Wednesday, October 24, 2007

Home Sweet Home, Work Sweet Work


HOME SWEET HOME, WORK SWEET WORK


Banyak orang mengatakan bahwa seburuk apapun keadaan rumah kita, rumah kita tetaplah istana kita. Rumahlah satu-satunya tempat yang dapat memberikan kedamaian, ketenteraman serta kebahagiaan hakiki. Tidak ada tempat lain di dunia ini yang bisa memberikan kebebasan untuk melepaskan diri dari segala belenggu dan topeng-topeng kehidupan, selain di rumah sendiri.

Maka, sungguh indah dan sungguh tepatlah ungkapan: “Home Sweet Home..!”

Namun demikian, kebahagiaan di rumah belum tentu bisa dibawa ke tempat lain, kantor misalnya. Bahagia di rumah, belum tentu bahagia di kantor. Kenyataannya, banyak orang merasa sangat-sangat sulit untuk mengadaptasi kebahagiaan di rumah, ke tempat mereka bekerja. Terlalu banyak intrik dan provokasi yang muncul dan terjadi di lingkungan kerja.

Simaklah apa yang dirasakan oleh mereka yang berprofesi sebagai karyawan profesional. Mereka sering kali merasa “ada ancaman” bahwa sewaktu-waktu mereka bisa di PHK. Perasaan tidak nyaman juga datang dari “ulah” para atasan, para bos (atau bukan bos tapi sangat “bossy”) yang terasa semena-mena memerintah ini dan itu.

Belum lagi persaingan antar karyawan yang begitu ketat, sampai-sampai mencuatkan manuver-manuver tidak sehat mulai dari trik-trik “carmuk” alias “cari muka”, sampai pada pergunjingan dan fitnah terselubung.

Kejadian-kejadian semacam itu, sedikit banyak akan mendistorsi suasana kebahagiaan yang kita bawa dari rumah ke tempat di mana kita berkarir.

Sayangnya, buat kebanyakan orang, tekanan dan stres di tempat kerja sudah dianggap lumrah. Memang itulah budaya hidup di tempat kerja, mau apa lagi?

Hampir semua orang menghabiskan sebagian besar dari waktunya di tempat kerja. Katakanlah, rata-rata orang sekarang bekerja selama 10 – 12 jam sehari. Ini artinya mereka mendedikasikan 50% dari 24 jam waktu yang dimilikinya untuk fokus di sektor karir. Sedangkan 50% lagi dibagi-bagi untuk kegiatan-kegiatan lainnya, seperti bercengkerama dengan keluarga di rumah, bersosialisasi dengan masyarakat, beribadah, belajar, pergi ke gym untuk olahraga dan lain-lain.

Dari situ kita dapat menyimpulkan bahwa manusia masa kini rata-rata hidup tidak bahagia, karena waktunya dominan berada di tempat yang tidak bahagia, yaitu di kantor atau di lingkungan kerja yang penuh dengan tekanan dan stres.

Namun toh orang tidak bisa menghindar dari keharusan kerja, sebab, inilah satu-satunya aktivitas yang merupakan “earning center”, pusat penghasilan yang membiayai semua kegiatan orang yang bersangkutan. Aktivitas-aktivitas lainnya yang berhubungan dengan keluarga, kegiatan sosial, spiritual, kesehatan fisik-mental, semuanya merupakan “cost centers” alias pusat-pusat biaya.

Jadi wajarlah kalau mengingat kepentingannya, kita semua mengalokasikan waktu terbanyak untuk membina karir. Lantas bagaimana caranya agar dalam bekerja kita pun bisa tetap berbahagia? Kalau di rumah kita dapat membangun “home sweet home”, mengapa di kantor kita tidak bisa membangun “work sweet work”?

Berdasarkan observasi, kebanyakan orang bekerja semata-mata dilatarbelakangi motivasi untuk mencari nafkah (subsistence motivation). Mereka merasa harus bekerja karena harus memberi makan diri dan keluarganya. Harus menyekolahkan anak-anaknya. Dan harus membiaya semua kebutuhan operasional rumah tangganya. Harus dan harus..

Dengan motivasi yang “serba harus” ini, tidak heran kalau suasana kerja menjadi sangat tegang dan stres. Kuatir kalau gaji tak mencukupi, tentu tidak bisa lagi memberi makan dan menyekolahkan anak. Kuatir akan ancaman PHK, sama dahsyatnya dengan kuatir akan kiamat.

Bagaimana orang bisa bahagia kalau setiap hari dicekam ketakutan seperti itu?

Untuk membangun suasana “work sweet work”, perlu dilakukan perubahan total atas paradigma dan motivasi kita untuk bekerja. Jangan berfikir bahwa bekerja hanya semata-mata untuk mencari nafkah. Kita harus berfikir jauh lebih besar dari itu. “Think Big”, kata David J. Schwarz.

Bekerja juga harus “enjoyable”, bisa dinikmati semaksimal mungkin. Oleh sebab itu, ada 2 langkah sederhana untuk dapat menjadikan kita bahagia dalam pekerjaan. Yang pertama: cari atau pindah kerja yang bidangnya sesuai dengan kesenangan kita. Tinggalkan saja pekerjaan yang sekarang kalau kita merasa tidak bahagia di situ. Jangan takut, karena dengan bekerja di bidang yang kita senangi, peluang untuk maju akan lebih besar sekian kali lipat. Kalau perlu, bila kita sekarang berstatus karyawan, jadilah seorang usahawan!

Langkah kedua: jadilah raja di sana! Guna menjadi nomor satu di suatu bidang, tentu kita harus piawai. Nah, untuk belajar dan menjadi piawai di suatu bidang yang kita senangi, akan sangat mudah dibanding belajar dan menjadi piawai di bidang yang kita benci. Akan lebih ideal lagi kalau bidang yang disenangi itu adalah juga bidang hobi kita.

Kita akan menjadi seekor harimau yang tumbuh sayap! Dalam kondisi ini, tidak perlu lagi takut di PHK. Tidak perlu lagi stres karena diperintah-perintah orang lain. Dan tidak usah lagi “carmuk” atau sikut-sikutan bersaing dengan teman sejawat.

Selama ini, “Work Sweet Work” jarang menjadi perhatian orang, berbeda dengan “Home Sweet Home” yang selalu didamba dan dibicarakan di berbagai media. Namun demikian seyogyanya kita menyadari bahwa “Work Sweet Work” merupakan energi alamiah yang vital bagi kehidupan setiap orang.

Kadang kita merasa ganjil ketika menyaksikan seorang dokter gigi yang lebih suka main film daripada membuka praktek perawatan gigi. Atau melihat insinyur yang lebih senang bermain musik katimbang menggeluti profesi keteknikan. Aneh ketika tahu bahwa ada pengacara yang ahli hukum eh.. malah getol jadi bintang sinetron.

Saya menangkap bahwa itulah gejala bekerjanya fenomena “Work Sweet Work”, di mana secara disadari atau tidak, beberapa orang yang peka telah mengikuti suara hati nuraninya untuk mencari dan membangun dunia serta kerajaannya sendiri. Di dunia dan kerajaan yang di dalamnya mereka bisa menemukan kebahagiaan sejati.

Maka sebaliknya dari mencibir dengan perasaan aneh, saya justru ingin memberi acungan jempol. Mereka berani tampil beda, dan dengan itu mereka berbahagia.

“Work Sweet Work” adalah sebuah wahana earning center yang subur, kehadirannya akan mendukung “Home Sweet Home” yang indah. Sebaliknya, tanpa “Work Sweet Work”, rona keindahan “Home Sweet Home” akan meredup dan pudar tanpa bisa memberikan kebahagiaan yang berarti. (rh)

*** Artikel ini dapat Anda baca juga di portal wirausaha http://www.gacerindo.com, dilengkapi dengan gambar.

Rusman Hakim
Pengamat Kewirausahaan
LifeWisdom Presenter
E-mail: rusman@gacerindo.com
Portal: http://www.gacerindo.com
Blog: http://rusmanhakim.blogspot.com
Mobile: 0816.144.2792

Monday, October 22, 2007

Power Of The Verbs


POWER OF THE VERBS



Dalam suatu seminar, seorang peserta berkeluh-kesah kepada Stephen Covey, bahwa kehidupan rumah tangganya tidak bahagia. Ia dan isterinya sudah tidak sepaham lagi, sehingga terlalu banyak pertengkaran yang terjadi. Oleh sebab itu, ia ingin Covey memberinya jalan keluar. “Apa yang harus saya lakukan, Tuan Covey?” demikian ia bertanya.

Setelah berfikir sejenak Stephen Covey menjawab: “Cintai isterimu..”

Sang penanya tertegun, lalu ia menegaskan: “Anda tahu Stephen, saya sudah tidak cinta lagi pada isteri saya. Jadi apa yang harus saya perbuat?”

“Cintai isterimu..”, Stephen Covey mengulangi jawabannya.

“Anda tentu tidak mengerti bahwa sesungguhnya sudah tidak ada lagi perasaan cinta di hati saya terhadap dia..” sang peserta tetap pada pendiriannya.

“Kawan..! Yang saya maksud di sini adalah ‘cinta’ dalam kata kerja. Bukan ‘perasaan cinta’ sebagai kata benda atau kata keadaan. Jadi Anda harus mencintai isteri Anda dalam kata kerja. Lakukanlah, cintai isteri Anda dan Anda akan menemukan cinta itu kembali..”

Meski petikan dialog di atas kelihatan sederhana, namun sebenarnya yang dibahas oleh Stephen Covey adalah sebuah kunci kesuksesan hidup. Sebuah “resep rahasia” yang akan mampu menuntun manusia ke arah kebahagiaan sejati dalam kehidupan yang hingar-bingar ini. Mengapa demikian?

Sebagian besar orang memang lebih banyak menggantungkan kebahagiaan hidupnya pada “kata benda” atau “kata keadaan”. Lebih tepatnya, pada “sesuatu” baik berupa benda, orang atau pun lingkungan.

Yang lebih mengherankan adalah kenyataan bahwa rata-rata manusia hanya mau atau hanya bisa berbahagia, kalau ada alasan tertentu untuk itu. Coba perhatikan kalimat-kalimat di bawah ini:

“Saya akan sangat berbahagia bila saya berhasil menjadi orang kaya..!”

“Mobil mewah itu sungguh bagus, berteknologi tinggi serta memberikan prestise tersendiri. Alangkah berbahagianya bila saya dapat memilikinya..”

“Dunia serasa gelap, dan tiada lagi kebahagiaan yang tersisa semenjak saya ditinggal oleh kekasih yang sangat saya cintai..”

“Hari mendung menjelang hujan lebat, jalanan macet pula. Hati saya benar-benar tertekan hari ini..”

Empat contoh kalimat di atas menunjukkan secara jelas, betapa banyak orang yang menggantungkan kebahagiaanya pada keadaan (kekayaan), pada benda (mobil mewah), pada orang (kekasih) dan pada lingkungan (cuaca mendung dan jalan macet).

Padahal, kalau kita mau berfikir jernih, mengapa pula kebahagiaan itu harus dilekatkan pada hal-hal di luar kita, baik benda, orang, keadaan mau pun lingkungan?

Kekuatan Kata Kerja

Sejak kelahiran manusia pertama di atas bumi, Tuhan Yang Maha Esa telah memberi perintah agar manusia aktif bekerja untuk dapat mempertahankan hidup. Dalam segala hal, manusia harus “taking action”, maka itu artinya ia harus selalu berada dalam lingkup kata kerja.

Patut disyukuri bahwasanya kesadaran dan etos kerja manusia secara fisik berkembang pesat, sehingga tingkat kemajuan teknologi di dunia industri sekarang sudah sedemikian majunya.

Namun apa lacur, kalau pun kekuatan kata kerja telah mampu membawa kemajuan di tingkat fisik, tidak demikian halnya di tingkat mental. Hampir semua orang berfikir bahwa kekuatan kata kerja hanya berlaku atas segala sesuatu yang kita kerjakan secara fisik. Nyaris tidak pernah terfikir bahwa kekuatan kata kerja juga berlaku atas aktivitas-aktivitas mental dan emosi.

Ambil contoh, emosi-emosi negatif seperti kecewa, marah, takut atau perasaan tertekan, adalah unsur-unsur mental yang dianggap sebagai suatu “keadaan” atau “kondisi”, yang terjadi sebagai akibat pengaruh-pengaruh dari luar. Karena merupakan akibat dari pengaruh luar, maka emosi-emosi semacam itu tidak dapat dikontrol oleh yang bersangkutan.

Nyaris tidak ada orang yang mau berspekulasi bahwa emosi sebenarnya juga merupakan aktivitas manusia yang bisa dikendalikan oleh yang empunya tubuh. Aktivitas yang tentunya bisa dilakukan oleh manusia berdasarkan “kata kerja”.

Penyanyi seriosa sekaliber Surti Suwandi atau Pranawengrum, mampu menstimulir dirinya saat menyanyikan lagu sedih, sampai menangis mengeluarkan airmata yang tidak sedikit. Demikian juga apa yang dilakukan oleh para penyanyi opera dan artis film drama.

Hal tersebut merupakan bukti kecil dan sederhana, bahwa emosi pun bisa “dilakukan”. Dan itulah juga yang sesungguhnya dimaksud oleh Stephen Covey, bahwa “cinta” bukanlah sekadar keadaan emosi yang terjadi dengan sendirinya. Cinta adalah juga sebuah aktivitas manusia yang bisa dilakukan kapan saja sesuai dengan inisiatif si pelaku.

Bahagia dan Sukses Juga Merupakan Kata Kerja

Kita perlu prihatin, bahwa sebagian besar orang menganggap seakan-akan kebahagiaan hanya akan datang kalau ada pemicunya, apakah itu berupa harta benda, perhatian atau kasih sayang seseorang, atau stimulus lain.

Hal ini perlu dikoreksi. Sesungguhnya, kebahagiaan dapat dikendalikan sesuai dengan inisiatif orang yang bersangkutan. Jim Dorner, seorang tokoh kepemimpinan pernah mengatakan bahwa manusia sudah sepantasnya berbahagia, dan itu bisa diperoleh cukup dengan mengatakan: ”I want to be happy! I don’t want to be unhappy!”, tanpa mengait-ngaitkannya dengan faktor luar.

Memang, sesuai dengan hukum sebab dan akibat, segala sesuatu yang terjadi senantiasa karena ada suatu alasan yang melatarbelakanginya. Kekeliruan yang selama ini dilakukan oleh banyak orang sehingga mereka sulit untuk merasa bahagia secara terus menerus adalah bahwa latar belakang kebahagiaan mereka selalu diletakkan pada obyek-obyek luar yang mudah lenyap serta di luar kendalinya.

Padahal, sumber-sumber daya yang permanen ada pada diri kita sendiri merupakan alasan terbaik untuk kita bisa selalu merasa bahagia.

Apa saja? Banyak, antara lain keyakinan akan diri, kepiawaian dalam bidang-bidang tertentu, profesionalisme, semangat dan daya juang, naluri avonturisme, proaktivitas, motivasi, visi, serta kedekatan kita dengan Tuhan. Dengan latihan dan kesadaran akan berbagai kemampuan pribadi inilah, pada akhirnya kita akan terbiasa untuk berbahagia setiap saat, tanpa perlu melihat materi luar apa yang kita miliki.

Pertanyaannya adalah, bagaimana mungkin komponen-komponen tak kasat mata (intangible) seperti semangat, kepiawaian, motivasi, kepercayaan diri dan sebagainya itu dapat menjadi alasan untuk kita berbahagia? Bukankah lebih realistis kalau orang merasa bahagia karena memperoleh banyak uang, memiliki rumah besar dan mobil mewah?

Seperti telah disinggung di atas, uang, rumah besar, mobil mewah dan bahkan kasih sayang orang lain, adalah unsur-unsur luar yang tidak sepenuhnya berada di bawah kendali kita. Sifatnya situasional, sehingga setiap saat bisa saja lenyap dari kepemilikan kita.

Sebaliknya, kemampuan diri pribadi merupakan “mesin kehidupan” yang kita miliki secara abadi, tidak akan hilang sepanjang hayat masih dikandung badan. Uang, mobil serta harta benda lainnya mudah diperoleh asalkan kita mau bekerja memanfaatkan “mesin kehidupan” tersebut secara tepat dan benar.

Silahkan direnungkan.(rh)

*** Artikel ini dapat Anda baca juga di portal wirausaha http://www.gacerindo.com, dilengkapi dengan gambar.

Rusman Hakim
Pengamat Kewirausahaan
LifeWisdom Presenter
E-mail: rusman@gacerindo.com
Portal: http://www.gacerindo.com
Blog: http://rusmanhakim.blogspot.com
Mobile: 0816.144.2792

Pahlawankah Mereka?


PAHLAWANKAH MEREKA?



“Three Wishes” adalah judul sebuah acara di Metro TV yang secara tidak sengaja saya lihat pada hari Sabtu malam kemarin, tanggal 20 Oktober 2007 sekitar jam 19.30.

Isinya berkisah tentang kehidupan istri-istri tentara Amerika, yang suaminya mendapat tugas maju ke medan perang di berbagai tempat di seluruh dunia. Di situ diperlihatkan bagaimana para isteri tentara yang rata-rata masih berusia muda belia, harus melewatkan hari-hari penantiannya dibawah kecemasan, ketakutan serta kekhawatiran mendalam.

Bayangkan saja, hampir setiap hari mereka menerima khabar dari institusi militer yang berwenang, bahwa ada sejumlah tentara Amerika yang gugur. Misalnya, hari ini diketahui ada 3 personel yang terbunuh, hari berikutnya ada lagi kabar bahwa 14 orang serdadu mati di pertempuran. Demikian seterusnya.

Sayangnya, setiap khabar datang pada pertama kali, yang disampaikan itu hanya mengenai jumlah orang yang tewas, tanpa dilengkapi nama-nama siapa saja yang tewas itu. Diperlukan waktu 1 – 2 hari sebelum data para korban menjadi jelas.

Tentu saja – sebagaimana diceritakan oleh seorang ibu muda - isteri-isteri tentara setiap saat harus “berjuang” melawan debaran jantung menunggu kabar buruk yang akan menjelang. Kalau hari ini terbetik berita bahwa Kopral A tewas, itu artinya Nyonya A seketika menjadi janda, dan anak-anak mereka yang masih kecil mejadi yatim.

Sehingga, hari demi hari mereka lewatkan seakan-akan hanya untuk menunggu giliran siapakah hari ini yang menjadi janda dan siapa pula yang menjadi anak yatim…

Mungkin agak berbeda dari dugaan banyak orang tentang Amerika yang serba makmur, beberapa wanita di “Three Wishes” mengisahkan betapa suami-suami mereka menjadi tentara hanya semata-mata untuk mencari nafkah, guna menghidupi isteri dan anak-anaknya.

Mereka memulai kehidupan dari nol, tidak punya tempat tinggal sendiri dan selalu terbentur dengan berbagai masalah kehidupan, mulai dari soal dapur sampai bagaimana menyekolahkan anak.

Sebagai pasangan muda, tidak heran kalau mereka selalu mendambakan dan berkhayal kalau suatu hari kelak kehidupan rumah tangga mereka akan menjadi mapan. Sudah umum kalau para suami juga melontarkan hajat (wishes) bahwa mereka menginginkan suatu hari nanti akan memiliki sebuah rumah tinggal yang cukup besar dan indah.

Alam mengatur segalanya, dan Dia bekerja dengan caraNya sendiri. “Three Wishes” memperlihatkan betapa pada akhirnya para tentara muda itu – baik yang pulang hidup mau pun yang tinggal nama - mendapatkan anugerah sebagai balas jasa, antara lain sebuah rumah cukup besar yang mereka idam-idamkan untuk mereka tinggali beserta keluarga.

Tampak sebagai sebuah happy ending, tapi benarkah demikian?

Pemirsa sama-sama menyaksikan bagaimana para janda muda yang menggandeng bocah kecil itu menerima pemberian tersebut, dengan senyum kecil tapi mata bengkak yang terus berderai air mata. Sepadankah hadiah rumah yang diterimakan itu dengan nyawa seorang suami yang tak akan pernah bisa hadir bersama kembali?

Demikian juga dengan yang masih hidup. Pada kesempatan berikut, apakah rumah besar itu akan menjadi saksi bisu akan terulangnya masa-masa penantian para isteri atas kepulangan suami, entah dalam keadaan hidup ataukah hanya tinggal nama belaka?

Yang menggelitik perasaan saya adalah, adakah para tentara muda itu bisa dianggap sebagai pahlawan? Untuk siapakah mereka bertempur? Untuk negarakah? Dan untuk apa?

Mereka berperang nun jauh di sana, entah di Irak, di Afghanistan atau di tempat lainnya. Sementara itu tidak ada yang janggal dengan peri kehidupan di seluruh Amerika Serikat. Semua orang sibuk dengan kegiatan rutin, pagi hari pergi kerja ke kantor, sore hari mampir ke kedai minum sejenak melepas lelah sebelum pulang ke rumah, hari libur berekreasi bersama keluarga dan seterusnya. Semua normal, damai dan biasa-biasa saja, tiada perang tiada pula pertempuran.

Lantas, kenapa harus ada sebagian masyarakat yang tidak bisa menikmati kehidupan normal dan damai itu, bahkan harus pergi berperang di negeri orang lain dengan mempertaruhkan diri dan masa depan keluarga? Haruskah mereka menjadi korban dari ambisi para pemimpin negara di sana?

Sungguh berbeda kalau kita bandingkan dengan masa-masa perjuangan kemerdekaan Indonesia dulu. Semua orang berperang, semua orang memanggul senjata dan semua jelas bahwa kita berperang untuk mempertahankan kedaulatan dan kemerdekaan negara sendiri. Bukan untuk negara lain. Dan semua pejuang, baik yang masih hidup mau pun yang gugur, semua adalah pahlawan, pahlawan bangsa, pahlawan kemerdekaan.

Itu dulu. Kini orang telah mengerti bahwa peperangan selalu menyengsarakan dan pertempuran selalu memusnahkan. Yang dibutuhkan manusia sekarang adalah kesejahteraan, kedamaian, keadilan serta kemakmuran. Oleh sebab itu, yang namanya pahlawan seharusnya adalah mereka yang bisa memberikan kontribusi untuk kesejahteraan rakyat, kedamaian, keadilan serta kemakmuran.

Para wirausahawan memilik peluang terbesar untuk menjadi pahlawan semacam itu. Dan Amerika memilikinya. Sebut saja Thomas Watson (IBM), Henry Ford (Ford), Bill Gates (Microsoft), Walt Disney dan sederet nama besar lainnya. Mereka itulah sesungguhnya yang patut menyandang sebutan pahlawan, karena merekalah yang mampu berkontribusi tidak saja untuk kejehahteraan Amerika, tapi juga sekaligus kesejahteraan dunia.

Lantas apa hubungannya dengan Indonesia?

Lebih krusial dari pada Amerika Serikat yang sudah mapan sebagai negara termakmur di dunia, Indonesia yang miskin ini seharusnya lebih menggalakkan kampanye agar sebagian besar warganya mau berkecimpung dalam dunia wirausaha, membangun negeri dan menyejahterakan rakyat. Dan jadilah pahlawan.

Lupakan perang, ciptakan kesejahteraan. Make prosperity, not war.

*** Ditulis dalam rangka menyambut Hari Pahlawan, 10 November 2007(rh)

*** Artikel berita ini dapat Anda baca juga di portal wirausaha http://www.gacerindo.com, dilengkapi dengan foto.

Rusman Hakim
Pengamat Kewirausahaan
LifeWisdom Presenter
E-mail: rusman@gacerindo.com
Portal: http://www.gacerindo.com
Blog: http://rusmanhakim.blogspot.com
Mobile: 0816.144.2792

Pelatih Terbaik Bukan Terpintar

PELATIH TERBAIK BUKAN TERPINTAR

Ada kalanya seorang trainer dihadapkan pada situasi di mana ada peserta pelatihan yang begitu antusias membombardir pertanyaan-pertanyaan atau komentar-komentar yang bernuansa “menguji” kepiawaian dirinya sebagai pelatih.

Dalam beberapa kasus, intensitas “pengujian” itu begitu tingginya, sehingga sang trainer merasa terteror. Setiap kali sesi tertentu dimulai, “teror” pun dimulai pula sehingga lama kelamaan, sang trainer menjadi merasa sangat tidak nyaman.

Bagi umumnya trainer yunior, sikap para peserta opposan diartikan sebagai tantangan frontal. Mereka merasa sangat terusik, posisinya sebagai trainer yang bertugas untuk melatih dan mengajar audiens, terasa terancam. Ada perasaan bahwa sebagian peserta meragukan kepiawaiannya sebagai pengajar.

Menghadapi keadaaan demikian, trainer-trainer muda biasanya menjadi “groggy”, sehingga sebagai kompensasi, mereka cenderung mempertontonkan pengetahuan dan keahlian yang dimilikinya, termasuk dengan menyebut-nyebut berbagai istilah “keren” serta berusaha untuk selalu mematahkan argumentasi yang diajukan peserta.

Celakanya, kerap terjadi bahwa ada saja peserta yang memang benar-benar lebih piawai, lebih tinggi ilmu pengetahuannya serta lebih berpengalaman. Terhadap peserta jenis ini, trainer yang berusaha “pamer kehebatan” untuk mendapatkan pengakuan audiens, pasti ketemu batunya.

Ketika argumentasi-argumentasi, referensi-referensi dan juga teori-teori yang mereka ajukan ternyata dimentahkan oleh peserta peneror, dengan serta-merta sang trainer menjadi frustrasi, salah tingkah, tidak tahu harus berbuat apa sehingga terlihat begitu “bodoh” di depan orang banyak. Itulah situasi yang paling dibenci dan ditakuti oleh para trainer, dan tidak terlalu berlebihan kalau disebut sebagai “neraka”nya para trainer muda.

Trainer senior yang sudah cukup makan asam garam pelatihan, berpegang pada basis pemikiran bahwa menjadi seorang trainer tidak perlu berpretensi sebagai figur yang harus selalu lebih pandai dari pesertanya. Mereka siap menghadapi keadaan, di mana pada sesi-sesi tertentu akan ada peserta yang lebih piawai dari mereka.

Lalu, bagaimana caranya mengatasi situasi-situasi kritis seperti di atas?

Dalam dunia pelatihan, para pelatih unggulan mempunyai jurus pamungkas yang handal. Pertama, kehadiran peserta tukang teror yang memang lebih pandai, tidak dipandang sebagai “duri dalam daging” yang akan mengacaukan unjuk kerjanya sebagai trainer di depan kelas. Mereka justru menerima keadaan ini sebagai keuntungan, yang akan memungkinkan kualitas pelatihan menjadi lebih baik lagi.

Kedua, pelatih unggul dapat membaca apa motivasi yang ada dibalik ulah seorang peneror. Yang paling umum, peserta tersebut biasanya hanya ingin mencari pengakuan bahwa dia orang pintar. Dia butuh perhatian dan pujian, oleh sebab itu perlu diakomodir.

Kemungkinan lainnya adalah bahwa benar ada orang-orang pintar yang sangat idealis. Orang-orang ini menginginkan bahwa program pelatihan yang mereka peroleh benar-benar berkualitas serta bermanfaat, sehingga mereka merasa perlu mengetahui apakah sang pelatih memang cukup piawai. Itulah alasan mengapa mereka melancarkan “teror pertanyaan” pada trainernya.

Seorang trainer tidak perlu merasa khawatir bahwa dirinya akan dianggap tidak cakap, hanya karena kehadiran peserta yang lebih pintar pada sesi-sesi tertentu. Sebab apa?

Sebab, sebelum sebuah program pelatihan digelar, ada sebuah tahapan yang disebut tahap “pre-assessment”. Pada tahap ini, lembaga penyelenggara pelatihan mengadakan penyaringan dan evaluasi tentang klasifikasi para peserta training.

Kriteria-kriteria tertentu yang diterapkan pada para calon peserta di tahap pre-assessment seharusnya akan membentuk sebuah kelompok peserta yang memiliki klasifikasi seragam. Dengan demikian, lembaga pelatihan juga akan tahu klasifikasi trainer seperti apa yang diperlukan untuk menangani kelompok tersebut.

Oleh sebab itu, bila ternyata pada saat pelatihan digelar ada orang-orang yang memiliki klasifikasi lebih tinggi “terselip” dalam kelas, itu bukanlah kesalahan trainer bersangkutan. Dengan alasan ini, seorang trainer seyogyanya tetap tenang dan tidak perlu merasa terganggu oleh kehadiran mereka.

Bahkan sebaliknya, seorang “smart trainer” akan mendapatkan kesempatan untuk memanfaatkan peserta istimewa tersebut. Yang biasa dilakukan oleh trainer berpengalaman adalah, pada saat “teror” mulai dilancarkan oleh sang peserta, dengan sangat bijak sang trainer akan mempersilahkan orang tersebut maju ke depan podium untuk berbicara menyampaikan argumentasinya.

Bila argumentasi yang disampaikan ternyata benar, trainer akan mengajak semua hadirin untuk memberikan applause (tepuk tangan meriah) seraya ia sendiri juga melontarkan pujian-pujian tulus kepada peserta itu.

Sejak saat itulah, setiap kali ada pertanyaan yang sedikit “canggih” dilontarkan peserta lain, sang trainer akan mempersilahkan peserta istimewa itu untuk terlebih dahulu menjawabnya.

Dengan jalan ini, pelatih yang bijak sudah mampu mengatasi beberapa persoalan yang dihadapinya secara sekaligus. Bila si peneror merupakan peserta yang hanya ingin diakui sebagai orang pintar, obsesinya segera terpenuhi saat pertama kali ia diberi kesempatan berbicara di depan audiens.

Nafsu terornya biasanya akan segera berkurang banyak. Bahkan, ketika setiap kali ada pertanyaan ia diminta menjawab, orang ini akan sadar bahwa dirinya sedang “dikontra-teror” oleh sang pelatih, sehingga nafsu terornya pun hilang.

Di sisi lain, bila peneror adalah peserta idealis yang menginginkan kualitas, sejak pertama kali diberi kehormatan maju ke depan podium, biasanya orang tersebut akan bersedia bekerja sama dengan memberikan informasi serta masukan-masukan yang bermanfaat. Tidak jarang bahwa peserta jenis ini akhirnya secara sukarela menempatkan diri bagaikan seorang asisten pelatih. Tanpa diminta, tanpa dibayar!

Nah, bila saat ini Anda adalah seorang trainer yunior, ada baiknya melatih diri dengan trik seperti di atas, dan Anda segera menjadi seorang Smart Trainer !! (rh)

*** Artikel ini dapat Anda baca juga di portal wirausaha http://www.gacerindo.com, dilengkapi dengan gambar.

Rusman Hakim
Pengamat Kewirausahaan
LifeWisdom Presenter
E-mail: rusman@gacerindo.com
Portal: http://www.gacerindo.com
Blog: http://rusmanhakim.blogspot.com
Mobile: 0816.144.2792

Sunday, August 05, 2007

Apa Yang Kau Cari Palupi?

APA YANG KAU CARI PALUPI?

Pada tanggal 30 Juli 2007 yang baru lalu, majalah “Globe” edisi Asia, melalui Executive Chairman nya Rizal Ramli mempublikasikan daftar peringkat orang-orang terkaya di Indonesia. (Kompas, 31 Juli 2007).

Dari daftar tersebut dapat dibaca bahwa gelar Orang Terkaya Nomor 1 di Indonesia saat ini dipegang oleh Budi Hartono, pemilik perusahaan PT Djarum Kudus dengan nilai aset sebesar 37,8 triliun rupiah.

Disusul kemudian oleh Rachman Halim, bos Gudang Garam di tempat kedua dengan kekayaan senilai 31,5 triliun. Sementara tempat ketiga diisi oleh dedengkot kelompok Sinar Mas, Eka Tjipta Widjaja dengan harta sebesar 27,9 triliun rupiah.

Sebelumnya, beberapa waktu yang lalu majalah beken “Forbes” juga mengumumkan daftar Orang-orang Terkaya di Indonesia.

Saat itu, formasinya berbeda. Yang bertengger di peringkat teratas adalah Sukanto Tanoto dari Raja Garuda Mas (Rp. 25 T). Peringkat kedua dipegang oleh Putera Sampoerna (Rp. 19 T), sedangkan di tempat ketiga ada Eka Tjipta Widjaja (Rp. 18,2 T).

Melihat angka-angka kekayaan mereka ini, mungkin ada di antara kita yang kesulitan membayangkan, sebenarnya seberapa besarkah uang triliunan milik orang-orang terkaya tersebut?

Saya bisa mengatakan bahwa mereka memang “benar-benar kaya”, karena jumlah uang yang mereka miliki memang “benar-benar buessarr..”. dan untuk itu saya bisa menunjuk satu kejadian sebagai acuan.

Dulu, sewaktu heboh peristiwa korupsi yang dilakukan oleh Edy Tanzil, dana yang ditilep oleh bos kelompok Golden Key itu adalah sebesar 1,3 triliun. Seorang pembaca “Kompas” yang tergelitik dengan jumlah tersebut, lantas mencoba menghitung, seberapa “besar” kah uang 1 triliun sebenarnya?

Ia lalu mengasumsikan bahwa uang 1 triliun itu diberikan dalam bentuk uang kertas pecahan 100 rupiah. Diukurnya panjang dan lebar dari selembar uang kertas tersebut, kemudian dihitung ada berapa lembar 100 perakan yang dibutuhkan guna melengkapi nilai 1 triliun.

Rasa keingintahuan mendorongnya untuk menghitung seberapa luaskah apabila seluruh lembar uang kertas 100-an rupiah digelar di atas tanah, sampai mencapai nilai 1 triliun. Hasilnya?

Wow, ia sendiri “surprised”! Karena ternyata luas “uang cepekan” yang digelar sampai senilai 1 triliun, akan menutupi keseluruhan luas Pulau Jawa!

Fuantastik.. kata seorang teman.

Maka ia yakin kalau jumlah kekayaan 150 orang kaya Idonesia, yang konon mencapai Rp. 419 triliun digelar dengan cara yang sama, maka seluruh luas wilayah Republik Indonesia akan tertutup habis, baik daratan mau pun lautannya..

Angka Tertinggi

Saya mencoba untuk mengkaji dengan cara saya sendiri. Dulu di Indonesia, ada sebutan “jutawan” untuk menggambarkan orang kaya atau banyak duit. Beberapa waktu kemudian istilah tersebut tampaknya menjadi ketinggalan jaman, sehingga muncul istilah pengganti, yaitu “milyarder” karena orang kaya uangnya tidak lagi cuma jutaan, tapi milyaran.

Lalu, kalau sekarang mereka uangnya sudah triliunan begitu, saya nggak tau lagi istilahnya apa? Triliuner?

Satu triliun itu kalau ditulis dengan angka, maka paling tidak harus ada angka nol sebanyak 12 buah. Ditambah angka 1 di depannya, maka total ada 13 digit.

Lantas, sampai berapa digitkah angka yang harus dicapai oleh para orang kaya agar prestasinya tidak dapat lagi digeser oleh orang lain? Berapakah angka tertinggi yang ada di dunia ini?

Angka atau bilangan tertinggi di dunia ini tidak ada, bahkan manusia pun tidak tahu cara menuliskan angka yang mewakili nilai “tidak terhingga”, sehingga disepakati bahwa dipakai simbol “∞” untuk keperluan itu.

Nah, kalau angka tertinggi itu tidak pernah ada, saya berfikir, bukankah kontes pemeringkatan orang-orang terkaya itu juga menjadi pekerjaan yang sia-sia? Tidakkah itu sama dengan pekerjaan mengejar-ngejar bayangan, yang sampai kapan pun tidak akan pernah sampai dititik akhir?

Seorang teman sempat mengeritik saya: “Pak Rusman, bukankah kita lihat di arena olah raga juga berlaku seperti itu? Coba lihat, atlit lompat tinggi tidak akan pernah mencapai langit sampai kapan pun mereka melompat, kan? Tapi kompetisi selalu digelar. Atlit-atlit unggulan datang, berprestasi maksimal, mereka lalu menjadi juara di puncak kejayaannya untuk kemudian digusur lagi oleh mereka yang datang belakangan. Muncul juara baru, begitu seterusnya, dan itulah siklus hidup. Yang penting itu semua bermanfaat..”

“Justru itu yang saya maksud..”, jawab saya menimpali.

“Kejuaraan olah raga memang mendatangkan banyak manfaat bagi banyak orang. Atlit menjadi sehat, termotivasi, dan mereka pun dibayar untuk prestasinya. Pihak penyelenggara berikut berpuluh-puluh pekerja mendapat penghasilan dari karcis masuk, penonton pun terhibur..”

“Nah, kalau bicara mengenai manfaat, mari kita lihat sampai di mana manfaat yang bisa ditarik dari sebuah kontes orang-orang kaya. Jumlah kekayaan yang dilibatkan tidak main-main lho. Ratusan triliun itu lebih besar dari anggaran belanja negara di bidang apapun, selama satu tahun. Kalau uang sekian banyak benar-benar dimanfaatkan untuk kemaslahatan masyarakat, tentunya keadaan negeri ini tidak separah sekarang. Coba lihat, pengangguran berapa juta orang? Kelaparan di mana-mana, kemiskinan merajalela. Itu sebabnya saya merasa kontes semacam itu tidak banyak mendatangkan manfaat..”

Kesenjangan Sosial

Publikasi pemeringkatan orang-orang terkaya di Indonesia, lebih condong merupakan publikasi tentang kesenjangan sosial yang ada di Indonesia. Karena, sementara sekelompok kecil orang menguasai sekian banyak potensi ekonomi negara, di sisi lain kita lihat kemelaratan yang berlarut-larut menimpa sebagian besar rakyat.

Pertanyaannya adalah, seberapa jauhkah keberadaan kaum kaya itu mendatangkan manfaat bagi rakyat banyak?

Kita tidak menutup mata bahwa di antara orang-orang kaya itu terdapat beberapa pengusaha yang telah berjasa “menghidupi” ribuan buruh yang bekerja di pabrik-pabrik mereka.

Tapi, buruh tetaplah buruh, sebuah profesi yang sama-sama kita tahu kondisinya, gajinya, serta kesejahteraannya seperti apa. Demikian juga masa depannya, yang dari tahun ke tahun ya begitu-begitu juga..

Kita tidak menutup mata akan adanya para pengusaha kaya yang menjadi “filantropis”. Mereka maju ke depan saat terjadi berbagai bencana dan menyumbangkan banyak dana guna membantu para korban. Tapi, seberapa ikhlaskah? Seberapa besar? Dan tidak adakah maksud lain di balik itu semua?

Seorang taipan negeri ini dengan ringan mengatakan menyumbang 2 milyar untuk korban tsunami di Aceh, seraya mengatakan: “Itu hanya sebagian kecil dari harta saya..”

Alhamdulillah, yang bersangkutan mau menyumbang sesama. Tapi, hanya itukah?

Kalau sang taipan menyumbang 2 milyar dari hartanya yang 20 triliun misalnya, maka itu berarti dia menyumbang sebesar 1 per mil dari total aset yang dimiliki. Bandingkan bila seorang pesuruh kantor yang seluruh miliknya bernilai 2 juta rupiah, lalu ia menyumbang sebesar Rp. 50.000 untuk Aceh, berarti dia memberi sebesar 2,5 persen dari hartanya. Tidak jelas lagi, mana yang lebih berharga dari keduanya, sumbangan sang taipan, ataukah sumbangan si pesuruh?

Bukankah rakyat tidak hanya butuh kerja hari ini untuk bisa makan hari ini, dan diberi ransum saat bencana datang saja? Mereka butuh masa depan yang lebih baik..

Motivasi

Beberapa orang mengatakan bahwa daftar orang-orang terkaya di Indonesia itu dapat dimanfaatkan sebagai motivasi bagi kalangan pengusaha Indonesia untuk lebih memacu prestasinya secara lebih maksimal, sehingga diharapkan di masa mendatang akan ada lebih banyak lagi pengusaha-pengusaha sukses yang berkontribusi besar untuk negara.

Rizal Ramli pun mengatakan bahwa daftar orang-orang terkaya yang dipublikasikan oleh institusinya itu merupakan terobosan dari semangat kewirausahaan dan talenta komunitas bisnis Indonesia.

Benarkah demikian?

Kalau melihat apa yang saya utarakan di atas, kehadiran orang-orang kaya tampaknya tidak terlalu banyak mengangkat derajat kehidupan rakyat Indonesia. Kemiskinan dan kelaparan yang masih berlarut-larut di segala pelosok tanah air menjadi bukti nyata.

Dilain fihak, sebagaimana banyak saya tuliskan pada tulisan-tulisan sebelumnya, motivasi menjadi kaya akan merupakan upaya yang riskan. Di tengah-tengah budaya hidup yang serba materialistis ini, di mana orang menghalalkan segala cara untuk bisa mendapatkan kekayaan, pemeringkatan orang-orang kaya justru bisa mendatangkan mudarat.

Sebab apa?

Sebab, sebelum adanya angket pemeringkatan tersebut, masyarakat telah terlebih dahulu dimotivasi habis-habisan oleh kultur kehidupan yang mendewakan kemewahan selama lebih dari 30 tahun, sejak zamannya Orde Baru berkuasa.

Lihat saja film atau sinetron Indonesia, yang tanpa relevansi jelas, begitu banyak mengeksploitir kekayaan sebagai daya tariknya. Kalau Anda datang ke lahan parkir para wakil rakyat yang terhormat di Senayan, di situ kita bisa lihat “pameran mobil mewah” milik beliau-beliau yang sudah pasti kaya-kaya semua.

Di kota-kota besar, apartemen-apartemen mewah memasang harga yang tidak tanggung-tanggung. Rata-rata bisa mencapai di atas 1 milyar rupiah. Tapi, sulitkah untuk mengerti mengapa di negeri miskin ini, apartemen mewah sudah “sold-out”, terjual habis bahkan sebelum pembangunan fisiknya dimulai?

Hal-hal semacam itu merupakan pencetus motivasi rakyat banyak untuk bisa menjadi kaya. Di tengah-tengah kondisi negeri saat sekarang, di mana mencari pekerjaan susah, mencari peluang usaha juga susah, tidak ada pilihan lain selain mencari jalan pintas. Maka jangan heran kalau kemudian beberapa pengusaha berubah menjadi pembobol-pembobol bank, sebagian lagi mengedarkan bahkan membangun pabrik narkotika, munculnya penipu-penipu melalui sms hadiah, para birokrat yang menjalankan korupsi berjamaah dan lain sebagainya.

Ini juga barangkali yang bisa menjelaskan mengapa hasil angket internasional menobatkan Indonesia sebagai salah satu “Negara Terkorup di Dunia”.

DR. Suparman mengatakan bahwa seorang wirausahawan adalah seorang pengusaha yang secara moral bersih. Jujur dan berintegritas, jauh dari perilaku korupsi serta kolusi. Dan itu yang dibutuhkan bangsa ini, kalau kesejahteraan rakyat memang menjadi prioritas.

Oleh sebab itu, menurut saya, bagi seorang wirausahawan sejati tidaklah perlu memotivasi diri dengan faktor kekayaan semata. Riskan, sebab begitu kekayaan tidak mau datang dengan segera, kita pasti tergoda untuk mencari jalan pintas.

Dan, istimewanya, akan banyak pihak lain, yang dengan tangan terbuka akan menerima kita untuk bersama-sama mencari jalan pintas di blantika bisnis Indonesia yang sudah ambur adul.

Selama kita masih mau berharap bahwa suatu waktu kelak landasan moral bangsa Indonesia akan kembali membaik, sehingga pada gilirannya nanti juga akan membawa perbaikan kesejahteraan bersama yang lebih adil, maka sebaiknya kita mencari pemicu motivasi yang lain saja. (rh)



Rusman Hakim
Pengamat Kewirausahaan
E-mail: rusman@gacerindo.com
Web: http://www.gacerindo.com
Blog: http://rusmanhakim.blogspot.com
Mobile: 0816.144.2792

Monday, February 12, 2007

KEWIRAUSAHAAN DI TENGAH BENCANA

KEWIRAUSAHAAN DI TENGAH BENCANA

Sebenarnya, bangsa Indonesia mempunyai potensi dan bakat terpendam untuk bisa maju. Hanya saja, sejauh ini belum ada pihak-pihak yang mempunyai otoritas yang mampu menyerap potensi tersebut dan menuangkannya ke dalam sebuah konsep terpadu guna meningkatkan taraf hidup bangsa. Andaikan hal itu dapat terjadi, bukan mustahil dalam waktu relatif singkat, Indonesia akan menjadi sebuah negara yang sejahtera, adil makmur gemah ripah loh jinawi toto tentrem kertoraharjo.

Potensi terpendam yang dimaksud adalah semangat dan bakat kewirausahaan. Hal itu dapat disimak dari berbagai kejadian yang terjadi sepanjang “minggu bencana” tatkala banjir melanda ibukota Jakarta sejak Jumat 2 Februari 2007 yang lalu.

Di awal musim penghujan, semangat wirausaha sudah merebak dengan munculnya fenomena “ojek payung” di mana kita lihat banyak orang terutama justru anak-anak kecil menyewakan payung kepada orang-orang yang membutuhkan, seperti para karyawan kantor, ibu-ibu yang ingin belanja dan lain-lain.

Ide “ojek payung” tentu sangat sederhana, tapi manfaatnya luar biasa. Bisa dibayangkan bagaimana senangnya para karyawan dengan dandanan yang serba keren dan necis, bisa terhindar dari keadaan basah-kuyup – yang tentu akan menyebabkan mereka batal kerja – hanya dengan membayar 2 – 3 ribu rupiah pada bocah-bocah yang berbisnis sambil menggigil kedinginan.

Di fase selanjutnya, ketika beberapa kendaraan bermotor mogok di tengah jalan di bawah guyuran hujan deras, terlihat pula para pemuda turun tangan menawarkan jasa “dorong mobil” untuk menolong para pengemudi apes, dengan imbalan sejumlah uang. Ini memang bisnis klasik dan tradisional, tapi manfaatnya tetap signifikan sampai sekarang.

Saat musim hujan makin menggila dan banjir mulai bermunculan di berbagai tempat, permasalahan yang timbul pun makin kompleks. Warga terkurung di rumah karena lingkungan sekitar terkepung air setinggi lebih dari 30 sentimeter. Mereka yang berniat pergi kerja menjadi kesulitan melintasi banjir.

Maka muncul lagi sebuah “implementasi kewirausahaan” yang diperlihatkan para pemuda setempat. Dengan “kreativitas instan”, mereka terinspirasi untuk memanfaatkan gerobak-gerobak sebagai sarana pengangkut orang dan barang melintasi banjir. Dengan tarif 20 ribuan rupiah, para pemuda berjiwa bisnis itu bisa melakukan “win-win business solution” yang benar-benar manfaat. Para karyawan dapat menyelamatkan penampilannya yang memang harus necis, sepeda-sepeda motor juga terhindarkan dari risiko mogok dan rusak di terjang air, sementara para “intant businessmen” pun mendapatkan rejeki yang halal.

Tidak hanya berhenti di situ, manakala banjir mulai surut meninggalkan sisa-sisa kotoran, lumpur, sampah dan limbah yang luar biasa banyaknya di rumah-rumah warga, semangat kewirausahaan bangsa Indonesia muncul lagi dalam bentuk lain. Beberapa orang, sebagian di antaranya adalah pemulung, berinisiatif menawarkan jasa pembersihan rumah kepada para pemilik rumah yang kesulitan menangani sendiri pekerjaan itu. Maka, transaksi bisnis pun terjadilah, dengan uang jasa sebesar Rp. 10.000, rumah tinggal pun menjadi bersih kembali.

Lebih menarik lagi adalah apa yang terjadi pada hari-hari terakhir ini. Ada satu dua orang wirausahawan dadakan, yang secara cantik sekali berkeliling menawarkan peralatan pembersih rumah, utamanya alat pembersih lantai yang bentuknya mirip penghapus kaca mobil, tapi berukuran besar dan bergagang panjang. Juga ada yang menjajakan sapu lidi yang ampuh untuk membersihkan lantai mau pun halaman.

Kalau kita mau mencermati, tak pelak lagi rangkaian fenomena di atas menunjukkan bahwa bangsa kita, yang terpresentasikan oleh lapisan masyarakat kelas bawah, adalah bangsa yang memiliki daya juang, kreativitas serta semangat kewirausahaan tinggi. Ini merupakan modal intangible yang sungguh-sungguh potensial.

Lantas, kalau potensi ini belum juga tereksplorasi, berapa lama lagikah bangsa Indonesia harus menunggu sampai tercapainya kondisi yang benar-benar sejahtera? Wallahu alam..(rh)


*** Artikel berita ini dapat Anda baca juga di portal wirausaha http://www.gacerindo.com, dilengkapi dengan foto.

Rusman Hakim
Pengamat Kewirausahaan
E-mail: rusman@gacerindo.com
Web: http://www.gacerindo.com
Blog: http://rusmanhakim.blogspot.com
Mobile: 0816.144.2792