutkan lagi dengan presentasi tentang pembentukan Koperasi Bizmart, lengkap dengan jadwal kerja beberapa bulan ke depan dari unit operasional Bizmart yang masih embrionik tersebut. Berbicara dalam sesi ini Stephanus Kurnianto dengan “stage-act” cukup mengesankan.

Agenda dilanjutkan lagi dengan sesi tanya-jawab, di mana para hadirin dapat melontarkan berbagai pertanyaan kepada para pembicara seputar masalah-masalah kewirausahaan. Dan terakhir, semua hadirin dilibatkan dalam acara ramah-tamah, “door-prize”, serta foto bersama.

Ada hal yang cukup mengesankan dalam Kopi Darat Ke-IV ini, yaitu suasana kebersamaan yang sangat kental di antara sesama anggota milis. Sebagian besar peserta kelihatan ceria dan penuh senyuman. Di Sabtu pagi yang cerah itu, suasana kafe “Bukafe” seakan bertambah segar dengan senyum ramah serta canda-tawa para member milis Bisnis-Smart.

Hal lain yang juga mengesankan adalah partisipasi yang tinggi dari beberapa wirausahawan. Meski masih dalam rangka promosi produknya, inisiatif mereka dalam membagi-bagikan produk, patut diacungi jempol. Tampak antara lain Isdiyanto, Pemimpin Umum Majalah “Wirausaha+Keuangan” yang membagikan puluhan eksemplar majalah, Roesmiyati yang menghadiahkan voucher makan gratis di gerai “Bakmi Patriot” miliknya, Masbukhin yang memberikan “rabat” pagi penjualan buku karyanya sendiri “CBMKBM”, serta beberapa orang lagi dengan kontribusinya masing-masing.

Secara keseluruhan, acara Kopi Darat IV milis Bisnis Smart ini cukup sukses, dan kita perlu angkat topi atas hasil kerja panitia yang telah bekerja keras sejak beberapa waktu sebelumnya.

Namun demikian, ada juga satu hal yang kiranya perlu menjadi masukan bagi para pengelola kelompok “netter” yang anggotanya sudah hampir mencapai 1000 orang ini. Menurut pengamatan, ada lebih kurang 30% dari keseluruhan audiens yang tampaknya agak kesulitan memperlihatkan kebebasan gerak, kebebasan berbicara serta kebebasan berkiprah di antara sekian banyak hadirin lainnya.

Orang-orang ini tampak begitu diam, nyaris tanpa ekspresi. Meski terlihat mendengarkan dengan baik setiap materi pembicaraan dan juga memperhatikan dengan seksama apa yang terjadi di ruang pertemuan, namun terkesan mereka rikuh dan sangat pasif dalam berinteraksi dengan sekelilingnya.

Hal seperti ini tampak berbeda dengan apa yang biasa kita temui di dalam pertemuan-pertemuan sejenis, yang diselenggarakan oleh kelompok-kelompok MLM (Multi Level Marketing}, seperti misalnya CNI atau Amway.

Dalam pertemuan-pertemuan MLM, nyaris 95% audiens berekspresi dengan begitu bebas dan sangat antusias. Sedemikian antusiasnya, sehingga walau pun beberapa orang ada yang tidak kebagian tempat strategis dalam sebuah pertemuan, dan harus puas berdiri di bagian pojok belakang, mereka ini tetap terlihat bergairah, bersorak meneriakkan yell-yell, bertepuk tangan, mengacungkan tinju serta tertawa lebar. Jelas sekali mereka sangat termotivasi di dalam lingkungan bisnisnya sendiri.

Fenomena semacam itu bisa kita temui tidak cuma di lingkungan MLM. Pada kelompok-kelompok agen asuransi pun, para pesertanya memperlihatkan gairah antusiasme serta motivasi yang sangat tinggi. Demikian juga di beberapa perusahaan multinasional.

Mungkin seyogyanyalah kita berfikir bahwa dalam sebuah komunitas kewirausahaan, motivasi merupakan sebuah kultur dasar yang harus benar-benar dibina. Tidak pelak lagi bahwa dalam berbisnis, faktor motivasi merupakan sebuah prasyarat yang sangat menentukan. Sebagaimana yang dilontarkan Ciputra, sang raja properti Indonesia, bahwa ada 3 hal penentu kesuksesan seorang usahawan, yaitu: motivasi, motivasi dan motivasi.

Mudah mengenali orang-orang yang hidupnya termotivasi. Mereka adalah orang-orang yang selalu proaktif, berani tampil (meski tidak tampan atau cantik), berani bicara (meski tidak pandai merangkai kata-kata), murah senyum serta selalu cenderung membantu orang lain.

Karena salah satu tujuan dibentuknya komunitas bisnis adalah untuk berbagi, baik berbagi informasi mau pun berbagi kesempatan, maka alangkah cantiknya jika seluruh anggota komunitas dapat “dibentuk” menjadi orang-orang yang termotivasi seperti itu. Semakin banyak perserta yang “motivated people”, akan semakin efektif pula sebuah milis kewirausahaan. Hal seperti itulah yang sekiranya kita harapkan dapat terjadi di dalam komunitas Bisnis Smart.

Jangan dilupakan, bahwa peserta datang dalam sebuah pertemuan, pasti dengan berbekal sebuah pengharapan, bahwa mereka akan mendapatkan sesuatu atau bahkan banyak hal yang berharga. Itu sebabnya mereka mau membayar, dan mengorbankan waktu serta energinya untuk bisa hadir. Mengapa tidak kita sambut pengharapan mereka dengan memberi “imbalan” secara maksimal?

Oleh sebab itu, kiranya perlu juga dipertimbangkan oleh otoritas milis, kemungkinan adanya penyelenggaraan sebuah program pelatihan untuk pembinaan motivasi. Pelatihan tersebut biasanya disebut dengan “Motivation Building Training Prorgam”, di mana di dalamnya terdapat sesi-sesi yang menyangkut proaktivitas, seperti “Self Inventory” dan “Public Speech” .

Untuk menekan biaya, kelihatannya bisa dijajaki bahwa di antara sekian banyak anggota di komunitas ini, terdapat orang-orang yang cukup kompeten untuk menjadi trainer, sedangkan untuk mekanisme pelaksanaannya, bisa dipastikan bahwa panitia Kopdar yang selama ini turun tangan, sudah cukup piawai untuk menjamin kelancaran penyelenggaraan program tersebut.

Semoga saja…



Rusman Hakim
Pengamat Kewirausahaan
E-mail: rusman@gacerindo.com
Web: http://www.gacerindo.com
Blog: http://rusmanhakim.blogspot.com
Mobile: +62 21 816.144.2792

Saturday, November 04, 2006

Antara TDA dan TDB

Antara TDA dan TDB

Dengan segala kerendahan hati, perkenankanlah saya untuk memberi sedikit ulasan tentang pertanyaan rekan XXX di milis IEU2002 tentang arti dari TDA dan TDB. Jelas dan gamblang bahwa jawaban yang diberikan adalah bahwa TDA = Tangan Di Atas = Pengusaha, sedangkan TDB = Tangan Di Bawah = Karyawan.

Yang menggelitik perasaan saya adalah, apa iya setiap karyawan itu sudah pasti “Tangan Di Bawah”?

Menurut pengertian umum, “tangan di bawah” mengandung arti “tangan yang menerima” dan bukan “tangan yang memberi”. Arti sebaliknya berlaku bagi “tangan di atas”. Dalam pengertian yang lebih luas, sering diartikan bahwa orang yang “tangan di bawah” adalah mereka yang kehidupannya lebih tergantung dari pemberian orang lain. Ekstrimnya, kaum tangan di bawah adalah mereka yang nasibnya lebih bergantung pada belas kasihan orang lain. Mudah-mudahan pengertian ini tidak terlalu salah, atau melenceng terlalu jauh dari arti sesungguhnya.

Nah sekali lagi, timbul pertanyaan, apa benar seorang karyawan sudah pasti “TDB”, dan hidupnya mesti bergantung pada orang lain yang namanya majikan?

Menurut saya, seorang karyawan akan menjadi “TDB” atau tidak, sama sekali tergantung dari paradigma yang ada di kepalanya saat menjalankan hajat hidupnya sebagai karyawan. Paradigma itulah yang nanti akan menyebabkan dia menjadi “TDB” atau bukan. Jadi, tidak selamanya yang disebut karyawan, pegawai, orang gajian atau apa pun namanya, menjadi “TDB” karena bekerja terhadap majikan.

Ada 3 (tiga) jenis paradigma di benak karyawan, yaitu pertama: yang bersangkutan cenderung kurang menghargai hubungan kerja, kedua : menghargai hubungan kerja secara berlebihan, dan yang ketiga : menghargai hubungan kerja secara wajar sambil menempatkan diri sejajar, setara, sederajat atau setingkat terhadap majikan, dengan tujuan menjaga unsur keseimbangan yang saling menguntungkan.

Ketiga jenis sikap di atas, akan melahirkan tipe-tipe karyawan yang dapat kita kenali dari sepak terjangnya dalam melaksanakan kegiatan sehari-hari:

1) Tipe Petualang.
2) Tipe Pengabdi.
3) Tipe Mitra.


TIPE PETUALANG
Karyawan jenis ini condong memperlakukan perusahaan tempat ia bekerja hanya sebagai obyek yang bisa dikendalikan sesuka hati, atau sebagai tambang emas yang bisa digali dan dikeruk isi perutnya sepuas-puasnya. Yang termasuk dalam katagori tipe petualang antara lain mereka yang bekerja untuk mencari uang sebanyak-banyaknya dan melakukannya secara “hantam kromo”, tidak peduli halal atau tidak, yang penting duit! Sehingga terjadilah peristiwa-peristiwa tidak terpuji seperti korupsi materi, korupsi waktu, penggelapan bahkan pencurian dan lain sebagainya. Sering bolos untuk menjalankan usaha sampingan, juga termasuk dalam golongan ini.

Demikian juga dengan tipe Kutu Loncat. “Kutu loncat” adalah mereka yang selalu berpindah-pindah kerja dari satu perusahaan ke lain perusahaan, tergantung dari pihak mana yang menurutnya lebih baik dalam hal memberi kedudukan dan uang. Dengan sendirinya, mereka mudah “dibajak” dengan iming-iming gaji besar.

Tipe petualang tidak termasuk dalam dikotomi TDA vs TDB.


TIPE PENGABDI
Sementara itu, sebagian orang berpikiran bahwa kerja pada majikan, sudah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sebuah rumah tangga. Mereka berpendapat, dari situlah dapur bisa berasap sehingga semua anggota keluarga bisa makan dan roda kehidupan berputar dengan wajar. Dengan anggapan ini, mereka selalu mendambakan sebuah pekerjaan yang tenang tenteram, dan bisa dijadikan tumpuan selama hidup.

Maka orang-orang jenis ini akan terlihat bekerja sehari-hari secara cukup tekun, cukup rajin, tidak terlalu banyak menuntut dan sebaliknya juga tidak terlalu keras bekerja demi karir. Karena sangat menyenangi ketenangan kerja dalam lingkup tanggung jawab terbatas, mereka tahan untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan yang “itu-itu” juga, dalam suasana yang monotone tanpa perubahan apa pun.

Pada peristiwa PHK, orang-orang ini akan menjadi sangat panik, karena sesuai dengan jalan pikiran mereka, PHK akan menyebabkan rumah tangga porak-poranda. Dapur akan kehilangan asapnya, sumber makan keluarga akan terhenti, anak-anak terlantar dan tidak terbayang kegiatan apa yang bisa mereka lakukan setelah berhenti dari pekerjaan sekarang.

Tipe pengabdi inilah yang pada umumnya menganggap majikan sebagai dewa penolong kehidupan, sehingga merasa bahwa posisi mereka ada di bawah posisi majikan. Merekalah yang mengganggap diri mereka sendiri sebagai “TDB” alias tangan di bawah.

TIPE MITRA

Seorang karyawan yang membangun hubungan kerja berdasarkan falsafah kemitraan, akan mempunyai perilaku yang sama sekali berbeda dibanding mereka yang menganut falsafah kerja petualang atau pengabdian semu. Di sini, karyawan penganut kemitraan menganggap perusahaan majikan sebagai amanah yang harus dijaga, dipelihara, dibina serta dikembangkan dengan penuh tanggung jawab. Sehingga tidak pernah selintas pun timbul pikirannya untuk melakukan korupsi, penggelapan serta hal-hal lain yang tak terpuji.

Di lain pihak, ia juga tidak pernah menganggap majikan sebagai dewa penolong yang memberinya penghidupan, karena ia sadar bahwa apa yang diterimanya dari sang majikan merupakan timbal balik dari jasa-jasa, kepiawaian, energi, waktu serta profesionalisme yang ia dedikasikan kepada perusahaan.

Dalam hal ini, paradigma karyawan tersebut sudah menerapkan konsep “True Salesmanship” yang berbasiskan pemikiran kerjasama saling menguntungkan. Sebuah transaksi yang didasarkan atas jual-beli berprinsip “Win-win solution”, di mana semua pihak diuntungkan, semua pihak berbahagia dan tidak ada pihak yang dirugikan atau teraniaya. Oleh sebab itu, sosok seperti ini tidak dapat digolongkan dalam profil “TDB”, melainkan “TDA” bersama-sama dengan majikannya.

Dengan konsep pemikiran seperti itu, secara sadar atau tidak, unsur kewirausahaan sudah cukup dominan dalam sepak terjang karyawan tipe ini. Maka tidaklah mengherankan, kalau pada suatu saat nanti, karyawan tipe mitra akan muncul secara surprise, sebagai seorang wirausahawan tangguh.

Himbauan saya bagi teman-teman yang merasa “TDB”, dan merasa masih agak terlalu jauh untuk sampai di tatanan wirausahawan mandiri, ada satu langkah awal yang cukup efektif, yaitu merubah paradigma dari seorang karyawan yang “TDB”, menjadi karyawan yang “TDA”. Insya Allah, setelah itu jalan menuju kemandirian akan lebih terbuka.


Rusman Hakim
Pengamat Kewirausahaan

E-mail: rusman@gacerindo.com
Web: http://www.gacerindo.com
Blog: http://rusmanhakim.blogspot.com
Mobile: +62 21 816.144.2792

Thursday, October 26, 2006

Puasa, Lebaran dan Kemenangan

PUASA, LEBARAN DAN KEMENANGAN

Tidak terasa bulan puasa yang satu bulan penuh telah kita liwati. Hari Raya Idul Fitri telah pula kita rayakan dan nikmati bersama, dengan anggota keluarga, handai taulan, sanak famili, para sahabat dan orang-orang tercinta.

Kalau kita mau berfikir, bukankah bulan puasa serta Hari Raya semacam ini entah sudah berapa kali kita mengalaminya? Bukankah tiap tahun hari-hari yang sakral itu datang lagi dan lagi, sejak kita masih kecil, tumbuh remaja, dewasa dan beranjak tua?

Lalu apa sebenarnya maksud yang terkandung dalam peristiwa itu, adakah hikmah di dalamnya? Dan sudahkah kita bisa mengambil manfaatnya?

Siapa pun kita, pegawai negeri, profesional atau pun wirausahawan, sudah pasti bisa mengambil banyak hikmah dari prosesi bulan puasa sampai kepada Hari Raya yang kita sebut dengan Hari Kemenangan itu. Apa sajakah?

KESADARAN AKAN “JER BASUKI MOWO BEO”

Kenikmatan berhari raya, hanya dapat dirasakan secara maksimal oleh mereka yang benar-benar menunaikan ibadah puasa secara penuh. Artinya, cuma oleh mereka yang menahan lapar, haus serta hawa nafsu selama satu bulan penuh, dengan sepenuh-penuh kesadaran akan makna ibadah yang dijalankannya.

Mereka akan menginsyafi, bahwa kenikmatan tersebut baru mampu diperoleh, setelah melalui perjuangan berat, dalam bentuk kosongnya perut, keringnya tenggorokan, lemas dan tak berdayanya tubuh yang sebelumnya begitu perkasa, ditambah dengan kelelahan mental melawan gejolak emosi.

Makna yang terkandung dari proses ini memberikan kita pencerahan tentang hal bahwa setiap keberhasilan, setiap kesuksesan dan setiap kemenangan yang memilik nilai, hanyalah yang diperoleh melalui perjuangan. Semakin berat dan keras perjuangan yang dilalui, semakin manis pula madu kemenangan yang bisa direguk.

Dengan demikian, benarlah apa yang dikatakan oleh pepatah Jawa: “Jer basuki mowo beo”, setiap keberhasilan memerlukan biaya. Ini juga yang mengingatkan kita semua kepada peribahasa yang sejak kecil kita telah diajarkan: “Bersakit-sakit lebih dahulu, bersenang-senang kemudian..”

V I S I

Salah satu tujuan dari berpuasa di bulan Ramadhan adalah untuk memberikan kesempatan pada kita, guna melakukan instrospeksi alias mawas diri, atas apa-apa yang telah kita lakukan selama ini. Adakah semua sepak terjang kita telah sesuai dengan yang seharusnya, dan apakah perjalanan yang telah kita lalui masih tetap berada pada jalur yang benar.


Tak dapat dipungkiri bahwa selama bulan puasa, terutama pada minggu-minggu terakhir, kegiatan bisnis serta pemerintahan, mengalami penurunan. Bukannya tanpa maksud, karena biasanya para pimpinan perusahaan dan organisasi memanfaatkan situasi itu untuk mengadakan konsolidasi ke dalam. Mereka sedikit mengurangi kegiatan ke luar, sebaliknya, pengamatan ke dalam, evaluasi serta penataan kembali ditingkatkan.

Hal seperti itu memang sejalan dengan tujuan ibadah puasa, di mana kita mendapatkan kesempatan untuk melakukan konsolidasi untuk menata kembali perjalanan hidup kita ke depan, agar lebih baik dan mantap melanjutkan perjuangan sehabis Hari Raya.

LEAN AND MEAN

Pada umumnya, meski ada beberapa kekecualian, seorang pelaku puasa akan mengalami penurunan badan yang cukup drastis. Saya sendiri termasuk orang yang “sensitif”, sehingga setiap habis berpuasa sebulan lamanya, paling sedikit saya akan kehilangan 4 kilogram berat badan. Tubuh dan wajah saya akan terlihat kurus.

Namun demikian, di balik kekurusan itu, saya merasakan sesuatu yang mengenakkan. Tubuh saya terasa ringan, gerakan saya lebih bebas dan gesit, serta merasa suasana tubuh bagaikan kembali ke masa SMA dulu (waktu SMA bobot saya hanya 54 kg).

Ada istilah dalam bisnis, yang disebut “Lean And Mean”. Istilah ini artinya “kurus tanpa lemak, tapi sehat dan gesit”. Sebuah badan usaha, secara berkala perlu diterapi untuk selalu “lean and mean”. Artinya, perusahaan seyogyanya selalu diawasi dan dikendalikan untuk tidak terlalu “gemuk dan tambun”, sehingga bebannya berat, dan manuvernya melamban.

Perusahaan yang “gemuk dan tambun” akan selalu kalah dalam persaingan, sehingga perlu memangkas semua unsur yang berlebihan, seperti kelebihan SDM yang tidak efektif, biaya-biaya ekstra yang tidak terlalu diperlukan, birokrasi yang terlalu panjang dan lain sebagainya.

KEPEDULIAN SOSIAL

Sebuah perusahaan yang didukung oleh masyarakat, pasti akan memperoleh kemajuan yang signifikan. Oleh sebab itu, perlu sekali diperhatikan kegiatan-kegiatan yang menunjukkan kepedulian sosial.

Dalam menyelesaikan ibadah puasa, sebelum fajar menyingsing di Hari Raya, seluruh umat diminta untuk menunaikan kewajiban membayar zakat fitrah dan juga zakat maal (zakat kekayaan). Besarnya zakat maal ini bagi umat Islam adalah 2,5 persen dari nilai kekayaannya.

Artinya, kalau kita memiliki harta sebesar Rp. 100 juta, maka kita wajib menyisihkan Rp. 2,5 juta untuk diberikan kepada fakir miskin. Saya tidak tahu apakah ada di antara kita yang masih merasakan jumlah 2,5 persen ini terlalu berat atau terlalu besar?

Tapi tahukah Anda, bahwa di antara teman-teman kita umat Nasrani, zakat maal itu adalah sebesar 10 persen? Jika mereka mempunyai uang Rp. 100 juta, maka yang akan dialokasikan untuk charity adalah Rp. 10 juta!?

Saya menghimbau, bagaimana kalau kita semua mencoba belajar menyisihkan 10 persen untuk dizakatkan, dan lihatlah bagaimana alam semesta akan memberikan tanggapannya terhadap kasih sayang pada sesama yang Anda tunjukkan itu.

Bahkan ada suatu pemikiran lain yang akan saya ajukan, yaitu sebuah konsep tanggung jawab sosial yang mungkin akan Anda anggap terlalu revolusioner, atau akan Anda beri label “gila”, jika Anda belum mendengar penjelasannya secara tuntas. Apakah itu?

Bagaimana kalau kita mulai saat ini berikrar untuk menyisihkan zakat maal kita itu 100 persen?

Eit, please.. jangan buru-buru mencap saya mengada-ada atau sinting. Dan jangan cepat-cepat berfikir bahwa Anda akan diajak untuk bekerja bhakti sepanjang hidup. Dengarkan dulu ya?

Saya juga tidak setuju kalau Anda dan saya meraup 100 persen dari seluruh pendapatan untuk dibagikan begitu saja kepada fakir miskin. Kenapa? Karena itu tidak mendidik. Kita bukan memberi pancing, tapi sekadar memberi ikan. Itu sebuah bentuk pemanjaan, dan hampir semua bentuk pemanjaan, umumnya tidak mendidik.

Yang saya maksud dengan zakat maal 100 persen adalah, sebuah paradigma bahwa kita menjalankan usaha dengan niat dan anggapan bahwa seluruh aset, seluruh sumber daya dan seluruh keuntungan yang diperoleh dari usaha kita adalah untuk didedikasikan kepada masyarakat banyak.

Bagaimana implementasinya?

Hitunglah semua biaya yang diperlukan, seperti biaya operasional, biaya overhead, biaya gaji karyawan dan biaya-biaya lainnya seperti biasanya. Lalu tentukan besar gaji Anda sendiri, menurut yang Anda anggap pantas dan lebih dari cukup untuk membiayai hidup Anda, keluarga dan seluruh tanggungan Anda. Tentukan juga Retained Earning (RE), besaran laba yang perlu ditahan guna mengembangkan usaha selanjutnya.

Nah setelah itu, Anda harus konsekwen. Jangan mengambil lebih banyak dari jatah Anda, mulai saat itu semua keuntungan bersih yang diperoleh perusahaan, adalah hak milik masyarakat banyak. Perusahaan harus mendirikan sedikitnya sebuah yayasan, atau bekerja sama dengan yayasan-yayasan di luar perusahaan, untuk mengelola 100 persen net profit Anda itu untuk kepentingan sosial.
Dengan demikian, dapatlah kita meyakinkan diri bahwa manfaat kehidupan kita, berikut semua badan usaha yang kita dirikan adalah benar-benar mencapai manfaat yang maksimal. Pikirkanlah dan putuskan. Anda berani?

SPIRITUAL ECO SYSTEM

Sebagaimana tulisan saya yang lalu, dunia ini bergerak berdasarkan siklus-siklus. Segala sesuatu bergerak menurut aturan baku yang bersifat alamiah. Ada yang masuk, ada yang keluar. Ada yang menaik, ada yang menurun. Semua membentuk sebuah lingkaran yang berulang, yang kita sebut siklus. Siklus itu adalah apa yang kita sebut dengan ekosistem.

Secara fisik, ekosistem dapat terlihat dari fenomena alam bagaimana air menguap karena sinar matahari, naik ke atas, mengkondensasi membentuk awan, menjadi berat lalu jatuh ke bumi dalam bentuk hujan dan kembali menjadi air. Lalu siklus pun berulang.

Kita lihat juga bagaiman petani menebar bibit, bertumbuh, menjadi ranum dan matang, untuk kemudian dituai dan dipanen. Lalu siklus pun berulang.

Kita pun tidak terbebas dari lingkaran yang serupa. Kita makan dan minum sebagai masukan, tapi kita pun harus mengeluarkan dan membuang sesuatu agar kesehatan terjaga.

Secara spiritual, sistem melingkar juga berlaku, kita sebut sebagai “Spiritual Eco System”. Bila kita menarik sesuatu, kita perlu juga mengeluarkan sesuatu. Kalau kita ingin memperoleh rejeki dalam jumlah besar, maka kita pun harus berderma dalam jumlah yang juga besar.

Barang siapa bekerja keras, alam akan mencatatnya, dan pada waktunya alam pun akan memberikan ganjaran berkah lengkap dengan bonus yang terkadang tidak tersangka-sangka besarnya.

Kunci dari semua itu adalah keyakinan. Keyakinan adalah iman, dan itulah pula sebenarnya yang terkandung dalam peribadatan kita dalam prosesi berpuasa sampai dengan Hari Raya.

Selamat idul Fitri 1427H, mohon maaf lair bathin.


Rusman Hakim
Pengamat Kewirausahan

Email: rusman@gacerindo.com
Web: http://www.gacerindo.com
Blog: http://rusmanhakim.blogspot.com
Mobile: 0816.144.2792

Anomali Kehidupan

Anomali Kehidupan

Di sekolah dulu, seorang guru saya pernah menyampaikan sebuah teori fisika yang mengatakan bahwa sifat semua benda di dunia ini adalah sama, yaitu memuai bila dipanaskan, dan menyusut bila didinginkan.

Teori ini berlaku buat semua benda, tidak terkecuali air, demikian kata beliau.

Tapi ada suatu keadaan bertendensi terbalik, yang dinamakan “anomali air”. Keadaan dimaksud terjadi pada saat air dipanaskan pada suhu +4º Celcius. Ternyata air tidak memuai. Sebaliknya, air tersebut menyusut. Demikian juga pada saat air didinginkan pada suhu -4º Celcius, sebaliknya dari menyusut, eh.. dia malah mengembang. Aneh kan?

Nah, setelah saya fikir-fikir, dalam kehidupan ini juga banyak kejadian yang aneh-aneh. Saya bahkan ingin mengatakannya banyak anomali dalam kehidupan ini.

Adanya dualisme dalam kehidupan kita, itu saja sudah aneh. Coba pikir, ada panas ada dingin. Ada kecil ada besar. Ada baik ada buruk. Ada siang ada malam Kita bisa menyebutkan lagi seribu satu contoh dualisme, kalau mau.

Kelanjutan dari keanehan itu adalah, lho kok kita hidup di dunia ini harus memilih salah satu dari dua kutub dualisme? Alim ulama dan para pendeta mengatakan bahwa kita harus memilih hanya kebaikan, dan membuang jauh-jauh yang namanya keburukan.

Guru saya di sekolah menekankan, kita harus selalu rajin dan melenyapkan kemalasan. Dokter mengatakan bahwa kita harus mengutamakan kebersihan dan kesehatan. Berantas kekotoran, ketidakbersihan serta ketidaksehatan.

Kok begitu ya?

Kenapa Tuhan tidak menciptakan saja monoisme, sebagai ganti dari dualisme. Dengan begitu kita semua hanya mengenal yang baik-baik saja. Kita hanya tahu kebaikan, kebajikan, kebersihan, kesehatan dan semua yang sifatnya positif-positif saja. Dan kita tidak perlu tahu dengan yang negatif, seperti keburukan, kejahatan, kekotoran, kemalasan, dan lain sebagainya. Kan dengan begitu, manusia juga tidak akan mengalami kebimbangan atau keraguan dalam memilih jalan hidupnya, bukan?

TUHAN Maha Besar.. Itulah akhirnya yang saya bisa ucapkan tatkala menemukan secuil pencerahan. Dualisme memang sudah karakternya dunia. Manusia memang diturunkan ke dunia untuk menentukan sikap, untuk memilih. Akankah manusia memilih kebenaran bagi dirinya, dan menolak kebathilan? Akankah orang akan memilih semua yang positif dan menyingkirkan yang negatif?

Monoisme, di mana yang ada hanyalah semua yang baik-baik saja, cuma terdapat di dalam surga. Bukan di dunia. Di surga hanya ada bahagia, tidak ada sengsara. Hanya ada kenikmatan tidak ada kesakitan. Hanya ada suka cita tidak ada muram durja. Tuhan memberikan itu semua untuk manusia. Tapi manusia sendirilah yang mengubahnya menjadi berbeda.

Nabi Adam, ditengah-tengah kehidupannya yang serba nikmat itu, kok sempat-sempatnya memetik buah khuldi, sehingga berakibat pecahnya monoisme menjadi dualisme? Kok berani-beraninya dia berbuat begitu hingga timbul konfrontasi antara Tuhan dengan Setan? Sadarkah dia bahwa perbuatannya itu telah menyebabkan seluruh keturunan manusia menjadi sengsara, hidup terombang-ambing di dunia fana yang penuh dengan kebimbangan dan ketakutan?

Beratus bahkan beribu tahun umat manusia harus menanggung derita penghidupan dunia dalam kegelapan, kebutaan serta ketidakmengertian tentang hakikat hidup ini. Manusia bahkan tidak tahu siapa dirinya yang sebenarnya!

Syukur alhamdulillah, bahwa sedikit demi sedikit, sejumlah manusia bijak dapat juga mengungkap rahasia kehidupan. Kaum waskita di negeri Cina berhasil menemukan bahwa semua yang kelihatan saling bertentangan itu sebenarnya berasal dari sumber yang sama. Bahwa dualisme itu asalnya dari monoisme. Bahwa yang gelap dan yang terang, yang tinggi dan yang rendah, yang benar dan yang salah, yang panas dan yang dingin, semuanya bersumber satu.

Coba cernakan kata-kata ini: “Yang ada berasal dari yang tiada, yang tiada berasal dari yang ada. Yang tiada itu sesungguhnya ada, dan yang ada itu sebenarnya tidak ada. Baik yang ada mau pun yang tiada pada dasarnya bersumber dari yang satu, itulah yang disebut TAO..”

Huahaha… saya ingin mengatakan bahwa kalau Anda bukan tipe manusia yang keranjingan spiritualisme, jangan coba-coba menelaah kata-kata itu. Bisa-bisa Anda akan merasa gila sendiri.

Meski demikian, saya ingin menyampaikan bahwa sesungguhnya di antara dua hal yang bertentangan itu memang ada hubungan yang sangat erat. Itu kalau kita tidak mau mengatakannya tidak saja berhubungan, tapi bahkan saling tarik menarik.

Coba perhatikan, kalau Anda menganggap bahwa makan enak itu sesuatu hal yang positif, maka sekali mengumbar makan enak, penyakit pun akan datang “sok akrab” dengan diri Anda. Suatu hal yang negatif, bukan?

Sebaliknya, pada saat Anda menginginkan kesembuhan atau kesehatan yang optimal (positif), jangan heran kalau dokter akan menjejali Anda dengan aneka material yang umumnya terasa pahit, sekaligus harus menjauhi makanan-makanan enak (negatif). Itulah, yang saya maksud dengan tanda-tanda “anomali kehidupan”.

Mungkin Anda menganggap kenyamanan merupakan suatu hal yang positif, dan menjadi tujuan akhir dari kehidupan Anda. Tentu yang Anda cari adalah kemapanan, kelimpahan harta serta segala sesuatu yang serba teratur, serba tenang tenteram serta menjauhkan diri dari perubahan-perubahan, apalagi kejutan-kejutan.

Tapi banyak peristiwa yang terjadi ternyata tidak konsisten dengan anggapan tersebut. Ada seorang komisaris sebuah perusahaan besar, digaji tinggi dan ia cukup datang sebulan sekali ke kantornya yang megah. Sekilas kebanyakan orang mengira ia sudah hidup mapan dan nyaman dengan kondisi yang demikian. Nyatanya, sang komisaris mengaku sangat tidak kerasan dengan kondisi seperti itu, dan ia menginginkan tantangan-tantangan yang lebih besar.

Seorang profesional muda yang menjadi konsultan di perusahaan saya, dengan perasaan sungkan meminta agar honornya dihentikan sementara waktu sampai volume pekerjaan yang diberikan padanya kembali pada tingkat kepadatan seperti sebelumnya. Yang terjadi adalah ia merasa risih dan tidak enak hati, saat harus menerima sejumlah uang setiap bulan, tanpa kerja dan tanggung jawab yang jelas.

Kenapa begitu? Ya, dia merasa ada sesuatu yang hilang. Sesuatu yang tidak seimbang. Sebelum ini, ia selalu menerima bayaran, setelah memberikan kontribusi kerja yang bermanfaat. Maka ia merasakan kenikmatan maksimal dengan penghasilannya. Tapi, setelah beban kerjanya nyaris tiada lagi, dan ia tetap dibayar, kenikmatan itu pun nyaris pula sirna. Bahkan sebaliknya, berubah menjadi beban moral bagi dirinya.

Dengan demikian cukup jelas bagi kita untuk menyimpulkan bahwa keadaan pahit dan manis, nyaman dan tertekan, kaya dan miskin, bahagia dan sengsara, semuanya ada dalam lingkup sebuah sistem maha besar dari alam semesta ini. Dan jangan lupa bahwa kedua ekstrim positif dan negatif itu, semuanya diperlukan bila kita ingin mengerti mekanisme kehidupan dunia. Itulah yang saya sebut dengan “anomali kehidupan”, dan itu pula yang disebut oleh saudara-saudara kita dengan “Tao”.

Anomali yang menjelaskan mengapa seorang anggota keluarga Rockefeller, yang seakan menganggap uang tidak lebih berharga dari pasir dan debu di jalan, akhirnya memilih berkelana di hutan-hutan belantara dan menemui kematiannya di sana.

Topik yang sama juga menjelaskan kenapa Elvis Presley, Marilyn Monroe dan banyak selebriti lain yang telah bergelimang uang akhirnya jatuh ke lembah narkoba, sekadar untuk mengejar dan mencari “sesuatu yang hilang” itu.

Para spiritualis penganut aliran tertentu di India, Persia dan Timur Tengah, mengadakan aktivitas-aktivitas penyiksaan diri guna memenuhi persyaratan ritual mereka. Untuk apa? Tidak lain juga untuk menemukan “sesuatu yang hilang” agar kehidupan mereka kembali dalam keseimbangan hakiki di alam semesta ini.

Bagaimana dengan kita yang berkecimpung dalam kehidupan kerja, baik sebagai karyawan mau pun sebagai usahawan?

Banyak dari kita merasa galau dengan kondisi yang dialami saat ini. Kondisi di mana kita merasa begitu menderita karena kesulitan keuangan di tengah-tengah krisis ekonomi berkepanjangan. Cemas memikirkan masa depan diri dan anak-anak kita kelak. Geram melihat para pemimpin yang tidak lagi memiliki hati nurani karena sepak terjangnya yang korup, arogan, dan sewenang-wenang. Kesal karena setiap hari diperintah-perintah orang lain yang disebut “boss”, padahal gaji kecil tak mencukupi, mau jadi pengusaha belum berani..dan sebagainya..dan sebagainya..

Yang perlu kita sadari adalah, inilah yang disebut dengan anomali kehidupan. Kalau saja kita menyadari dengan sepenuhnya, maka sesungguhnya kita tidak lagi harus merasa menjalani kehidupan dengan keterpaksaan.

Kita sadar bahwa unsur negatif pun diperlukan dalam dunia ini. Tekanan hidup melatih kita untuk menjadi seorang yang tangguh. Kesulitan ekonomi mendidik kita untuk berkarya, bahwa persoalan sebenarnya bukanlah pada kesulitan ekonomi itu sendiri, melainkan alam menghendaki kita untuk berkarya. Bila karya sudah membudaya dalam hidup, otomatis tidak akan ada lagi kesulitan ekonomi.

Nah, teman sekalian. Izinkan saya untuk sedikit berpesan, nikmatilah kehidupan saat ini, bagaimana pun adanya kondisi Anda. Bila Anda sekarang dalam keadaan yang serba kurang, sadarilah bahwa Anda sedang melengkapi kebutuhan hidup pada kutub negatifnya. Nanti, bila Anda telah sukses dan hidup berkelimpahan, Anda akan dapat menikmatinya secara penuh, tanpa perlu jatuh ke dunia narkoba, atau berkelana ke hutan. Kalau Anda sekarang ada dalam kelimpahan, coba periksa, apa Anda bisa menikmatinya dengan baik?

Kalau Anda merasa tidak bisa menikmatinya secara baik dan cenderung jenuh, serta tidak tahu lagi apa yang mesti Anda perbuat, nah.. itu artinya Anda belum cukup mengalami sisi negatif kehidupan. Anda belum cukup mengalami pennderitaan yang membuat Anda pantas memperoleh segala kelimpahan.

Itulah “anomali kehidupan”…


Rusman Hakim
Pengamat kewirausahaan

E-mail: rusman@gacerindo.com
Web: http://www.gacerindo.com
Blog: http://rusmanhakim.blogspot.com
Mobile: 0816.144.2792

Wednesday, September 06, 2006

Ayam Negeri Dan Ayam Kampung

Pada suatu hari, seorang ayah dan seorang anak laki-lakinya yang sudah menjelang dewasa tampak sedang bersama-sama memberi makanan pada ayam-ayam peliharaan mereka. Keluarga ini memang memelihara banyak ayam dari berbagai jenis, yang terbagi menjadi dua golongan besar, yaitu ayam kampung dan ayam negeri.

Di sela-sela kesibukan itu, tiba-tiba sang ayah bertanya pada anaknya : “Nak, kalau kau harus memilih, yang mana kau lebih suka, jadi ayam negeri atau jadi ayam kampung?” Sang anak tertegun mendengar pertanyaan tersebut. Ia tidak mampu menjawab.

“Apa maksud ayah?” katanya sejurus kemudian.

“Ini hanya sebuah permisalan. Bila kelak engkau menjadi lebih dewasa nanti, ada dua cara hidup yang bisa engkau pilih, yaitu cara hidup seperti ayam negeri, atau sebagai ayam kampung”, jelas ayahnya.

“Ah, aku tahu ! Tentu aku memilih hidup seperti ayam kampung. Ia selalu bebas pergi ke mana saja ia mau..”, jawab sang anak dengan antusias.

Si ayah yang bijaksana ini tersenyum sambil membenarkan. “Selain kebebasan, masih banyak hal-hal lain yang bisa kita ambil dari kehidupan ayam kampung, dibanding dengan kehidupan ayam negeri”, lanjut ayahnya. Lalu ia mulai berbicara panjang lebar untuk menjelaskan falsafah hidup ayam kampung kepada anak kesayangannya tersebut.

Ayam kampung berbeda terhadap ayam negeri dalam banyak hal. Perbedaan pertama yang telah disebut di atas adalah hal kebebasan. Ayam kampung selalu hidup bebas di alam lepas. Pergi ke sana ke mari mencari makan, bermain, dan bercengkerama. Sementara itu, ayam negeri selalu hidup di kandang yang bagus.

Pada malam hari, ayam kampung tidur seadanya, di mana saja. Tidak perlu di kandang, bahkan acapkali hanya di atas jerami atau pada seutas ranting. Sedangkan ayam negeri siang malam ada di kandang yang nyaman, termasuk waktu tidur. Kandangnya itu, benar-benar dibuat nyaman, bersih karena setiap hari dibersihkan. Kesehatan lingkungannya di jaga, bahkan temperatur ruangan harus selalu diatur dengan nyala lampu agar tetap hangat.

Ayam kampung mencari makan sendiri, berjuang menyibak semak-semak, mengorek sampah, merambah selokan, berpanas dan berhujan menyantap apa saja yang bisa disantapnya. Tidak peduli kotoran dan tidak hirau pelimbahan, demi menyambung hidup yang keras dari hari ke hari.

Ayam negeri di lain pihak, disediakan makanan oleh majikannya dengan makanan khusus. Penuh gizi dan bebas hama. Jadwal teratur, dan tidak boleh menyentuh makanan sembarangan. Sekali-sekali pada waktu-waktu tertentu, ayam negeri juga diberi suntikan agar lebih sehat dan produktif.

Melihat kenyataan itu, tentu terpikir oleh kita bahwa sudah sepantasnya kalau ayam negeri memiliki kelebihan dalam segala hal dibanding ayam kampung. Tapi apa nyatanya? Ayam negeri sangat sensitif. Ada keadaan yang sedikit saja menyimpang dari seharusnya, sakitlah ia. Satu sakit, yang lain pun sakit, dan akhirnya semua mati.
Sebaliknya,.ayam kampung tidak pernah sakit, tubuhnya sehat dan kuat, berkat gemblengan alam. Itu yang membuatnya tidak pernah sakit. Ia pun berjuang setiap hari di alam terbuka, melawan kekerasan alam untuk mencari nafkahnya. Ayam kampung juga memiliki rasa pengorbanan, tidak ragu untuk menyibak semak, mengorek sampah dan merambah selokan, berpanas dan berhujan sambil membimbing anak-anaknya mencari makan, agar mereka tegar seperti induknya.

Sang ayah yang bijaksana tadi berkata lagi : “Lihat, meski bergelimang berbagai kenyamanan, ayam negeri itu sesungguhnya sudah kehilangan identitas sebagai makhluk yang bebas. Statusnya sudah diubah oleh mahluk lain yang bernama manusia, tidak lagi sebagai mahluk hidup, melainkan sebagai mesin. Mesin yang menghasilkan telur dan daging dalam jumlah besar bagi keperluan manusia..”

Moral apa yang bisa kita serap dari fenomena ayam kampung dan ayam negeri ini?

Manusia bisa berkaca dari cermin kehidupan ayam negeri dan ayam kampung. Dalam bekerja mencari nafkah serta meniti karir, kebanyakan generasi muda menghendaki kehidupan nyaman tidak ubahnya bagai kehidupan ayam negeri. Mendambakan hidup nikmat di mana segala kebutuhannya dipenuhi, jauh dari beratnya perjuangan hidup, jauh dari gemblengan dan tantangan alam, bahkan kalau perlu tidak usah tahu dengan yang namanya cucuran keringat serta beratnya banting tulang.

Sejak selesai sekolah, rata-rata pemuda sudah terpola untuk bisa diterima bekerja di sebuah perusahaan besar, menerima gaji besar, mendapat sejumlah jaminan dan fasilitas-fasilitas tertentu, mampu membeli rumah dan mobil sendiri, serta berkantor di salah satu gedung megah dan mewah di kawasan bisnis bergengsi. Sekolah dianggap sebagai sarana yang memberikannya standar pengakuan sebagai tiket untuk mendapatkan semua itu.

Di sana terselip sebuah pengharapan bahwa, semakin tinggi pendidikan yang ditempuh, semakin tinggi pula jabatan yang akan ia peroleh dari perusahaan, dan mereka mengira, semakin santai pula pekerjaan yang akan diberikan kepadanya. Hidup tenang dengan serba berkecukupan bahkan berkelimpahan.

Tak perlu disangsikan lagi bahwa pedoman hidup yang dianut generasi muda ini, sama dan sebangun dengan liku-liku kehidupan ayam negeri. Mereka menginginkan kenyamanan dan berbagai fasilitas yang diberikan oleh majikan, sama seperti ayam negeri menerima kenyamanan dan berbagai fasilitas dari majikannya.

Mereka menginginkan kesehatan dan jadwal hidup yang serba teratur, sama seperti ayam negeri menerima kesemua itu dari majikannya. Mereka memerlukan perhatian penuh tentang kesejahteraan diri dan keluarga, memerlukan tuntunan dan pimpinan untuk memperlancar tugas dan kewajibannya, sama seperti seperti yang diberikan majikan kepada ayam-ayam negeri itu.

Namun mereka tidak menyadari bahwa pada saat yang sama, mereka telah kehilangan kebebasan dirinya, sebagai hak azasi manusia yang paling hakiki. Mereka tidak bisa lagi pergi dan terbang ke sana ke mari seperti seekor elang di langit lepas. Sama seperti yang dialami oleh ayam negeri. Lebih-lebih lagi, mereka telah kehilangan identitas diri sebagai mahluk hidup, karena status dirinya, disadari atau tidak, telah dirubah menjadi mesin yang sangat produktif demi kepentingan majikannya. Juga sama seperti ayam negeri.

Falsafah hidup seperti ayam negeri, benar-benar merupakan suatu hal yang menyesatkan, terutama bagi kalangan muda. Orang akan terpedaya dengan perasaan nikmat dalam kehidupan yang terkungkung di antara sisi-sisi tembok beton kantor atau rumahnya yang mewah. Padahal di luar, masih teramat banyak orang yang tidak cukup beruntung untuk mendapatkan pekerjaan, hidup susah di rumah-rumah kumuh dan pengap.

Falsafah ayam negeri hanya mengajarkan manusia untuk memuja kenyamanan diri semata. Meski tidak ada yang salah untuk memperoleh kesejahteraan, kesenangan dan kemewahan bagi diri dan keluarga, namun pola hidup demikian cenderung membuat orang menjadi figur yang selfish dan egois, selalu mementingkan diri sendiri. Tidak ada lagi rasa prihatin dan empati kepada sesama. Apalagi keinginan berkorban untuk orang lain.

Sindrom kenikmatan juga akan menyebabkan kaum muda kehilangan semangat dan daya juang, sehingga tidak akan mau lagi ikut memikirkan bagaimana berpartisipasi untuk memajukan negara dan bangsa, mengentaskan kemiskinan rakyat jelata dan berbagai aspek sosial lainnya yang amat dibutuhkan oleh masyarakat banyak.

Di ujung rangkaian dari berbagai kesenangan yang memabukkan itu, akhirnya akan muncullah masalah yang paling berat, yaitu kenyataan bahwa generasi muda akan menjelma menjadi generasi yang ringkih, getas dan sensitif. Generasi yang mudah patah saat dihadapkan pada situasi krisis, sebagai akibat terlalu dimanjakan oleh kenikmatan. Lagi-lagi sama seperti ayam negeri yang sensitif terhadap berbagai penyakit.



Rusman Hakim
Pengamat Kewirausahaan

E-mail: rusman@gacerindo.com
Web: http://www.gacerindo.com
Blog: http://rusmanhakim.blogspot.com
Mobile: 0816.144.2792

Monday, August 28, 2006

To Be Or Not To Be

To Be Or Not To Be

Seorang pemimpin bangsa Cina modern, Dr. Sun Yat Sen, adalah orang yang menpopulerkan semboyan “to be or not to be”. Secara bebas, semboyan tersebut bisa diterjemahkan menjadi : “berhasil atau tidak berhasil”.

Kata-kata tersebut mengandung arti yang dalam. Manusia harus selalu menyadari bahwa sistem dualisme selalu mengatur dunia ini dalam dua kutub yang saling berlawanan. Ada gelap ada terang, ada tinggi ada rendah, ada besar ada kecil dan seterusnya. Oleh sebab itu, dalam mengejar suatu cita-cita, perlu selalu dipahami bahwa pilihannya juga hanya ada dua, yaitu berhasil atau gagal.

Berhasil berarti kemenangan, gagal berarti kehancuran. Maka, dalam hal perjuangan mencapai cita-cita luhur, tidak ada kompromi. Tidak ada pilihan untuk setengah berhasil atau setengah gagal. Yang ada hanya “berhasil” ! Kita menolak kegagalan, sehingga kegagalan harus dicoret dari kamus kehidupan kita.

Para pemimpin telah menetapkan bahwa pilihan harus hanya satu, yaitu “berhasil”. Tidak pernah ada kegagalan. Yang mungkin ada hanyalah “belum berhasil”, bukan kegagalan.

Para kandidat yang ingin menjadi pemimpin usaha yang berhasil, harus benar-benar mengambil intisari pelajaran ini. Tidak akan pernah ada kegagalan, selama kita belum berhenti berusaha. Sir Winston Churchill mengatakan : “Jangan mengaku kalah ! Jangan, jangan dan jangan pernah menyerah dalam hal apa pun yang Anda lakukan !”

Perlu dimengerti bahwa suatu perjalanan panjang menuju cita-cita adalah suatu garis penghubung antara dua titik yang saling berjauhan, yang satu di sini yang lain nun jauh di sana, dan diantara keduanya terdapat serangkaian gunung terjal serta lembah dan jurang yang curam. Gunung terjal menempatkan kita di posisi ketinggian pada satu saat, sedangkan lembah dan jurang mengharuskan kita berada di kerendahan pada saat berikutnya.

Tidak ada sesuatu yang salah dengan hal itu, semua wajar-wajar saja dan memang seharusnya begitu. Demikian juga berbagai kemenangan dan kejatuhan kecil sepanjang perjalanan menuju sukses, adalah suatu hal yang wajar-wajar saja dan memang harus dilalui. Tidak ada jalan pintas. Tiada kebahagian tanpa pengorbanan, jer basuki mowo beo, pepatah Jawa mengatakan.

Sebuah perjalanan hidup adalah sebuah proses belajar tanpa henti. Tidak ada garis finish, kecuali saat kematian. Dan aturan alam menghendaki bahwa proses belajar memang harus sarat dengan jatuh bangun, karena jatuh bangun akan membuat manusia menjadi makin matang dan piawai. Jatuh bangun membentuk pengalaman, sedangkan pengalaman adalah guru terbaik bagi siapa pun.

Seseorang yang belajar mengendarai sepeda akan lebih mahir setelah mengalami jatuh bangun sebanyak 100 kali daripada orang lainnya yang hanya mengalami hal itu sebanyak 50 kali. Seorang anak balita (usia di bawah lima tahun) yang mengalami jatuh bangun lebih banyak ketika belajar berjalan, akan lebih kuat dan lebih waspada daripada anak lainnya yang mengalaminya lebih sedikit.

Demikian juga seorang uahawan yang berkali-kali mengalami kejatuhan sebelum sukses, akan menjadi pengusaha yang tangguh dan tak perlu diragukan lagi kepiawaiannya.

Berdasarkan hal-hal itu, tulisan ini ingin memberi pesan kepada semua saja, baik yang sudah dalam proses jadi pengusaha mau pun yang masih menjadi karyawan, agar dalam usaha mewujudkan cita-cita jangan sekali-kali mengenal kata menyerah.

Nikmatilah kerja, karena kenikmatan sejati terletak pada penjiwaan dan penghayatan kerja, bukan pada hasilnya, baik berupa uang mau pun materi lainnya. Kenikmatan kerja sifatnya abadi, sementara kenikmatan materi bersifat sementara, berjangka pendek dan menyesatkan.


Rusman Hakim
Pengamat Kewirausahaan

E-mail: rusman@gacerindo.com
Web: http://www.gacerindo.com
Blod: http://rusmmanhakim.blogspot.com
Mobile: 0816.144.2782

Saturday, August 19, 2006

Business Owner dan Individual Dependency

Business Owner dan Individual Dependency

Sekarang ini, kebanyakan dari kita telah mengerti bahwa untuk menjadi pengusaha, atau Business Owner, orang tidak perlu melakukan segala kegiatan sendiri. Kita telah mengerti bahwa yang namanya pendelegasian tugas itu “wajib” hukumnya, sepanjang kita ingin menjadi pemilik usaha yang cerdas alias “smart”.

Dalam ungkapan yang lebih tegas, seorang pemilik usaha tidak perlu hadir di tempat usahanya. Baik tempat usaha itu berupa toko, kantor atau tempat lainnya. Bahkan dalam buku-buku tentang kiat bisnis, disebutkan bahwa andaikata sang pengusaha pergi jalan-jalan keliling dunia selama setahun pun, bisnis akan tetap jalan.

Benarkah demikian?

Ya benar! Namun demikian, ada sesuatu di balik ungkapan tersebut yang dapat membuat kita terjebak.

Pendelegasian tugas, tidak dapat dilakukan secara seketika pada saat perusahaan baru berdiri. Pendelegasian tugas juga bukan berarti semua tanggung jawab pemilik usaha dilimpahkan semua secara tuntas..tas!..kepada bawahannya. Masih ada beberapa tugas yang harus dilakukan sendiri oleh owner, terutama dalam hal pengawasan.

Jangan pernah berfikir bahwa karena kita telah melakukan pendelegasian, lantas kita bisa melupakan semua hal tentang perusahaan. Lalu kita hanya beraktivitas untuk bersenang-senang dan berlibur. Atau fokus menyusun strategi untuk mendirikan perusahaan baru. Yang lama, biarin aja, toh sudah ada yang mengurus, ngapain dipikirin..!

Pendelegasian tugas biasanya dilaksanakan secara bertingkat. Yang paling umum di delegasikan adalah tugas-tugas yang bersifat teknis. Kalau saya berusaha dalam bidang penjualan eceran pisang goreng misalnya, maka saya akan melimpahkan tugas-tugas teknis seperti mencari pisang yang bagus, mengolah tepung dan menggoreng sampai menyajikannya, kepada bawahan saya.

Sedangkan tugas-tugas lainnya yang bersifat lebih strategis, seperti menentukan harga jual, mencari lokasi usaha yang baik, mencari resep-resep baru sampai menciptakan terobosan-terobosan bisnis yang lebih mutakhir, saya lakukan sendiri.

Itu pun kalau memang saya sudah sanggup merekrut orang untuk bekerja sebagai bawahan. Kalau, belum ya semua saya kerjakan sendiri dulu.

Pada perusahaan yang sudah agak lebih besar, tapi kepemilikan usahanya masih dipegang oleh satu orang, boleh jadi pekerjaan-pekerjaan teknis sudah seluruhnya dilimpahkan pada para manajer. Pemilik usaha mengawasi kinerja para manajer itu, baik secara langsung mau pun melalui laporan berkala yang diterimanya setiap minggu, bulan dan tahun.

Para pemilik toko, restoran, kafe, atau bengkel sering kali masih “turun tangan” mengawasi jalannya operasional usaha sambil sesekali ikut membantu melayani pelanggan. Tujuannya jelas: melihat secara langsung kinerja para pelaksana, memberi dukungan moral kepada para karyawan, sekaligus mengambil alih tanggung jawab dari tangan karyawannya dalam kasus-kasus kritis yang mungkin terjadi.

Lho, kenapa para pemilik usaha ini masih juga harus turun tangan sendiri? Bukankah sudah ada yang namanya store manager, duty manager, front office manager dan manager-manager lainnya? Apakah pendelegasian tugas tidak dimengerti oleh para business owner itu?

Ya, tidak juga. Hampir semua pemilik usaha bernuansa modern sekarang ini mengerti tentang hal itu. Tapi, di lapangan, “teori” tidak akan secara otomatis bisa diterapkan secara seketika dan utuh. Jangan mengira bahwa kalau ada ungkapan yang mengatakan: “pemilik usaha cukup bermalas-malasan di rumah, sementara semua pekerjaan dikerjakan oleh para karyawan”, lantas penerapannya akan langsung seperti itu. Apalagi, pada perusahaan-perusahaan yang relatif masih muda, yang baru beroperasi selama kurang dari 3 tahun.

Banyak faktor lain yang mempengaruhi sehingga jalannya skenario tidak bisa persis seperti yang diharapkan. Misalnya, faktor kesiapan mental pramuniaga, karyawan yang nakal dan suka korupsi, manajer yang tidak mampu mengatasi pelanggan yang rewel atau marah-marah dan banyak kejadian lainnya.

Individual Dependency

Salah satu hal yang menarik dari kasus-kasus pendelegasian yang harus mendapat pengecualian, adalah apa yang disebut individual dependency atau ketergantungan individu.

Apa itu ketergantungan individu, dan kepada siapa kebergantungannya?

Macam-macam. Ada pelanggan, yang hanya mau berhubungan dengan seorang salesman tertentu dari sebuah perusahaan untuk urusan-urusan produk yang dibelinya dari perusahaan dimaksud.

Dia tidak pernah mau dilayani oleh salesman lain, atau bahkan oleh atasannya, meski salesman tersebut sedang berhalangan. Ia lebih suka menunggu beberapa hari sampai orang yang dikehendakinya itu bisa menemuinya katimbang harus dilayani orang lain.

Di lain kasus, seorang EDP Manager sebuah perusahaan besar, hanya mau dilayani oleh seorang teknisi tertentu untuk urusan pemeliharaan dan perbaikan sistem Teknologi Informasi perusahaannya. Dia sama sekali tidak mau dilayani oleh teknisi lain, sekali pun telah diberi penjelasan bahwa teknisi lain juga mempunyai kualifikasi dan kepiawaian yang sama.

Pelanggan-pelanggan dengan kualifikasi tertentu, hanya mau dilayani oleh pemilik usaha atau Direktur Utama. Mereka tidak mau dilayani oleh pejabat lainnya, apalagi oleh seorang staf pelaksana.

Kasus-kasus seperti di atas, menunjukkan adanya ketergantungan pelanggan kepada figur-figur tertentu, dengan alasan yang kadang-kadang kurang logis. Akan tetapi, kejadian demikian sudah sering terjadi dan kini telah menjadi fenomena lumrah.

Para pimpinan perusahaan yang berpengalaman, pasti telah memakluminya, dan mereka biasanya cukup bijaksana untuk mengakomodir keinginan pelanggan-pelanggan yang unik.

Di lingkungan perusahaan, terutama yang masih dimiliki satu orang, business owner umumnya sangat mewaspadai kemungkinan-kemungkinan seperti itu. Itu sebabnya, banyak dari mereka selalu menyempatkan diri hadir di gerainya, atau kalau ia seorang supplier, meluangkan waktu untuk datang ke kantor pelanggannya tanpa diminta. Semata-mata untuk mengantisipasi timbulnya masalah, yang pihak pelanggan tidak ingin membicarakannya dengan orang lain, selain dengan si pemilik usaha.

Dengan demikian, perlu dimengerti bahwa selalu ada kejadian di mana seakan-akan pendelegasian tugas tidak berjalan secara harfiah, sebagaimana kita baca dalam buku.



Rusman Hakim
Pengamat Kewirausahaan

E-mail: rusman@gacerindo.com
Web: http://www.gacerindo.com
Blog: http://rusmanhakim.blogspot.com
Mobile: 0816.144.2792

Sunday, August 13, 2006

Jadi Pengusaha Kok Nggak Enak Ya?

Seorang teman yang entrepreneur pernah mengeluh: “Wah, jadi pengusaha itu nggak enak. Capek! Capek fisik sih nggak apa-apa, tapi capek mental? Mana tahan…?” Demikian dia mengutarakan uneg-unegnya.

“Lho kok bisa gitu?” saya bertanya heran.

Teman ini cerita serius: “Sekarang ini, saya praktis harus kerja 24 jam sehari, 7 hari seminggu, dan harus selalu siap siaga untuk kepentingan orang lain dan untuk hal apa pun”.

“Bayangkan saja, dalam satu kejadian, saya sedang mengendarai mobil ke luar kota untuk satu urusan keluarga yang penting. Tahu-tahu, hp saya berdering. Ketika saya angkat, ternyata dari klien saya Pak Anu. Beliau minta saya mencarikan stik golf dengan merek dan tipe tertentu, dan ditunggu di lapangan golf di pusat kota saat itu juga. Gila nggak? Tapi, ya terpaksa putar haluan, balik ke Jakarta lagi. Sebagai rekanan, tugas harus saya laksanakan. Kalau nggak, ya… tahu sendiri, bakul nasi saya bisa terbalik..”

Dia melanjutkan bahwa perisiwa semacam itu bukan satu-dua kali terjadi, tapi sering. Bukan kejadian aneh kalau menjelang tengah malam waktu siap-siap pergi tidur, telpon berbunyi. Seorang klien minta ditemani ke karaoke atau ke pub untuk “berdugem”.

Di kantor, selain urusan-urusan kantor, ia juga mesti berbaik hati mengurus hal-hal tetek bengek dari klien-klien besarnya. Mulai dari urusan perbaikan mobil pribadi yang bersangkutan, sampai juga membantu mencarikan informasi tentang sekolah di luar negeri untuk kepentingan anak-anak para pejabat kliennya tersebut.

Pokoknya macam-macamlah, sehingga lama kelamaan, ia akhirnya merasa jenuh juga dengan hal-hal yang begitu.

Ada lagi sebuah cerita dari seorang teman lain, yang “curhat” beberapa waktu sebelumnya. Namanya Jacky. Dia adalah pemegang franchise sebuah merek terkenal dari Inggris, yang menjual produk-produk apparel and lifestyle, seperti pakaian, dasi, sepatu dan lain sebagainya. Semuanya untuk konsumsi kelas menengah ke atas.

Tokonya, yang ada di PIM (Pondok Indah Mall – Jakarta), selalu ramai dikunjungi orang, baik yang benar-benar serius belanja, mau pun yang hanya sekadar melihat-lihat. Saya ikut senang melihat kemajuan usaha si Jacky, karena sejak acara “Grand Launching” – di mana saya juga diundang -- saya cukup antusias memantau perkembangan yang terjadi.

Sampai suatu hari, dia mengutarakan rasa tidak bahagianya dalam menjalankan bisnis tersebut. Ia berkisah bagaimana hatinya sangat jengkel melayani pelanggan-pelanggan rewel. Meski mengerti bahwa produk yang dijualnya adalah barang-barang berkualitas dengan harga tinggi, namun ia berpendapat tidak selayaknya para pelanggan itu menjadi begitu rewel, menuntut ini-itu yang kadang-kadang nyaris tidak masuk akal.

Kalau hanya complain tentang kualitas barang yang sudah dipakai hampir seminggu, lalu minta ditukar dengan yang baru, ia masih sanggup melayaninya. Tapi ada juga, pelanggan-pelanggan yang seakan beli barang bukan untuk dipakai dan dinikmati, melainkan memang hanya untuk memberi masalah pada dirinya.

Orang-orang yang kegemarannya menteror orang lain, mentang-mentang kaya. Begitu jalan pikiran si Jacky.

Ada orang yang mengeluhkan bahwa sepatu yang baru dibeli dari tokonya, setelah dipakai beberapa hari ketahuan ada cacatnya. Orang itu menuntut Jacky bertanggung jawab.

Meski sudah dijelaskan bahwa barang yang sudah dibeli tidak dapat ditukar atau dikembalikan, sang pembeli tidak mau mengerti. Sebaliknya malah mengancam akan memuat kasus ini di koran, kalau Jacky tidak bisa memberi pertanggungjawaban yang memuaskan. Gilanya, ketika Jacky mengalah dan menawarkan penggantian barang dengan yang baru, si pelanggan rewel ini menolak!

Dengan ketusnya orang tersebut mengatakan dia hanya ingin melihat Jacky memberi solusi yang profesional, bukan sekadar menukar barang. Namun ia sendiri tidak mau menjelaskan apa yang dimaksud dengan “solusi profesional” itu. “Kalau Anda merasa profesional, tentu Anda sudah tau dong apa yang Anda harus perbuat pada saya?”

Barangkali, nasib si Jacky teman saya ini memang tidak terlalu beruntung. Karena ternyata, bukan hanya satu orang itu pelanggannya yang super rewel dan “teroris”. Dalam satu bulan ada saja 1 atau 2 pelanggan baru yang datang dengan perilaku yang aneh-aneh dan eksentrik. Semuanya menyusahkan dia.

“Kalau ada 10 orang brengsek lagi datang ke sini, mending gue tutup aja deh toko ini..”, keluh si Jacky putus asa..

Dari dua kasus di atas, saya sempat mengadakan tanya jawab yang agak mendalam dengan kedua sahabat tadi. Pada akhir tanya jawab itu, saya memperoleh kesimpulan bahwa kemungkinan besar telah terjadi “tidak kecocokan” antara karakter dan kepribadian kedua teman tersebut dengan bidang usaha yang dipilihnya.

Kedua bidang bisnis yang diutarakan di atas, adalah bidang-bidang usaha yang bersifat pelayanan. Teman pertama berkecimpung dalam dunia pemasok (supplier), sedangkan yang kedua, si Jacky, menggeluti bidang eceran (retail), di mana mereka sama-sama harus menghadapi berbagai permintaan dan tuntutan yang datang dari pelanggannya.

Yang harus dicamkan benar oleh pelaku usaha bidang pelayanan adalah, bahwa yang dituntut dari mereka adalah kesediaan untuk melakukan sesuatu berdasarkan kebutuhan, keinginan serta selera pelanggannya. Bukan selera mereka sendiri.

Kesadaran ini harus sudah benar-benar ada, sejak pertama kali si pengusaha membuat keputusan untuk memulai usaha dalam bidang tersebut, serta terjun ke dalamnya secara serius.

Dalam kewirausahaan, ada sebuah anjuran untuk mengenali terlebih dahulu jenis kepribadian yang dimiliki seseorang, sebelum yang bersangkutan memutuskan untuk menggeluti sebuah bidang usaha tertentu. Karena apa?

Karena setiap bidang usaha juga mempunyai karakternya sendiri-sendiri, masing-masing bersifat spesifik terhadap yang lain. Oleh sebab itu, perlu sekali mengidentifikasi, apakah karakter seseorang itu cocok atau tidak dengan karakter dari usaha yang dipilihnya.

Jika terjadi tidak kesesuaian, bisa diramalkan bahwa dalam waktu tidak terlalu lama, si pengusaha akan merasa “tidak betah” bahkan akhirnya “tersiksa” oleh bidang usaha yang dipilihnya sendiri. Buntutnya jelas, bisnis akan menjadi tersendat, bahkan bisa menjadi layu sebelum berkembang.

Itu sebabnya, pada kejadian-kejadian semacam ini, para pelaku usaha akan merasakan bahwa menjadi pengusaha itu ternyata “tidak enak”, tidak seindah apa yang mereka lihat pada pengusaha-pengusaha lain yang sukses.

Itu pulalah alasannya, mengapa banyak orang merasa bahwa mereka tidak bakat atau tidak mampu menjadi pengusaha. Padahal, yang terjadi sebenarnya bukanlah tidak mampu jadi pengusaha, melainkan hanya tidak cocok dengan bidang usaha yang dipilih.

Sedikitnya ada 4 tipe kewirausahaan primer yang ada pada diri manusia. Yaitu, tipe “D” atau “Dominan”, tipe “P” atau “Pop”, tipe “S” atau “Servis” (Pelayanan) serta tipe “K” atau “Konvensional”. Nah, masing-masing tipe kepribadian manusia ini sifatnya sangat khas, sehingga bidang usaha yang sesuai untuk mereka juga berbeda satu dengan yang lain.

Dari namanya, mudah untuk dimengerti bahwa tipe kepribadian yang sesuai untuk melakukan bisnis jenis pelayanan, adalah tipe “S”. Namun bagaimanakah caranya agar kita atau seseorang dapat mengenali dirinya sebagai tipe “S” atau bukan?

Saya ingin sekali membahas secara tuntas tentang masalah kesesuaian kepribadian seseorang dengan jenis bidang usaha yang akan dijalankan, karena memang hal ini termasuk satu hal penting dalam kewirausahaan. Sayang sekali, pembahasan dimaksud akan memakan halaman yang terlalu panjang, sehingga kurang layak untuk disajikan dalam milis internet.

Saya berharap, apabila rekan-rekan di milis berminat untuk mengetahui dirinya termasuk tipe kepribadian apa, serta bidang-bidang usaha apa yang sesuai untuk dilakoni, mudah-mudahan ada kesempatan bagi saya untuk mempresentasikannya dalam waktu dekat. Entah dalam suatu acara seminar, pertemuan informal, “kopi darat” atau kesempatan-kesempatan lainnya.

Salam sukses,
Rusman Hakim
Pengamat Kewirausahaan

E-mail: rusman@gacerindo.com
Web: http://www.gacerindo.com
Blog: http://rusmanhakim.blogspot.com
Mobile: 0816.144.2792

Tuesday, August 01, 2006

BERHARAP YANG TERBAIK, BERSIAP YANG TERBURUK

Dua hari yang lalu, saya menerima sebuah pesan singkat (sms) dari seorang teman. Isinya, sebuah kabar duka tentang meninggalnya seorang rekan, yang sudah sekian tahun tidak berjumpa. Namanya Tedjo (bukan nama sebenarnya).

Ketika saya menelpon balik kepada si pengirim sms, dia bercerita bahwa rekan kami yang meninggal itu sungguh bernasib naas.

Semula Tedjo adalah seorang wirausahawan sukses, bahkan karena suksesnya itu ia bisa terpilih sebagai Ketua Umum sebuah asosiasi pengusaha dalam bidang bisnis tertentu.

Belasan tahun, sejak zaman Orde baru, Tedjo berkiprah sebagai pengusaha yang penuh kejayaan, kegemerlapan serta keglamoran. Ia kebanggaan keluarga, terutama bagi isteri dan anak-anak, serta sekaligus menjadi kebanggaan para sahabat dekatnya.

Sampai suatu ketika, beberapa saat sebelum gerakan reformasi meletus, lahan bisnis yang sudah bertahun-tahun digarapnya, diambil alih oleh seorang pejabat pemerintah yang berkuasa. Dan ternyata, peristiwa itu menjadi sebuah momentum dari sebuah perjalanan panjang penuh kepahitan bagi kehidupan Tedjo selanjutnya.

Sebagai seorang pengusaha yang pernah gilang-gemilang sekian lama, di mana ia telah menjadi lambang kejayaan sebuah komunitas besar dari sebuah industri, Tedjo mencoba bertahan. Ia percaya bahwa dirinya masih cukup piawai untuk merebut kembali kepemimpinan bisnis di pasar.

Tedjo mungkin saja benar. Kepiawaian dalam bidang usaha yang telah digeluti selama waktu yang lama, ditambah ketahanan finansial yang cukup besar hasil kucuran keringatnya selama ini, memberi bukti bahwa ia masih mampu terus berkiprah selama lebih dari lima tahun.

Namun demikian, hasil perjuangannya itu cuma sebatas mempertahankan nafas. Kinerja perusahaannya tidak kunjung meningkat, bahkan sedikit demi sedikit statistik memperlihatkan degradasi yang terus menurun. Meski segala kemampuan dan segala jurus bisnis yang dipunyai telah dikerahkan sepenuh-penuhnya, namun tetap saja tidak membuahkan hasil sebagaimana yang diharapkan.

Sejalan dengan berlalunya sang waktu, pamor seorang Tedjo yang dahulu adalah tokoh kebanggaan komunitasnya, kebanggaaan keluarga dan para sahabat, mulai memudar. Dan akhirnya pada tahun ke tujuh, perusahaan milik Tedjo harus gulung tikar dengan meninggalkan sejumlah hutang yang harus dibayar.

Sungguh sial nasib tokoh kita ini. Para sahabat yang tadinya begitu dekat dan akrab, sekarang pergi meninggalkan dirinya satu per satu. Seakan tidak ada lagi yang mau peduli akan nasibnya yang sedang dirundung malang. Bagaikan sekawanan kumbang yang terbang pergi entah ke mana setelah puas menghisap madu.

Puncaknya adalah ketika tanpa pernah disangka, sang isteri yang selama ini kelihatan setia mendampingi di saat sukses, kini ikut-ikutan berubah sikap. Tiada lagi senyum mesra, tidak ada lagi canda tawa dan tiada lagi pandangan penuh kekaguman pada sang suami. Yang ada hanya sikap acuh tak acuh, senyum sinis, kata-kata menusuk hati serta perilaku yang sudah di luar kendali.

Sehebat-hebatnya seorang Tedjo, ia tetaplah seorang manusia yang terdiri dari darah dan daging. Ia bukan terbuat dari baja atau beton bertulang. Usaha yang bangkrut serta beban finansial yang menyertainya, ditambah lagi beban mental yang harus diterima dari perubahan sikap para sahabat dan terutama isterinya sendiri, telah membuat Tedjo terpukul luar dalam.

Ia tidak mampu lagi berfikir jernih. Kecerdasan otaknya yang selama ini sangat brilian mencetuskan ide-ide bisnis, kini membeku. Depresi mental pun menyergap, dan ia menjadi sosok yang sakit-sakitan. Satu tahun ke depan setelah peristiwa penutupan perusahaannya, adalah masa-masa di mana ia harus keluar-masuk rumah sakit.

Pada akhirnya, tanpa dukungan moral dari pihak keluarga serta para sahabatnya, Tedjo pun berpulang ke rakhmatullah beberapa waktu kemudian.

Wafatnya Tedjo, bukanlah peristiwa pertama yang membuat saya harus berfikir tentang seluk beluk kehidupan ini, teristimewa tentang liku-liku kehidupan yang melingkupi para wirausahawan.

Beberapa tahun sebelum kematian Tedjo, seorang teman lain berinisial F, pernah mengirim kabar kepada saya bahwa ia sedang berada di ruangan sebuah rumah sakit, karena esok harinya akan menjalani operasi jantung yang cukup kritis.

F bercerita dengan jujur bahwa hal itu bermula dari sebuah peristiwa yang terjadi kira-kira 2 tahun sebelumnya. Sebuah peristiwa di mana ia harus menelan kenyataan pahit, bahwa proyeknya yang bernilai milyaran rupiah, dibatalkan begitu saja oleh seorang pejabat yang baru diangkat.

Protes sana, protes sini, urus sana urus sini, semua usahanya itu sia-sia belaka. Dan akhirnya, investasi bermilyar rupiah pun amblas!

Shock berat, menyebabkan tekanan jiwa dan gangguan jantung, yang berakhir di meja operasi. Syukurlah teman ini akhirnya selamat dan sembuh, dengan meninggalkan bekas sayatan panjang membelah dada serta lengannya.

Biar bagaimana pun, peristiwa-peristiwa semacam ini adalah sebuah realitas. Sebuah kenyataan yang tidak bisa dipungkiri keberadaannya, dan seharusnya tidak pula kita berpaling darinya.

Wirausahawan, sejalan dengan makna yang terkandung dalam kata “wira”, adalah seorang patriot. Seorang pejuang, yang memperjuangkan harkat dan kehormatan diri, keluarga serta masyarakat.

Yang menjadi pertanyaan adalah, bisakah kejadian-kejadian semacam itu dicegah? Dapatkah jatuhnya korban diminimalisir sampai sesedikit mungkin?

Sebagaimana telah saya paparkan pada tulisan terdahulu, seorang wirausahawan perlu melakukan balance adjustment atas 2 hal penting, yaitu keberanian versus kecerdikan (bravery vs smartness).

Kecerdikan lebih bersandar kepada logika. Dengan dasar-dasar pemikiran yang sederhana, sebenarnya seseorang akan dapat menekan tingkat risiko stres dan depresi, sampai ke tingkat cukup signifikan.

Saya terkesan dengan kiat seorang teman di milis, yang mengajukan sebuah konsep berbasis smartness.

Teorinya sederhana. Yaitu, apabila kita membangun sumber penghasilan lebih dari satu kuadran (misalnya satu di kuadran “B”/bisnis dan satu lagi di kuadran “S”/self employed), maka tentunya posisi keuangan kita akan lebih aman dibanding kalau kita cuma mempunyai sumber di satu kuadran saja.

Ini merupakan sebuah solusi yang sangat cerdik. Banyak yang sudah mempraktikkannya. Sebagai contoh, beberapa teman menjalankan usaha sambil tetap mempertahankan statusnya sebagai pegawai, untuk jangka waktu beberapa lama.

Konsep yang sama seharusnya dapat diterapkan juga dalam kasus-kasus bisnis sebagaimana diceritakan di atas. Andaikata teman saya Tedjo mau menjalankan bisnis di dua atau tiga bidang usaha yang berbeda sekaligus, mungkin cerita akan menjadi lain. Wallahu alam..

Solusi Spiritual

Di samping kecerdikan berdasarkan logika, ada sebuah solusi lain yang lebih bersifat hakiki, yang sebenarnya jauh lebih ampuh untuk digunakan sebagai penangkal stress dan depresi mental. Solusi dimaksud adalah solusi berdasarkan kiat-kiat spiritual.

Menurut saya, sudah seharusnya seorang entrepreneur mempersiapkan diri sebaik-baiknya -- termasuk dalam aspek spiritual – sebelum ia benar-benar terjun ke dalam kancah persaingan bisnis yang ganas.

Di negeri barat, kebanyakan kaum pengusaha adalah penganut-penganut agama Kristen yang baik. Sementara di Taiwan, Korea dan China, kaum pengusahanya rata-rata berbisnis dengan berpedoman kepada Konfusianisme. Dan mereka sangat memahami aspek-aspek spiritual. Spiritualisme yang diterapkan dalam dunia kewirausahaan, disebut “entrepreneurial spiritualism”.

Maka, untuk mengatasi depresi mental yang dialami para usahawan, diperlukan kesadaran tentang entrepreneurial spirituality. Ini adalah salah satu wacana yang merupakan bagian terpenting dari pengetahuan kewirausahaan secara utuh. Dengan kesadaran dimaksud, seorang entrepreneur akan selalu berada dalam kondisi: “berharap untuk yang terbaik, tapi tetap siap untuk yang terburuk”.

Sayang sekali bahwa pembahasan mengenai hal terebut memerlukan penulisan panjang, yang tidak mungkin bisa dimuat hanya dalam satu artikel saja. Namun demikian, apabila rekan-rekan di milis, Pak Moderator serta sidang pembaca sekalian berminat untuk mencermati apa yang disebut dengan entrepreneurial spirituality, saya bersedia untuk menuangkannya dalam satu rangkaian tulisan.

Untuk itu dengan segala kerendahan hati, saya mohon masukannya…!



Rusman Hakim
Pengamat Kewirausahaan

E-mail: rusman@gacerindo.com
Web: http://www.gacerindo.com
Blog: http://rusmanhakim.blogspot.com
Mobile: 0816.144.2792

Tuesday, July 25, 2006

ENTREPRENEURSHIP BLEND

ENTREPRENEURSHIP’S BLEND

Anda suka mendengarkan musik?

Kalau iya, tentu Anda tidak asing dengan peralatan sound system, seperti stereo set, compo, audio amplifier dan lain sebagainya. Nah, kalau Anda perhatikan, selain tombol “Volume” yang biasa kita gunakan untuk memperbesar atau memperkecil suara, di panel peralatan-peralatan tersebut biasanya ada sebuah tombol yang ditandai dengan tulisan “Balance”, bukan?

Gunanya tombol ini adalah untuk mengatur keseimbangan output antara kanal kiri dengan kanal kanan, sehingga suara yang keluar dari kedua speaker akan benar-benar bagus, seimbang dan menyatu secara harmonis.

Pada peralatan-peralatan yang lebih canggih, fungsi itu diperkuat dengan satu set tombol geser yang diberi tanda dengan tulisan “Graphic Equalizer” (GE).

Dengan mengatur posisi masing-masing tombol GE tersebut, seorang penggemar musik yang fanatik akan dimungkinkan untuk menyetel keluaran sound system nya secara lebih akurat, berdasarkan rentang frekuensi yang lebih detail. Mulai dari nada rendah (bass), nada menengah (mid-range) sampai kepada nada tinggi (treble). Dengan demikian, ia bisa menikmati alunan musik yang kualitasnya sempurna serta enak didengar.

Inti dari pembahasan di atas adalah untuk menunjukkan bahwa ternyata, selalu diperlukan keseimbangan yang pas dari berbagai unsur pendukung, bila kita ingin memperoleh sesuatu yang baik, sesuatu yang bagus atau sesuatu yang “powerfull”, dari apa pun yang kita kehendaki di dunia ini.

Demikian juga halnya di dunia kewirausahaan.

Sebelum seorang calon entrepreneur dapat memulai kiprahnya, tentunya terlebih dahulu ia harus mampu mengatasi hambatan mental berupa keberanian memulai. Masalah keberanian inilah yang pada umumnya akan menjadi masalah “pertama dan perdana” bagi seorang calon wirausahawan.

Orang-orang tertentu, akan sangat gagah berani menghadapi fase tersebut. Sehingga dengan enteng langsung berhenti dari pekerjaannya sebagai pegawai orang lain, untuk kemudian mulai menata usaha sendiri.

Di lain fihak, beberapa orang lainnya akan sangat hati-hati, bahkan terlalu hati-hati sebelum memutuskan untuk ganti profesi menjadi pengusaha. Mereka cenderung ragu untuk begitu saja meninggalkan sumber penghasilan yang selama ini menjadi penopang kehidupannya.

Maka, tidak mengherankan kalau kemudian, ada saja kita mendengar kisah-kisah tragis tentang kebangkrutan orang-orang yang “terlalu berani” terjun ke dunia usaha tanpa persiapan memadai.

Sebaliknya, lebih sering lagi kita menjumpai orang-orang yang berminat menjadi wirausahawan, tapi mengambil sikap kelewat hati-hati. Kenyataannya, mereka tidak pernah benar-benar berani merubah diri, dari seorang karyawan, menjadi seorang pengusaha sejati.

Pada kasus yang terakhir ini, orang-orang tersebut melakukan sepak terjangnya masih sebatas tanya-kanan tanya-kiri. Atau paling-paling ikut menjadi anggota beberapa perusahaan MLM, lalu “jualan” di lingkungan teman-teman sekantor.

Solusi Yang Diperlukan

Untuk mengaktualisasikan diri menjadi seorang wirausahawan, diperlukan apa yang saya sebut dengan “Entrepreneurship Blend” atau “Adonan Kewirausahaan”. Adonan ini berupa perpaduan dari berbagai jenis kualitas pribadi, yang berfungsi sebagai unsur-unsur pendukung semangat kewirausahaan seseorang.

Setidaknya, ada 3 (tiga) hal penunjang yang diperlukan bagi seseorang ketika yang bersangkutan pertama kali berniat menerjuni bidang usaha. Hal-hal itu dalam bahasa Inggris disingkat dengan BSC, terdiri dari Bravery, Smartness dan Creativity. Dalam bahasa Indonesia, disebut dengan 3K, yaitu Keberanian, Kecerdikan dan Kreativitas.

Dua hal yang pertama, Bravery dan Smartness, atau Keberanian dan Kecerdikan, cenderung merupakan 2 hal yang bertolak belakang. Ia berperan seperti tombol “balance” pada perangkat sound system. Tombol ini bila diputar ke kiri, mengakibatkan suara di kanal kiri menjadi besar, suara di kanal kanan mengecil. Begitu sebaliknya.

Keberanian dan Kecerdikan seringkali juga mengambil perilaku seperti itu. Mereka yang keberaniannya besar, cenderung tidak smart, sehingga kadang-kadang bertindak ceroboh. Contohnya, orang-orang yang disebut di bagian atas tadi. Mereka dengan enteng terjun ke dunia bisnis tanpa perhitungan, untuk kemudian kolaps.

Sementara itu, mereka yang terlalu smart, pada akhirnya kehilangan bravery sama sekali. Sehingga tidak pernah mewujudkan impiannya menjadi usahawan yang bebas merdeka.

Itu sebabnya, setiap orang yang mau menjelma dari seorang karyawan menjadi seorang usahawan, harus “menyetel” tombol Balance nya sedemikian, sehingga tingkat keberanian dan tingkat kecerdikannya harus betul-betul proporsional. Dia harus pemberani, tapi dalam waktu yang sama ia juga harus cukup hati-hati.

Jika kedua hal tersebut sudah teratasi dengan baik, maka tiba gilirannya untuk memainkan tombol Volume. Guna menjamin berputarnya roda usaha, seorang pemula perlu meningkatkan intensitas kewirausahawannya dengan mengerahkan segenap daya kreativitasnya agar dapat menghasilkan produk-produk spesifik yang berkualitas. Produk yang tidak akan mudah ditiru atau dijiplak oleh orang lain, sehingga tidak mudah pula mendatangkan persaingan tidak sehat yang dilakukan kaum pembajak dan oportunis.

Dengan tiga aspek di atas, Keberanian, Kecerdikan serta Kreativitas (3K), dapat dijamin bahwa seorang wirausahawan akan berhasil menciptakan serta menggerakkan roda usahanya di tahap-tahap awal. Sedangkan untuk kesinambungan ke depan, ia harus pula memperlengkapi diri dengan sebanyak mungkin nilai-nilai positif, seperti attitude, integritas, proaktivitas, inisiatif, keuletan, kepemimpinan dan lain sebagainya.

Sebagaimana tombol-tombol Graphic Equalizer, yang menjadikan perangkat sound system kelas atas semakin canggih, seorang wirausahawan pemula pun akan dapat menjadikan dirinya sebagai ideal entrepreneur yang profesional dan tangguh.

Semoga..


Rusman Hakim
Pengamat Kewirausahaan

E-mail: rusman@gacerindo.com
Web: http://www.gacerindo.com
Blog: http://rusmanhakim.blogspot.com
Mobile: 0816.144.2792

Saturday, July 15, 2006

SEBERAPA WIRAUSAHA KAH ANDA?

Banyak orang terjun ke dunia usaha, lalu menyebut dirinya sebagai wirausahawan. Ini menunjukkan bahwa istilah “wirausahawan” itu sudah begitu populer di kalangan masyarakat, sehingga kata-kata ini seakan-akan sudah difahami sebagai pengganti kata “businessman”. Apakah dengan demikian, kata “wirausahawan’ itu benar-benar sama artinya dengan kata “businesman”? Dan kata “wirausaha” sama dengan “business”? Mari kita lihat.

Seperti diketahui, ledakan perkembangan bisnis terjadi bersamaan dengan terjadinya Revolusi Industri di Inggris. Lahirnya mesin-mesin industri, membuat dunia perdagangan menjadi marak, karena semua kebutuhan konsumen dengan mudah dapat dipenuhi, tidak peduli berapa banyak jumlah produk yang diminta.

Mesin mempermudah segalanya. Mekanisasi industri yang memungkinkan dilakukannya produk masal dengan mutu tinggi, merangsang para pedagang untuk berlomba-lomba menciptakan produk-produk baru yang menarik untuk ditawarkan pada calon pembeli.

Fenomena ini akhirnya berkembang menciptakan iklim persaingan antar produsen dan penjual barang. Makin hari persaingan makin tajam, dan menyebabkan para pebisnis merasa semakin sulit menjual produknya di pasar. Dan di sinilah dimulainya degradasi moral. Beberapa businessman yang merasa terjepit, mulai melakukan kecurangan-kecurangan. Penipuan, manipulasi mutu dan harga serta banyak lagi tindakan-tindakan tidak terpuji.

Gejala seperti itu berkembang terus, makin lama keculasan para pedagang makin tidak terkendali. Etika seakan sudah tidak diindahkan lagi, setiap orang berebut rejeki untuk kepentingan diri sendiri. Semua cara dihalalkan, kalau perlu dengan menyikut orang lain. Atau menjual barang terlarang sekali pun.

Itu sebabnya pada akhirnya orang mengenal apa yang disebut dengan “mafia”. Sejenis kelompok bisnis yang tidak segan-segan melukai bahkan membunuh siapa saja (pejabat pemerintah sekali pun) demi kepentingan bisnis.

Melihat dunia usaha yang sudah demikian ambur-adul, masyarakat banyak akhirnya mengasosiasikan bisnis sebagai kegiatan kotor, lambang keserakahan yang menjijikkan. Timbul semacam perasaan skeptis di kalangan awam.

Sadar akan hal itu, beberapa kalangan pengusaha yang masih memegang nilai-nilai bisnis yang bersih, mulai menerapkan dan mengembangkan prinsip perdagangan baru. Mereka tetap berpendapat bahwa bisnis itu sebenarnya mengandung nilai-nilai yang luhur. Dengan bisnis, martabat manusia menjadi ditinggikan dan termuliakan. Oleh karenanya, sifat serta tindakan buruk harus dilenyapkan dari dunia usaha.

Maka, wacana entrepreneurship pun muncul. Inilah yang kemudian di Indonesia dikenal dengan istilah “wiraswasta” dan bermetamorfosis menjadi “wirausaha”.

Dengan demikian, menjadi jelas bahwa perbedaan pertama yang membedakan makna “bisnis” dengan “wirausaha” adalah bahwa “bisnis” memilik arti yang lebih umum, dengan kriteria-kriteria yang lebih longgar.

Sedangkan “wirausaha” mengandung arti tentang serangkaian kegiatan komersial, dengan dilandasi pada attitude yang baik dari pelakunya. Wirausahawan berkiprah melalui koridor yang lebih sempit, di mana mereka harus memperhatikan berbagai kriteria, rambu dan etika yang akan menjamin kelangsungan kehidupan berbisnis agar selalu menghasilkan manfaat maksimal bagi umat manusia (bukan hanya dirinya sendiri saja).

Walau pun dalam kenyataannya, “businessmen” mau pun “entrepreneurs” terlibat dalam aktivitas yang sama, dalam ruang dan waktu yang sama pula, namun ada beberapa tolok ukur yang dapat digunakan untuk membedakan kedua jenis pelaku ekonomi ini. Di antaranya adalah:

1. Business bersifat “focus on profit”, sedangkan wirausaha bersifat “focus on benefit”. Seorang pebisnis umumnya memusatkan perhatian pada sebanyak-banyaknya keuntungan komersial yang dapat diperoleh, tanpa memperhatikan dan kalau perlu mengorbankan kepentingan orang lain. Misalnya, perusahaan pertambangan yang sangat kaya raya, tapi tidak memperhatikan kerusakan lingkungan dan membiarkan masyarakat sekitarnya tetap miskin. Kalau sang pengusaha adalah seorang wirausahawan tulen, hal itu tak akan terjadi. Karena ia pasti akan memelihara serta melestarikan lingkungan dan menyejahterakan masyarakat sekitar. Ia sadar bahwa tindakan itu bukan sekadar tindakan bersifat sosial semata, tapi juga mengandung benefit yang mendukung kemajuan perusahaannya.

2. Bisnis lebih bersifat “win-lose”, sedangkan wirausaha lebih bersifat “win-win “. Kebanyakan pebisnis menghendaki kekalahan pesaingnya, dengan demikian ia mengira usahanya akan lebih leluasa mengejar keuntungan, tanpa harus memperhatikan kualitas dari produk dan jasa yang dijual. Wirausaha sebaliknya, lebih merasakan manfaat dari kehadiran para pesaing, dengan demikian setiap saat ia dapat mengukur kualitas produk serta peningkatan kinerja perusahaannya.

3. Bisnis menggunakan pendekatan “kuantitatif”, sedangkan wirausaha menggunakan pendekatan “kualitatif”. Secara tradisional, kaum pebisnis selalu memulai usahanya dengan kapital besar, setidaknya dalam jumlah yang seaman-amannya sesuai dengan ukuran besar-kecilnya suatu bidang bisnis. Dalam hal ini, pengusaha lebih mengandal pada kekuatan finansial yang ada di bawah kendalinya. Wirausahawan di lain fihak, memulai usaha dengan modal kecil, kadang tidak sesuai dengan jumlah normal yang diperlukan bagi sebuah bidang usaha. Tetapi, banyak dari mereka berhasil sukses. Dalam hal ini, wirausahawan lebih mengandal pada keuletan pribadinya, bukan kepada kekuatan uang.

4. Bisnis berpedoman kepada “hasil’, sedangkan wirausaha berpedoman kepada “cara’ Pebisnis kebanyakan berkiblat hanya kepada hasil yang harus dicapai, tanpa peduli cara apa yang digunakan. Misalnya, kalau hendak melakukan pembebasan tanah, kalau perlu mereka akan menggunakan cara-cara kekerasan. Sebaliknya, wirausahawan lebih menggunakan pendekatan saling menguntungkan. Tidak jarang dalam suatu program pembebasan tanah yang dilaksanakan seorang wirausahawan, warga yang tergusur justru berubah menjadi orang-orang kaya baru (OKB), bahkan tidak sedikit yang kemudian pergi naik haji dengan istilah mereka sendiri “Haji Gusuran”. Ciputra adalah salah seorang yang menunjukkan kualitasnya sebagai wirausahawan seperti itu.
5. Pebisnis menganalogikan aktivitasnya sebagai “perang”, dan cenderung “membunuh orang lain”. Sedangkan wirausahawan lebih berkeinginan untuk “menghidupi orang lain”. Pada beberapa peristiwa, high-class businessmen selalu mengincar perusahaan-perusahaan lain yang lebih kecil untuk diakuisisi. Senang atau tidak senang. Di masa lalu, taipan yang menguasai bisnis terigu dari hulu sampai ke hilir, selalu memaksa perusahaan-perusahaan mie milik orang lain untuk diambil alih. Kalau tidak bersedia, pasokan terigunya akan dihentikan, maka mau tidak mau pengusaha-pengusaha mie itu menyerah juga. Itulah kecenderungan dari sepak terjang seorang pebisnis. Wirausahawan sebaliknya, mencari momentum untuk dapat bersinergi dengan kompetitor. Contohnya, Hewlett Packard (HP) memberikan fasilitas dan bantuan kepada pesaingnya “Textronix” untuk memproduksi barang yang sama serta dengan teknologi yang sama pula dengan yang diproduksi oleh HP. Begitu juga dengan yang dilakukan Astra. Perusahaan raksasa nasional ini, tidak berupaya untuk mencaplok orang lain. Sebaliknya, mereka melakukan pendekatan kemitraan, dengan jalan memberikan pembinaan modal dan manjemen kepada perusahaan-perusahaan yang lebih kecil.

6. Bisnis memasukkan sudut pandang “spekulatif”, sedangkan wirausaha memasukkan sudut pandang “partisipatif” . Di dunia perdagangan saham, rekasadana dan juga valas, para pebisnis berlomba-lomba mengerahkan segenap kemampuan untuk dapat meraup sebanyak-banyaknya keuntungan finansial. Mereka memainkan uang tidak ubahnya bagai penjudi-penjudi yang sedang bertaruh. Seorang wirausahawan, berpartisipasi di dunia saham, reksadana dan valas dengan paradigma sebatas antisipasi terhadap kemungkinan terjadinya perubahan ekonomi mendadak. Di samping itu juga atas dasar simpatinya kepada perusahaan-perusahaan yang berkarakter wirausaha, atau kepada pemerintah.

7. Businessmen menerapkan teori x atau y, sedangkan wirausahawan menerapkan teori z. Dalam menangani masalah karyawan, pebisnis biasanya menerapkan teori x atau y (McGregor) yang pada galibnya memperlakukan karyawan hanya sebagai unsur produksi. Para wirausahawan di lain fihak, condong melakukan pendekatan kemitraan ala teori z (William Ouchi), sehingga para karyawan merasa berbahagia karena diperlakukan sebagai manusia yang sederajat.

8. Seorang wirausahawan adalah seorang (clean) businessman, tapi seorang businessman belum tentu seorang wirausahawan.

Butir-butir penjelasan di atas diharapkan dapat membantu Anda untuk memperoleh gambaran yang lebih jelas tentang apa yang dimaksud dengan kewirausahaan. Pada acara-acara pemilihan The Best Entrepreneur, Entrepreneur Of The Year dan semacamnya, maka kriteria-kriteria di atas seyogyanya dapat diterapkan, agar tidak terjadi pemilihan yang tidak proporsional.

Pertanyaan berikut mungkin perlu diajukan: “Sudah seberapa wirausaha kah Anda?”



Rusman Hakim
Pengamat Kewirausahaan
E-mail: rusman@gacerindo.com
Web: http://www.gacerindo.com
Blog: http://rusmanhakim.blogspot.com
Mobile: 0816.144.2792

Tuesday, July 04, 2006

SANG BEGAWAN KI AGENG WIRASWASTA (I)

SANG BEGAWAN KI AGENG WIRASWASTA (I)

Alkisah, pada suatu hari terjadilah pertemuan antara Sang Begawan Ki Ageng Wiraswasta dengan Sang Satria Wirausaha. Pertemuan tesebut dilakukan di suatu tempat yang sunyi dan dirahasiakan, karena Sang Satria menginginkan pembicarakan itu betul-betul dapat memberikan kejelasan tentang suatu hal yang selama ini mengganjal di benaknya.

SANG SATRIA : Wahai Sang Begawan yang bijaksana. Ku mohon berilah penjelasan pada ku, makna apa sesungguhnya yang terkandung dalam dunia kewirausahaan? Apakah “wirausaha” itu sebuah profesi, ataukah ia sejenis ilmu pengetahuan? Atau hanya sebuah wacana tentang semangat kehidupan?
SANG BEGAWAN: Sang Satria yang gagah perkasa. Memang sebenarnyalah kewirausahaan itu dapat dilihat dari beberapa sudut pandang. Di satu sisi kewirausahaan dapat dipandang sebagai sebuah profesi, di lain sisi ia juga bisa dipandang sebagai sebuah wacana tentang semangat kehidupan. Orang-orang terpelajar memasukkannya sebagai suatu bidang keilmuan, dan bahkan sebagian orang tertentu menganggapnya sebagai seni.
SANG SATRIA: Dapatkah engkau menjelaskannya satu per satu pada ku wahai, Sang Begawan? Dari masing-masing sudut pandang itu, yang manakah yang dapat dianggap paling bernilai?
SANG BEGAWAN: Pada tingkatan awam, kebanyakan orang menganggap bahwa wirausaha itu semata-mata sebuah profesi. Oleh sebab itu, kata “wirausahawan” menjadi sebuah istilah yang membedakan orang yang menuntut penghidupan melalui usaha mandiri, terhadap mereka yang bekerja dan digaji oleh orang lain. Kalau kita bicara dari sudut nilai (value), maka sudut pandang ini adalah yang terendah nilainya. Kenapa? Karena di sini kewirausahaan hanya dipandang sebagai sebuah sarana untuk mempertahankan hidup (survival) dan mencari nafkah semata. Sudah tentu sifatnya sangat egoistik, mementingkan diri sendiri. Maklum, di taraf awal memang orang harus memikirkan kelangsungan hidupnya sendiri lebih dahulu, bukan? Namun, pada kebanyakan kasus, mereka yang sudah mapan secara ekonomi, tetap saja berpandangan egoistik karena berpegang pada pengertian bahwa wirausaha itu adalah sebuah profesi. Akhirnya, mereka tetap dalam alur pikiran untuk mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya, yaitu kalau kebutuhan hidup mereka pribadi sudah terpenuhi, maka pada gilirannya mereka harus pula memenuhi kebutuhan sanak keluarganya, saudara-saudara serta keturunannya mulai dari anak, cucu, cicit begitu seterusnya sampai kalau mungkin, 7 turunan. Tentu engkau tahu tentang hal ini dan banyak contohnya.
SANG SATRIA: Benar sang Begawan. Banyak sekali contohnya. Mereka mengira dengan mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya, bersenang-senang dan berhura-hura seanak-cucu, mereka telah menunjukkan kepada umum sebuah prestasi besar, yang menurut mereka sudah sepantasnya mendapat apresiasi dari masyarakat. Mereka ingin orang banyak tahu bahwa mereka telah berhasil mencapai suatu keadaan yang seaman-amannya dari bahaya kelaparan, kemiskinan dan kebangkrutan, sebagaimana yang masih harus dihadapi oleh orang banyak itu sendiri. Lalu bagaimana pula dengan sudut pandang yang menganggap wirausaha sebagai ilmu?
SANG BEGAWAN: Mereka yang menganggap wirausaha sebagai ilmu, sesungguhnya tidak berwirausaha. Mereka hanya menganalisa. Kebanyakan ilmu pengetahuan yang ada di dunia ini, dimulai dari sebuah analisis tentang suatu fenomena. Sesuatu tejadi lebih dahulu, baru dipelajari lalu timbullah suatu ilmu pengetahuan baru. Semakin lama, semakin banyak ilmu baru ditemukan. Ilmu ekonomi ditemukan setelah orang mengenal ilmu matematika lebih dulu. Ilmu pengetahuan tentang bisnis lebih baru lagi. Demikian juga dengan kewirausahaan. Kalau kewirausahaan dibakukan menjadi sebuah ilmu, itu sah-sah saja. Sayangnya, seperti juga ilmu-ilmu non eksakta lainnya, kewirausahaan bersifat dinamis. Ia selalu berubah, teori tempo dulu dibantah oleh teori hari ini. Teori hari ini dibantah lagi oleh teori esok hari demikian seterusnya. Mempelajari ilmu kewirausahaan, sama saja dengan mengejar bayangan. Itu juga yang terjadi dengan ilmu manajemen. Pernahkah engkau mendengar tentang pakar manajemen yang akhirnya kebingungan dengan karakter ilmu manajemen itu sendiri? Seorang usahawan yang mempelajari kewirausahaan sebagaimana mempelajari rumus-rumus matematika, akan menemui kekonyolan yang sia-sia ketika menerapkannya di dunia bisnis yang nyata. Bagi seorang wirausahawan, mempelajari teori-teori itu bagus. Tapi, ia tidak akan terikat oleh sebuah teori pun, sepak terjangnya murni dan bebas. Teori bisa saja ia pakai di satu saat, di lain waktu teori itu dia modifikasi, dan pada kesempatan lain teori yang sama ia buang ke tempat sampah untuk kemudian melakukan sepak terjang yang kontra-teori. Bagi seorang wirausahawan sukses, apa yang telah diperbuatnya di masa lalu, bisa saja dijadikan teori oleh orang lain. Padahal di saat sekarang, ia telah melakukan sesuatu yang bertentangan dengan apa yang telah dijadikan teori oleh orang lain. Dapatkah engkau menangkap apa yang kusampaikan ini, wahai Sang Satria?
SANG SATRIA: Aku mengerti, Sang Begawan. Dan apa pula maknanya jika ada usahawan-usahawan tertentu menganggap kewirausahaan itu sebagai seni?
SANG BEGAWAN: Seni itu berintikan keindahan. Jarang sekali orang yang dapat merasakan keindahan di kala ia sedang sengsara. Oleh sebab itu, kebanyakan orang yang merasakan kewirausahaan itu sebagai sebuah seni, adalah mereka yang telah sukses secara ekonomi. Mereka merasakan keindahan saat mereka berhasil menyelesaikan suatu pekerjaan besar. Lebih indah lagi sewaktu mereka menghitung uang yang berkelimpahan setelah pekerjaan itu dibayar. Beberapa pengusaha merasakan keindahan saat mereka berhasil membangun perusahaan-perusahan baru, baik murni milik sendiri mau pun mencaplok perusahaan-perusahaan milik orang lain. Namun, jangan salah! Tidak semua begitu. Sebagian pengusaha ada juga yang merasakan keindahan saat mereka ada dalam saat-saat kritis. Mereka bergairah di kala perusahaannya ada dalam kesulitan, dikejar target, dijepit dead-line dan lain-lain masalah. Mereka berjiwa petualang yang tidak suka berdiam lama-lama dalam kondisi adem-ayem-tentrem. Mereka menyukai tantangan, makin keras tantangannya makin gairahlah mereka.
SANG SATRIA: Jadi apakah sang Begawan hendak mengatakan bahwa pengusaha-pengusaha jenis itulah yang memiliki nilai kewirausahaan terbaik?
SANG BEGAWAN: Tidak juga. Mereka menikmati seni dan keindahan itu adalah untuk diri mereka sendiri. Apa yang mereka rasakan hanya mereka sendiri yang dapat menikmatinya. Orang lain tidak. Nah, sepanjang sepak terjang berikut kesenangan dan kenikmatan yang diperoleh seorang pengusaha itu masih ditujukan untuk kesenangan diri sendiri, maka ia tidak bisa dikategorikan sebagai pengusaha yang memiliki nilai kewirausahaan (entrepreneurship value) yang baik.
SANG SATRIA: Kalau demikian, tolong jelaskan sudut pandang seperti apa yang bisa kita kategorikan sebagai sikap kewirausahaan yang ideal, ya Sang Begawan?
SANG BEGAWAN: Baik Sang Satria. Menurutku, satu-satunya sudut pandang yang perlu dimiliki oleh setiap orang yang berkecimpung di dunia wirausaha, adalah sudut pandang kepemimpinan. Sudut pandang yang melihat dunia kewirausahaan sebagai wahana kepemimpinan. Bukan semata-mata wahana perebutan uang, harta benda serta simbol-simbol kekayaan yang materialistis. Orang seperti ini akan memulai usahanya dengan cakupan visi yang luas, bukan saja meliputi diri dan keluarga, tapi juga masyarakat sekitar. Beberapa tokoh bisnis bahkan memulai kiprahnya dengan visi kebangsaan, yang terpicu setelah melihat kemiskinan dan kesengsaraan rakyat di masing-masing negerinya. Faktor keunggulan dari wirausahawan seperti ini adalah jelas mereka jauh dari sifat-sifat egoistik. Mereka bahkan mendahulukan kepentingan orang lain katimbang kepentingan diri sendiri. Oleh karenanya, merekalah yang pantas menyandang nilai-nilai kewirausahaan tertinggi. Di dalam visi mereka otomatis sudah termasuk faktor spirit, di mana untuk menjadi wirausahawan yang mengayomi banyak orang, tentu diperlukan semangat kewirausahaan yang tinggi. Termasuk pula unsur sikap mental atau attitude, integritas serta proaktivitas. Seni dan keindahan bagi mereka adalah ketika melihat para karyawan, pemasok, pelanggan serta masyarakat sekitar tersenyum bahagia saat menikmati karyanya. Sampai di sini, adakah engkau dapat memahami penjelasanku, wahai Satria?
SANG SATRIA: Benar, Sang Begawan. Aku mengerti. Penjelasanmu meski panjang lebar, tapi cukup memberi pengertian pada ku. Aku ingin mencerna itu semua selama beberapa waktu, oleh sebab itu mungkin lebih baik pembicaraan ini kita hentikan dulu sampai di sini, sampai lain waktu kita bertemu pula dalam diskusi lebih lanjut. Ku mohon engkau tidak keberatan kalau lain kali kita dapat berjumpa lagi dalam pembahasan tentang kewirausahaan.
SANG BEGAWAN: Dengan senang hati, Sang Satria. Kita dapat bertemu lagi di sini di lain waktu.
SANG SATRIA: Terima kasih, Sang Begawan. Semoga Tuhan memberkati umat manusia.

Sang Satria Wirausaha dan Sang Begawan Ki Ageng Wiraswasta berpisah dan masing-masing pulang ke tempat kediamannya. Sang Begawan melanjutkan meditasi, sedangkan Sang Satria berusaha untuk mencamkan hasil pembicaraan itu jauh ke dalam lubuk sanubarinya..


Rusman Hakim
Pengamat Kewirausahaan

E-mail: rusman@gacerindo.com
Website: http://www.gacerindo.com
Blog: http://rusmanhakim.blogspot.com
Mobile: 0816.144.2792