BIZMART YANG SAYA LIHAT
Seperti yang telah dicanangkan via internet, acara “Kopi Darat” ke-IV milis Bisnis-Smart ternyata jadi dilaksanakan. Meski ditandai dengan berbagai “silang-pendapat” serta perubahan tempat, Kopdar akhirnya berjalan mulus dan cukup mengesankan.
Acara yang dihadiri lebih dari 20 orang itu, digelar pada hari Sabtu 11 November 2006 dengan mengambil lokasi di kafe “Bukafe” Jalan Duren Tiga Raya, Jakarta Selatan. Hadir antara lain, para aktivis serta petinggi milis seperti Anton Witono, Rio Nasution, Iwan, Roesmiyati, Eko dan tentu saja tidak ketinggalan “bos” Bisnis Smart, penulis buku “Cara Brilian Menjadi Karyawan Beromset Miliaran” (CBMKBM), Masbukhin Pradhana.
Acara-acara yang diagendakan pada acara tersebut secara berturut-turut setelah dibuka oleh panitia, adalah presentasi tentang masalah “Branding”, dibawakan oleh Rio Nasution, dilanjutkan dengan paparan mengenai “Menguak Daerah Abu-Abu antara Bisnis dan Wirausaha” oleh Rusman Hakim, dan dilanjutkan oleh Masbukhin Pradhana dengan mengambil acuan dari materi yang dibawakan oleh 2 pembicara sebelumnya.
Setelah makan siang, Kopdar dilanjutkan lagi dengan presentasi tentang pembentukan Koperasi Bizmart, lengkap dengan jadwal kerja beberapa bulan ke depan dari unit operasional Bizmart yang masih embrionik tersebut. Berbicara dalam sesi ini Stephanus Kurnianto dengan “stage-act” cukup mengesankan.
Agenda dilanjutkan lagi dengan sesi tanya-jawab, di mana para hadirin dapat melontarkan berbagai pertanyaan kepada para pembicara seputar masalah-masalah kewirausahaan. Dan terakhir, semua hadirin dilibatkan dalam acara ramah-tamah, “door-prize”, serta foto bersama.
Ada hal yang cukup mengesankan dalam Kopi Darat Ke-IV ini, yaitu suasana kebersamaan yang sangat kental di antara sesama anggota milis. Sebagian besar peserta kelihatan ceria dan penuh senyuman. Di Sabtu pagi yang cerah itu, suasana kafe “Bukafe” seakan bertambah segar dengan senyum ramah serta canda-tawa para member milis Bisnis-Smart.
Hal lain yang juga mengesankan adalah partisipasi yang tinggi dari beberapa wirausahawan. Meski masih dalam rangka promosi produknya, inisiatif mereka dalam membagi-bagikan produk, patut diacungi jempol. Tampak antara lain Isdiyanto, Pemimpin Umum Majalah “Wirausaha+Keuangan” yang membagikan puluhan eksemplar majalah, Roesmiyati yang menghadiahkan voucher makan gratis di gerai “Bakmi Patriot” miliknya, Masbukhin yang memberikan “rabat” pagi penjualan buku karyanya sendiri “CBMKBM”, serta beberapa orang lagi dengan kontribusinya masing-masing.
Secara keseluruhan, acara Kopi Darat IV milis Bisnis Smart ini cukup sukses, dan kita perlu angkat topi atas hasil kerja panitia yang telah bekerja keras sejak beberapa waktu sebelumnya.
Namun demikian, ada juga satu hal yang kiranya perlu menjadi masukan bagi para pengelola kelompok “netter” yang anggotanya sudah hampir mencapai 1000 orang ini. Menurut pengamatan, ada lebih kurang 30% dari keseluruhan audiens yang tampaknya agak kesulitan memperlihatkan kebebasan gerak, kebebasan berbicara serta kebebasan berkiprah di antara sekian banyak hadirin lainnya.
Orang-orang ini tampak begitu diam, nyaris tanpa ekspresi. Meski terlihat mendengarkan dengan baik setiap materi pembicaraan dan juga memperhatikan dengan seksama apa yang terjadi di ruang pertemuan, namun terkesan mereka rikuh dan sangat pasif dalam berinteraksi dengan sekelilingnya.
Hal seperti ini tampak berbeda dengan apa yang biasa kita temui di dalam pertemuan-pertemuan sejenis, yang diselenggarakan oleh kelompok-kelompok MLM (Multi Level Marketing}, seperti misalnya CNI atau Amway.
Dalam pertemuan-pertemuan MLM, nyaris 95% audiens berekspresi dengan begitu bebas dan sangat antusias. Sedemikian antusiasnya, sehingga walau pun beberapa orang ada yang tidak kebagian tempat strategis dalam sebuah pertemuan, dan harus puas berdiri di bagian pojok belakang, mereka ini tetap terlihat bergairah, bersorak meneriakkan yell-yell, bertepuk tangan, mengacungkan tinju serta tertawa lebar. Jelas sekali mereka sangat termotivasi di dalam lingkungan bisnisnya sendiri.
Fenomena semacam itu bisa kita temui tidak cuma di lingkungan MLM. Pada kelompok-kelompok agen asuransi pun, para pesertanya memperlihatkan gairah antusiasme serta motivasi yang sangat tinggi. Demikian juga di beberapa perusahaan multinasional.
Mungkin seyogyanyalah kita berfikir bahwa dalam sebuah komunitas kewirausahaan, motivasi merupakan sebuah kultur dasar yang harus benar-benar dibina. Tidak pelak lagi bahwa dalam berbisnis, faktor motivasi merupakan sebuah prasyarat yang sangat menentukan. Sebagaimana yang dilontarkan Ciputra, sang raja properti Indonesia, bahwa ada 3 hal penentu kesuksesan seorang usahawan, yaitu: motivasi, motivasi dan motivasi.
Mudah mengenali orang-orang yang hidupnya termotivasi. Mereka adalah orang-orang yang selalu proaktif, berani tampil (meski tidak tampan atau cantik), berani bicara (meski tidak pandai merangkai kata-kata), murah senyum serta selalu cenderung membantu orang lain.
Karena salah satu tujuan dibentuknya komunitas bisnis adalah untuk berbagi, baik berbagi informasi mau pun berbagi kesempatan, maka alangkah cantiknya jika seluruh anggota komunitas dapat “dibentuk” menjadi orang-orang yang termotivasi seperti itu. Semakin banyak perserta yang “motivated people”, akan semakin efektif pula sebuah milis kewirausahaan. Hal seperti itulah yang sekiranya kita harapkan dapat terjadi di dalam komunitas Bisnis Smart.
Jangan dilupakan, bahwa peserta datang dalam sebuah pertemuan, pasti dengan berbekal sebuah pengharapan, bahwa mereka akan mendapatkan sesuatu atau bahkan banyak hal yang berharga. Itu sebabnya mereka mau membayar, dan mengorbankan waktu serta energinya untuk bisa hadir. Mengapa tidak kita sambut pengharapan mereka dengan memberi “imbalan” secara maksimal?
Oleh sebab itu, kiranya perlu juga dipertimbangkan oleh otoritas milis, kemungkinan adanya penyelenggaraan sebuah program pelatihan untuk pembinaan motivasi. Pelatihan tersebut biasanya disebut dengan “Motivation Building Training Prorgam”, di mana di dalamnya terdapat sesi-sesi yang menyangkut proaktivitas, seperti “Self Inventory” dan “Public Speech” .
Untuk menekan biaya, kelihatannya bisa dijajaki bahwa di antara sekian banyak anggota di komunitas ini, terdapat orang-orang yang cukup kompeten untuk menjadi trainer, sedangkan untuk mekanisme pelaksanaannya, bisa dipastikan bahwa panitia Kopdar yang selama ini turun tangan, sudah cukup piawai untuk menjamin kelancaran penyelenggaraan program tersebut.
Semoga saja…
Rusman Hakim
Pengamat Kewirausahaan
E-mail: rusman@gacerindo.com
Web: http://www.gacerindo.com
Blog: http://rusmanhakim.blogspot.com
Mobile: +62 21 816.144.2792
Sunday, November 12, 2006
Saturday, November 04, 2006
Antara TDA dan TDB
Antara TDA dan TDB
Dengan segala kerendahan hati, perkenankanlah saya untuk memberi sedikit ulasan tentang pertanyaan rekan XXX di milis IEU2002 tentang arti dari TDA dan TDB. Jelas dan gamblang bahwa jawaban yang diberikan adalah bahwa TDA = Tangan Di Atas = Pengusaha, sedangkan TDB = Tangan Di Bawah = Karyawan.
Yang menggelitik perasaan saya adalah, apa iya setiap karyawan itu sudah pasti “Tangan Di Bawah”?
Menurut pengertian umum, “tangan di bawah” mengandung arti “tangan yang menerima” dan bukan “tangan yang memberi”. Arti sebaliknya berlaku bagi “tangan di atas”. Dalam pengertian yang lebih luas, sering diartikan bahwa orang yang “tangan di bawah” adalah mereka yang kehidupannya lebih tergantung dari pemberian orang lain. Ekstrimnya, kaum tangan di bawah adalah mereka yang nasibnya lebih bergantung pada belas kasihan orang lain. Mudah-mudahan pengertian ini tidak terlalu salah, atau melenceng terlalu jauh dari arti sesungguhnya.
Nah sekali lagi, timbul pertanyaan, apa benar seorang karyawan sudah pasti “TDB”, dan hidupnya mesti bergantung pada orang lain yang namanya majikan?
Menurut saya, seorang karyawan akan menjadi “TDB” atau tidak, sama sekali tergantung dari paradigma yang ada di kepalanya saat menjalankan hajat hidupnya sebagai karyawan. Paradigma itulah yang nanti akan menyebabkan dia menjadi “TDB” atau bukan. Jadi, tidak selamanya yang disebut karyawan, pegawai, orang gajian atau apa pun namanya, menjadi “TDB” karena bekerja terhadap majikan.
Ada 3 (tiga) jenis paradigma di benak karyawan, yaitu pertama: yang bersangkutan cenderung kurang menghargai hubungan kerja, kedua : menghargai hubungan kerja secara berlebihan, dan yang ketiga : menghargai hubungan kerja secara wajar sambil menempatkan diri sejajar, setara, sederajat atau setingkat terhadap majikan, dengan tujuan menjaga unsur keseimbangan yang saling menguntungkan.
Ketiga jenis sikap di atas, akan melahirkan tipe-tipe karyawan yang dapat kita kenali dari sepak terjangnya dalam melaksanakan kegiatan sehari-hari:
1) Tipe Petualang.
2) Tipe Pengabdi.
3) Tipe Mitra.
TIPE PETUALANG
Karyawan jenis ini condong memperlakukan perusahaan tempat ia bekerja hanya sebagai obyek yang bisa dikendalikan sesuka hati, atau sebagai tambang emas yang bisa digali dan dikeruk isi perutnya sepuas-puasnya. Yang termasuk dalam katagori tipe petualang antara lain mereka yang bekerja untuk mencari uang sebanyak-banyaknya dan melakukannya secara “hantam kromo”, tidak peduli halal atau tidak, yang penting duit! Sehingga terjadilah peristiwa-peristiwa tidak terpuji seperti korupsi materi, korupsi waktu, penggelapan bahkan pencurian dan lain sebagainya. Sering bolos untuk menjalankan usaha sampingan, juga termasuk dalam golongan ini.
Demikian juga dengan tipe Kutu Loncat. “Kutu loncat” adalah mereka yang selalu berpindah-pindah kerja dari satu perusahaan ke lain perusahaan, tergantung dari pihak mana yang menurutnya lebih baik dalam hal memberi kedudukan dan uang. Dengan sendirinya, mereka mudah “dibajak” dengan iming-iming gaji besar.
Tipe petualang tidak termasuk dalam dikotomi TDA vs TDB.
TIPE PENGABDI
Sementara itu, sebagian orang berpikiran bahwa kerja pada majikan, sudah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sebuah rumah tangga. Mereka berpendapat, dari situlah dapur bisa berasap sehingga semua anggota keluarga bisa makan dan roda kehidupan berputar dengan wajar. Dengan anggapan ini, mereka selalu mendambakan sebuah pekerjaan yang tenang tenteram, dan bisa dijadikan tumpuan selama hidup.
Maka orang-orang jenis ini akan terlihat bekerja sehari-hari secara cukup tekun, cukup rajin, tidak terlalu banyak menuntut dan sebaliknya juga tidak terlalu keras bekerja demi karir. Karena sangat menyenangi ketenangan kerja dalam lingkup tanggung jawab terbatas, mereka tahan untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan yang “itu-itu” juga, dalam suasana yang monotone tanpa perubahan apa pun.
Pada peristiwa PHK, orang-orang ini akan menjadi sangat panik, karena sesuai dengan jalan pikiran mereka, PHK akan menyebabkan rumah tangga porak-poranda. Dapur akan kehilangan asapnya, sumber makan keluarga akan terhenti, anak-anak terlantar dan tidak terbayang kegiatan apa yang bisa mereka lakukan setelah berhenti dari pekerjaan sekarang.
Tipe pengabdi inilah yang pada umumnya menganggap majikan sebagai dewa penolong kehidupan, sehingga merasa bahwa posisi mereka ada di bawah posisi majikan. Merekalah yang mengganggap diri mereka sendiri sebagai “TDB” alias tangan di bawah.
TIPE MITRA
Seorang karyawan yang membangun hubungan kerja berdasarkan falsafah kemitraan, akan mempunyai perilaku yang sama sekali berbeda dibanding mereka yang menganut falsafah kerja petualang atau pengabdian semu. Di sini, karyawan penganut kemitraan menganggap perusahaan majikan sebagai amanah yang harus dijaga, dipelihara, dibina serta dikembangkan dengan penuh tanggung jawab. Sehingga tidak pernah selintas pun timbul pikirannya untuk melakukan korupsi, penggelapan serta hal-hal lain yang tak terpuji.
Di lain pihak, ia juga tidak pernah menganggap majikan sebagai dewa penolong yang memberinya penghidupan, karena ia sadar bahwa apa yang diterimanya dari sang majikan merupakan timbal balik dari jasa-jasa, kepiawaian, energi, waktu serta profesionalisme yang ia dedikasikan kepada perusahaan.
Dalam hal ini, paradigma karyawan tersebut sudah menerapkan konsep “True Salesmanship” yang berbasiskan pemikiran kerjasama saling menguntungkan. Sebuah transaksi yang didasarkan atas jual-beli berprinsip “Win-win solution”, di mana semua pihak diuntungkan, semua pihak berbahagia dan tidak ada pihak yang dirugikan atau teraniaya. Oleh sebab itu, sosok seperti ini tidak dapat digolongkan dalam profil “TDB”, melainkan “TDA” bersama-sama dengan majikannya.
Dengan konsep pemikiran seperti itu, secara sadar atau tidak, unsur kewirausahaan sudah cukup dominan dalam sepak terjang karyawan tipe ini. Maka tidaklah mengherankan, kalau pada suatu saat nanti, karyawan tipe mitra akan muncul secara surprise, sebagai seorang wirausahawan tangguh.
Himbauan saya bagi teman-teman yang merasa “TDB”, dan merasa masih agak terlalu jauh untuk sampai di tatanan wirausahawan mandiri, ada satu langkah awal yang cukup efektif, yaitu merubah paradigma dari seorang karyawan yang “TDB”, menjadi karyawan yang “TDA”. Insya Allah, setelah itu jalan menuju kemandirian akan lebih terbuka.
Rusman Hakim
Pengamat Kewirausahaan
E-mail: rusman@gacerindo.com
Web: http://www.gacerindo.com
Blog: http://rusmanhakim.blogspot.com
Mobile: +62 21 816.144.2792
Dengan segala kerendahan hati, perkenankanlah saya untuk memberi sedikit ulasan tentang pertanyaan rekan XXX di milis IEU2002 tentang arti dari TDA dan TDB. Jelas dan gamblang bahwa jawaban yang diberikan adalah bahwa TDA = Tangan Di Atas = Pengusaha, sedangkan TDB = Tangan Di Bawah = Karyawan.
Yang menggelitik perasaan saya adalah, apa iya setiap karyawan itu sudah pasti “Tangan Di Bawah”?
Menurut pengertian umum, “tangan di bawah” mengandung arti “tangan yang menerima” dan bukan “tangan yang memberi”. Arti sebaliknya berlaku bagi “tangan di atas”. Dalam pengertian yang lebih luas, sering diartikan bahwa orang yang “tangan di bawah” adalah mereka yang kehidupannya lebih tergantung dari pemberian orang lain. Ekstrimnya, kaum tangan di bawah adalah mereka yang nasibnya lebih bergantung pada belas kasihan orang lain. Mudah-mudahan pengertian ini tidak terlalu salah, atau melenceng terlalu jauh dari arti sesungguhnya.
Nah sekali lagi, timbul pertanyaan, apa benar seorang karyawan sudah pasti “TDB”, dan hidupnya mesti bergantung pada orang lain yang namanya majikan?
Menurut saya, seorang karyawan akan menjadi “TDB” atau tidak, sama sekali tergantung dari paradigma yang ada di kepalanya saat menjalankan hajat hidupnya sebagai karyawan. Paradigma itulah yang nanti akan menyebabkan dia menjadi “TDB” atau bukan. Jadi, tidak selamanya yang disebut karyawan, pegawai, orang gajian atau apa pun namanya, menjadi “TDB” karena bekerja terhadap majikan.
Ada 3 (tiga) jenis paradigma di benak karyawan, yaitu pertama: yang bersangkutan cenderung kurang menghargai hubungan kerja, kedua : menghargai hubungan kerja secara berlebihan, dan yang ketiga : menghargai hubungan kerja secara wajar sambil menempatkan diri sejajar, setara, sederajat atau setingkat terhadap majikan, dengan tujuan menjaga unsur keseimbangan yang saling menguntungkan.
Ketiga jenis sikap di atas, akan melahirkan tipe-tipe karyawan yang dapat kita kenali dari sepak terjangnya dalam melaksanakan kegiatan sehari-hari:
1) Tipe Petualang.
2) Tipe Pengabdi.
3) Tipe Mitra.
TIPE PETUALANG
Karyawan jenis ini condong memperlakukan perusahaan tempat ia bekerja hanya sebagai obyek yang bisa dikendalikan sesuka hati, atau sebagai tambang emas yang bisa digali dan dikeruk isi perutnya sepuas-puasnya. Yang termasuk dalam katagori tipe petualang antara lain mereka yang bekerja untuk mencari uang sebanyak-banyaknya dan melakukannya secara “hantam kromo”, tidak peduli halal atau tidak, yang penting duit! Sehingga terjadilah peristiwa-peristiwa tidak terpuji seperti korupsi materi, korupsi waktu, penggelapan bahkan pencurian dan lain sebagainya. Sering bolos untuk menjalankan usaha sampingan, juga termasuk dalam golongan ini.
Demikian juga dengan tipe Kutu Loncat. “Kutu loncat” adalah mereka yang selalu berpindah-pindah kerja dari satu perusahaan ke lain perusahaan, tergantung dari pihak mana yang menurutnya lebih baik dalam hal memberi kedudukan dan uang. Dengan sendirinya, mereka mudah “dibajak” dengan iming-iming gaji besar.
Tipe petualang tidak termasuk dalam dikotomi TDA vs TDB.
TIPE PENGABDI
Sementara itu, sebagian orang berpikiran bahwa kerja pada majikan, sudah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sebuah rumah tangga. Mereka berpendapat, dari situlah dapur bisa berasap sehingga semua anggota keluarga bisa makan dan roda kehidupan berputar dengan wajar. Dengan anggapan ini, mereka selalu mendambakan sebuah pekerjaan yang tenang tenteram, dan bisa dijadikan tumpuan selama hidup.
Maka orang-orang jenis ini akan terlihat bekerja sehari-hari secara cukup tekun, cukup rajin, tidak terlalu banyak menuntut dan sebaliknya juga tidak terlalu keras bekerja demi karir. Karena sangat menyenangi ketenangan kerja dalam lingkup tanggung jawab terbatas, mereka tahan untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan yang “itu-itu” juga, dalam suasana yang monotone tanpa perubahan apa pun.
Pada peristiwa PHK, orang-orang ini akan menjadi sangat panik, karena sesuai dengan jalan pikiran mereka, PHK akan menyebabkan rumah tangga porak-poranda. Dapur akan kehilangan asapnya, sumber makan keluarga akan terhenti, anak-anak terlantar dan tidak terbayang kegiatan apa yang bisa mereka lakukan setelah berhenti dari pekerjaan sekarang.
Tipe pengabdi inilah yang pada umumnya menganggap majikan sebagai dewa penolong kehidupan, sehingga merasa bahwa posisi mereka ada di bawah posisi majikan. Merekalah yang mengganggap diri mereka sendiri sebagai “TDB” alias tangan di bawah.
TIPE MITRA
Seorang karyawan yang membangun hubungan kerja berdasarkan falsafah kemitraan, akan mempunyai perilaku yang sama sekali berbeda dibanding mereka yang menganut falsafah kerja petualang atau pengabdian semu. Di sini, karyawan penganut kemitraan menganggap perusahaan majikan sebagai amanah yang harus dijaga, dipelihara, dibina serta dikembangkan dengan penuh tanggung jawab. Sehingga tidak pernah selintas pun timbul pikirannya untuk melakukan korupsi, penggelapan serta hal-hal lain yang tak terpuji.
Di lain pihak, ia juga tidak pernah menganggap majikan sebagai dewa penolong yang memberinya penghidupan, karena ia sadar bahwa apa yang diterimanya dari sang majikan merupakan timbal balik dari jasa-jasa, kepiawaian, energi, waktu serta profesionalisme yang ia dedikasikan kepada perusahaan.
Dalam hal ini, paradigma karyawan tersebut sudah menerapkan konsep “True Salesmanship” yang berbasiskan pemikiran kerjasama saling menguntungkan. Sebuah transaksi yang didasarkan atas jual-beli berprinsip “Win-win solution”, di mana semua pihak diuntungkan, semua pihak berbahagia dan tidak ada pihak yang dirugikan atau teraniaya. Oleh sebab itu, sosok seperti ini tidak dapat digolongkan dalam profil “TDB”, melainkan “TDA” bersama-sama dengan majikannya.
Dengan konsep pemikiran seperti itu, secara sadar atau tidak, unsur kewirausahaan sudah cukup dominan dalam sepak terjang karyawan tipe ini. Maka tidaklah mengherankan, kalau pada suatu saat nanti, karyawan tipe mitra akan muncul secara surprise, sebagai seorang wirausahawan tangguh.
Himbauan saya bagi teman-teman yang merasa “TDB”, dan merasa masih agak terlalu jauh untuk sampai di tatanan wirausahawan mandiri, ada satu langkah awal yang cukup efektif, yaitu merubah paradigma dari seorang karyawan yang “TDB”, menjadi karyawan yang “TDA”. Insya Allah, setelah itu jalan menuju kemandirian akan lebih terbuka.
Rusman Hakim
Pengamat Kewirausahaan
E-mail: rusman@gacerindo.com
Web: http://www.gacerindo.com
Blog: http://rusmanhakim.blogspot.com
Mobile: +62 21 816.144.2792
Subscribe to:
Posts (Atom)