Saturday, November 22, 2008

HARI-HARI OMONG KOSONG



HARI-HARI OMONG KOSONG..

Dalam acara ramah tamah pada peresmian sebuah lembaga keuangan mikro baru-baru ini di Depok, seorang mantan bankir tampaknya tertarik dengan status saya yang disebut pengamat kewirausahaan. Beliau mendekat sambil berkata: “Pak, kami dari perbankan dan juga lembaga-lembaga keuangan mikro merasa sangat berkepentingan dengan wirausaha. Oleh sebab itu, kami sekarang ini sedang mengedepankan program-program yang membantu perkembangan Usaha Kecil dan Mikro (UKM) di Indonesia..”.

“Wah bagus sekali, Pak. Apa saja kriteria dalam menentukan UKM mana yang akan dibantu, dan mana yang tidak?” tanya saya.

Sang mantan bankir tertawa seraya mengatakan: “Mudah saja. Kita tinggal lihat gerai usahanya, ramai tidak? Lalu lihat pembukuan keuangannya, transaksi dan arus kasnya bagus tidak? Kalau gerainya ramai, dan laporan keuangannya bagus, berarti usahanya lancar dan berpotensi untuk sukses. Nah, yang begitulah yang akan kita bantu..”

“Lalu, kalau pengusaha kecil yang gerainya belum ramai, arus keuangannya masih tersendat-sendat, bagaimana?” tanya saya lagi.

“Yah, kalau yang begitu, ya belum bisa dibantu Pak. Kita tidak berani ambil risiko. Lebih baik kita tunggu sampai usahanya lancar..”

Mendengar jawaban ini, saya jadi tersenyum. “Di situlah letaknya perbedaan pandangan antara perbankan dan kewirausahaan, Pak. Dalam kacamata wirausaha, pengusaha yang sudah lancar bisnisnya, seharusnya tidak boleh dibantu..”

“Loh, sebab apa? “ tukas “pak bankir”.

“Sebab, tanpa dibantu pun dia sudah mampu mengatasi berbagai permasalahan yang dihadapi dan dia bisa maju. Oleh karenya, bantuan yang diterima dari bank justru akan melemahkan daya juangnya sebagai wirausahawan tangguh”.

Tanpa bermaksud menggurui, saya lantas mengambil contoh kasus pangusaha-pengusaha bank kelas kakap penerima BLBI. Mereka itu sebenarnya tidak perlu dibantu, tapi pemerintah telah memanjakan mereka dengan berbagai fasilitas yang tidak seharusnya diberikan. Dan sekarang, kita lihat sendiri bagaimana dahsyat akibatnya yang hampir-hampir membangkrutkan negeri ini.

Pak bankir tampak sedikit terperangah, tapi melanjutkan argumentasinya: “Kalau bank atau lembaga keuangan harus membiayai pengusaha yang masih terseok, risikonya terlalu besar Pak. Sebab, apabila pengusaha itu tidak mampu membayar pinjamannya, bukankah semua pihak dirugikan? Dana hilang, sementara masih banyak pengusaha-pengusaha lain yang menunggu bantuan..”

“Bapak betul. Bank dan lembaga keuangan memang bukan bagian dari Departemen Sosial yang bertugas bagi-bagi uang tanpa berharap kembali. Bank hidup dari bunga pinjaman, atau kalau bank syariah mungkin dari bagi hasil. Itu semua adalah bisnis. Jadi kalau boleh, perkenankan saya untuk usul, bagaimana kalau istilah “bantuan” itu dihilangkan saja. Dilihat dari kedua belah pihak, rasanya tidak klop.”

“Dari sisi perbankan, business is business. Tidak ada yang gratis. Pinjam uang, harus bayar bunganya. Atau sisihkan bagi hasilnya. Jadi, sesungguhnya itu bukan bantuan..”, lanjut saya.

“Dari sisi kewirausahaan, pengusaha adalah leader. Tidak ada kata mengemis, dan tidak ada kata mohon belas kasihan bagi seorang leader. Pinjaman adalah bisnis, dan itu harus dibayar. Semua pelaku bisnis haruslah setara-sederajat. Tidak ada istilah “tangan di bawah” bagi pengusaha terhadap siapa pun, termasuk pada bank atau lembaga keuangan.”

Pembicaraan kami terputus di situ, karena acara pengguntingan pita dimulai.

Seselesainya acara peresmian kantor tersebut, dalam perjalanan pulang saya berfikir sendiri. Ya, kalau antara perbankan dan dunia wirausaha terdapat gap masalah pembiayaan, lantas apa jalan keluarnya?

Tiba-tiba saya teringat akan tulisan David Ch’ng tentang sukses kaum minoritas perantauan di Asia Tenggara, yang mengutarakan bahwa salah satu kunci sukses mengatasi masalah pembiayaan usaha adalah dengan jalan membentuk komunitas. Tepatnya, komunitas usaha.

Ya, dan itu pula yang telah dilakukan secara tradisional oleh saudara-saudara kita dari berbagai etnik di Indonesia dalam berbisnis, mulai dari komunitas orang Minang dengan Rumah Makan Padangnya, orang Tegal dengan Wartegnya, orang Bugis, orang Gorontalo, orang Banjar, orang Madura, orang Bali, orang Maluku, serta nyaris hampir semua suku di Indonesia dengan masing-masing komunitasnya. Dan mereka juga sukses!

Nah, temans.. Kita yang hidup di jaman modern ini, tentu lebih sadar dengan manfaat berkomunitas. Dengan cara itu kita berorganisasi, dengan cara yang sama pula kita berkelompok dalam milis-milis. Dengan kesadaran tentang potensi bisnis dalam sebuah komunitas, mengapa pula kita tidak mulai berfikir bagaimana mengeksplorasi sumber daya tersembunyi dari sebuah grup di internet, demi kesuksesan hidup di masa depan? Bukankah kita tidak mau sekadar “harmoko”, hari-hari omong kosong?

Rusman Hakim
Pengamat Kewirausahaan
Profec’s Entrepreneurial Leadership Center
E-mail: rusman@gacerindo.com
Portal: http://www.gacerindo.com
Blog: http://rusmanhakim.blogspot.com
Web: http://www.rusmanhakim.com, http://www.pempekpatrol.com
Mobile: 0816.144.2792

Saturday, June 07, 2008

“HOT..HOT..OH.. SO HOT..!


“HOT..HOT..OH.. SO HOT..!

Salah satu tayangan iklan yang cukup heboh di televisi beberapa waktu lalu, adalah iklan produk mie instan yang diberi nama “selera pedas”. Tayangannya memang menarik, di mana diperlihatkan perempuan-perempuan muda berkostum ketat warna merah menyala, meliuk-liuk menarikan tarian dinamis sambil diiringi musik keras dengan lagu yang berlirik: “Hot..hot..oh.. so hot..!” dan seterusnya.

Buat saya, kata “HOT” mempunyai makna tersendiri. Sebagai kata dasar yang berarti “panas” atau “pedas”, maka akan tergambar dengan kuat dalam benak saya sesuatu yang mengandung passion, semangat, gairah serta daya juang yang menggebu-gebu.

Begitulah seharusnya kita hidup di dunia ini. Tidak peduli siapa kita, apakah kita seorang karyawan profesional ataukah seorang entrepreneur, maka sudah selayaknya kita melakoni kehidupan dengan “HOT”, penuh passion, penuh semangat, bergairah serta didukung oleh daya juang yang menggebu-gebu.

Bagaimana penjabaran dan implementasinya? Haruskah setiap hari kita menyisihkan waktu untuk menari-menari secara HOT seperti perempuan di tayangan iklan selera pedas?

Bukan! Bukan begitu. Menurut saya kata “HOT” dapat dijabarkan sebagai kependekan dari 3 buah kata, yaitu: “Hati – Otak – Tangan”. Tentu masing-masingnya memiliki makna sendiri-sendiri, yang apabila dipersatukan akan merupakan sebuah paket ampuh yang dapat membawa kita ke jenjang penghidupan sukses.

HATI, menunjukkan integritas, ketulusan dan kejujuran, good attitude, keinginan melayani dan kemauan memberikan nilai tambah. Anda bisa percaya bahwa dengan satu unsur ini saja, bila semua orang memiliki hati yang baik dan bersih, maka dunia dijamin akan menjadi suatu tempat ternikmat di seantero jagat raya. Tidak ada kecurangan, tidak ada kejahatan. tidak ada korupsi dan kehidupan menjadi damai dan tenteram.

OTAK, memberi kontribusi soal kecerdasan. Ada 3 jenis kecerdasan yang bisa dianggap terkait dengan kinerja otak. Seperti kita tahu, ketiganya terdiri dari: Kecerdasan Intelektual (Intellectual Intelligence=II), Kecerdasan Emosi (Emotional Intelligence=EI) serta Kecerdasan Spiritual (Spiritual Intelligence=SI).

Dengan ketiga jenis intelijensia inilah, kita sebagai manusia akan mampu mewujudkan tidak saja “kerja keras”, tetapi lebih dari itu kita juga mampu melakukan “kerja cerdas”. Dan oleh karenanya cita-cita umat manusia untuk senantiasa menciptakan peningkatan kesejahteraan yang menyeluruh dan berkesinambungan, kita yakini dapat tercapai.

TANGAN, merupakan manifestasi dari “kerja”, “komitmen” dan “action”. Tiada perubahan yang benar-benar dapat dijelmakan, apabila tidak ada implementasinya di dunia nyata. Rancangan, rencana, imajinasi atau mimpi akan tetap dalam keadaannya yang “intangible” (maya, semu, tidak nyata) selama tidak ada perbuatan nyata yang membuatnya menjadi “tangible” (berwujud).

HOT adalah esensi kehidupan manusia. Lebih jelasnya, HOT merupakan modal paling hakiki yang dimiliki manusia, yang dengan itu seharusnya kita semua tidak gentar menghadapi segala tantangan kehidupan.

HOT tidak menyiratkan kata-kata yang terkait dengan uang. Kalau Anda seorang calon entrepreneur, itu artinya Anda tidak perlu memusingkan soal ketersediaan uang untuk modal memulai usaha. HOT adalah modal yang sesungguhnya, karena dengan HOT Anda bisa mendapatkan uang.

Kalau Anda seorang profesional, hal ini akan lebih jelas lagi. Seorang profesional sejati tidak pernah memerlukan uang untuk mendapatkan pekerjaan. HOT yang Anda milikilah yang memungkinkan Anda dipercaya menduduki sebuah jabatan. Kecuali, kalau Anda memang seorang profesional tidak qualified, yang biasa melakukan sogok-menyogok untuk memperoleh posisi.

Pada galibnya, kehidupan seorang profesional mau pun seorang entrepreneur tidaklah jauh berbeda. Keduanya seharusnya tidak memerlukan uang untuk modal bekerja atau berusaha.

Nah, dengan penjabaran ini, semoga Anda menjadi yakin bahwa banyak jalan menuju Roma. Apa pun jalan yang Anda ambil, profesional kah atau entrepreneur kah, semuanya sama saja. Anda hanya perlu HOT saat memulai, dan UANG akan datang kemudian.

Selamat bekerja..

Rusman Hakim
Pengamat Kewirausahaan
Profec’s Entrepreneurial Leadership Center
E-mail: rusman@gacerindo.com
Portal: http://www.gacerindo.com
Blog: http://rusmanhakim.blogspot.com
Mobile: 0816.144

Tuesday, May 27, 2008

DUCK IN THE LAND, DUCK IN THE WATER


DUCK IN THE LAND, DUCK IN THE WATER

Terkadang kita merenung, faktor apakah sebenarnya yang menentukan kesuksesan seseorang dalam hidup ini?

Kita pasti sudah sering mendengar, bahkan diindoktrinasi secara keras oleh orang tua, guru, para senior dan lain-lain, bahwa kesuksesan hidup harus dicapai dengan kerja keras serta pengorbanan.

Bersakit-sakit lebih dahulu, bersenang-senang kemudian..
Tiada hasil tanpa pengorbanan..
No pain, no gain..

Kalimat-kalimat seperti itu boleh dikatakan sudah menjadi konsumsi kita sehari-hari. Namun mengapa yang terjadi sejauh ini, seakan tidak pernah selaras dengannya? Jangankan sukses dan bersenang-senang, untuk mencukupi hidup sehari-hari pun rasanya sudah setengah mati.

Banyak dari kita sudah belasan bahkan puluhan tahun menjalani kehidupan yang penuh kesakitan dan pengorbanan ini. Pengorbanan fisik, pengorbanan finansial atau pun pengorbanan perasaan, tidak kurang-kurang kita berikan demi meraih kebahagiaan hidup yang kita dambakan beserta keluarga. Hasilnya? Tidak ada yang signifikan.. semua serasa jalan di tempat saja..

Saya jadi teringat akan petuah seorang guru motivasi yang pernah mengajar saya pada tahun 1986 dan 1987, lebih dari 20 tahun yang lalu. Beliau orang Singapura, namanya David Chia. Dalam salah satu sesi pelatihannya, David memperkenalkan sebuah analogi yang dinamakan “DUCK IN THE LAND, DUCK IN THE WATER” atau “Bebek Di Atas Tanah, Bebek Di Dalam Air”.

Apa urusan kita dengan bebek?

Bebek merupakan salah satu jenis binatang yang mendapat berkah Tuhan, sehingga ia bisa berjalan dan berlari di atas tanah, dan dapat pula berenang-renang di atas air. Namun demikian coba perhatikan, dari dua tempat itu, di manakah bebek tampak paling bahagia?

David menjelaskan bahwa meski bebek mampu dan tidak bermasalah untuk berkiprah di atas tanah, namun puncak kebahagiaan hewan ini justru ketika berenang-renang di atas air. Di atas airlah seekor bebek akan merasa bebas sebebas-bebasnya, bercengkerama dan berselancar ke sana-ke mari sambil membersihkan bulu-bulu sayapnya yang indah, dan bersikap seakan seisi dunia menjadi paradiso nan indah ceria baginya.

Fenomena bebek ini menjadi referensi bahwa banyak orang di antara kita yang selama bertahun-tahun menjalani kehidupan bagai “DUCK IN THE LAND”, atau bebek yang berjalan di atas tanah. Kenapa?
Karena mereka telah menjalani pengorbanan yang begitu berat demi membangun kehidupan, dengan jalan bekerja di bidang-bidang yang tidak disukai. Bekerja di suatu tempat di mana kreativitas tidak dapat berkembang. Atau bekerja dengan gaji yang tidak mencukupi, namun tidak pernah berani angkat kaki guna mencari peluang yang lebih baik. Dan semua itu, dengan penuh penderitaan dijalani selama bertahun-tahun tanpa henti.

Kenapa mereka seakan tidak pernah berusaha untuk berontak dari keadaan status quo, guna mencapai keadaan yang lebih berbahagia seperti layaknya “DUCK IN THE WATER”?

Sebab, mereka belum menyadari bahwa jalan ke arah itu ada. Dan bahwa jalan bahagia itu tidak perlu ditempuh dengan penuh rasa sakit serta derita. Dan juga bahwa dunia ini sesungguhnya tidaklah sesuram yag mereka sangka. Tuhan sudah memberikan komposisi yang sama baik bagi penderitaan, mau pun bagi kebahagiaan. Dan Dia sudah menyerahkan sepenuhnya kepada manusia, bagian mana yang akan dipilih. Penderitaankah, atau kebahagian?

Kehidupan memang hanya masalah pilihan..

Nah, lebih lanjut David memberikan penjelasan bahwa untuk sukses menemukan kebahagiaan, ada sebuah fomula yang mengatakan: “Kesuksesan terjadi pada saat kekuatan menemukan tempatnya yang sesuai..”! Ini juga yang menjadi analogi: “DUCK IN THE WATER”.. sebagaimana seekor bebek yang memiliki kekuatan untuk berenang-renang, bertemu dengan air telaga yang sejuk dan jernih..

Kalau seekor bebek secara naluriah sadar akan kekuatannya dalam hal berenang di atas air, dapatkah kita menyadari kekuatan apa yang kita miliki agar bisa mengarahkannya pada situasi lingkungan yang sesuai?

Andaikata pencarian tentang kekuatan apa yang kita miliki terasa sulit, ada panduan yang mudah. Yaitu, tinggalkan aktivitas kita yang sekarang hanya memberi penderitaan, dan temukan bidang pekerjaan yang kita sukai. Kalau perlu, jika kita sekarang seorang karyawan, jadilah usahawan. Perdalam kompetensi kita di bidang tersebut, cermati munculnya kesempatan, rebut peluang dan jadilah raja di sana.

Semoga kita semua menjadi “DUCK IN THE WATER”..!

Rusman Hakim
Pengamat Kewirausahaan
Profec’s Entrepreneurial Leadership Center
E-mail: rusman@gacerindo.com
Portal: http://www.gacerindo.com
Blog: http://rusmanhakim.blogspot.com
Mobile: 0816.144.2792