Monday, October 22, 2007
Pahlawankah Mereka?
PAHLAWANKAH MEREKA?
“Three Wishes” adalah judul sebuah acara di Metro TV yang secara tidak sengaja saya lihat pada hari Sabtu malam kemarin, tanggal 20 Oktober 2007 sekitar jam 19.30.
Isinya berkisah tentang kehidupan istri-istri tentara Amerika, yang suaminya mendapat tugas maju ke medan perang di berbagai tempat di seluruh dunia. Di situ diperlihatkan bagaimana para isteri tentara yang rata-rata masih berusia muda belia, harus melewatkan hari-hari penantiannya dibawah kecemasan, ketakutan serta kekhawatiran mendalam.
Bayangkan saja, hampir setiap hari mereka menerima khabar dari institusi militer yang berwenang, bahwa ada sejumlah tentara Amerika yang gugur. Misalnya, hari ini diketahui ada 3 personel yang terbunuh, hari berikutnya ada lagi kabar bahwa 14 orang serdadu mati di pertempuran. Demikian seterusnya.
Sayangnya, setiap khabar datang pada pertama kali, yang disampaikan itu hanya mengenai jumlah orang yang tewas, tanpa dilengkapi nama-nama siapa saja yang tewas itu. Diperlukan waktu 1 – 2 hari sebelum data para korban menjadi jelas.
Tentu saja – sebagaimana diceritakan oleh seorang ibu muda - isteri-isteri tentara setiap saat harus “berjuang” melawan debaran jantung menunggu kabar buruk yang akan menjelang. Kalau hari ini terbetik berita bahwa Kopral A tewas, itu artinya Nyonya A seketika menjadi janda, dan anak-anak mereka yang masih kecil mejadi yatim.
Sehingga, hari demi hari mereka lewatkan seakan-akan hanya untuk menunggu giliran siapakah hari ini yang menjadi janda dan siapa pula yang menjadi anak yatim…
Mungkin agak berbeda dari dugaan banyak orang tentang Amerika yang serba makmur, beberapa wanita di “Three Wishes” mengisahkan betapa suami-suami mereka menjadi tentara hanya semata-mata untuk mencari nafkah, guna menghidupi isteri dan anak-anaknya.
Mereka memulai kehidupan dari nol, tidak punya tempat tinggal sendiri dan selalu terbentur dengan berbagai masalah kehidupan, mulai dari soal dapur sampai bagaimana menyekolahkan anak.
Sebagai pasangan muda, tidak heran kalau mereka selalu mendambakan dan berkhayal kalau suatu hari kelak kehidupan rumah tangga mereka akan menjadi mapan. Sudah umum kalau para suami juga melontarkan hajat (wishes) bahwa mereka menginginkan suatu hari nanti akan memiliki sebuah rumah tinggal yang cukup besar dan indah.
Alam mengatur segalanya, dan Dia bekerja dengan caraNya sendiri. “Three Wishes” memperlihatkan betapa pada akhirnya para tentara muda itu – baik yang pulang hidup mau pun yang tinggal nama - mendapatkan anugerah sebagai balas jasa, antara lain sebuah rumah cukup besar yang mereka idam-idamkan untuk mereka tinggali beserta keluarga.
Tampak sebagai sebuah happy ending, tapi benarkah demikian?
Pemirsa sama-sama menyaksikan bagaimana para janda muda yang menggandeng bocah kecil itu menerima pemberian tersebut, dengan senyum kecil tapi mata bengkak yang terus berderai air mata. Sepadankah hadiah rumah yang diterimakan itu dengan nyawa seorang suami yang tak akan pernah bisa hadir bersama kembali?
Demikian juga dengan yang masih hidup. Pada kesempatan berikut, apakah rumah besar itu akan menjadi saksi bisu akan terulangnya masa-masa penantian para isteri atas kepulangan suami, entah dalam keadaan hidup ataukah hanya tinggal nama belaka?
Yang menggelitik perasaan saya adalah, adakah para tentara muda itu bisa dianggap sebagai pahlawan? Untuk siapakah mereka bertempur? Untuk negarakah? Dan untuk apa?
Mereka berperang nun jauh di sana, entah di Irak, di Afghanistan atau di tempat lainnya. Sementara itu tidak ada yang janggal dengan peri kehidupan di seluruh Amerika Serikat. Semua orang sibuk dengan kegiatan rutin, pagi hari pergi kerja ke kantor, sore hari mampir ke kedai minum sejenak melepas lelah sebelum pulang ke rumah, hari libur berekreasi bersama keluarga dan seterusnya. Semua normal, damai dan biasa-biasa saja, tiada perang tiada pula pertempuran.
Lantas, kenapa harus ada sebagian masyarakat yang tidak bisa menikmati kehidupan normal dan damai itu, bahkan harus pergi berperang di negeri orang lain dengan mempertaruhkan diri dan masa depan keluarga? Haruskah mereka menjadi korban dari ambisi para pemimpin negara di sana?
Sungguh berbeda kalau kita bandingkan dengan masa-masa perjuangan kemerdekaan Indonesia dulu. Semua orang berperang, semua orang memanggul senjata dan semua jelas bahwa kita berperang untuk mempertahankan kedaulatan dan kemerdekaan negara sendiri. Bukan untuk negara lain. Dan semua pejuang, baik yang masih hidup mau pun yang gugur, semua adalah pahlawan, pahlawan bangsa, pahlawan kemerdekaan.
Itu dulu. Kini orang telah mengerti bahwa peperangan selalu menyengsarakan dan pertempuran selalu memusnahkan. Yang dibutuhkan manusia sekarang adalah kesejahteraan, kedamaian, keadilan serta kemakmuran. Oleh sebab itu, yang namanya pahlawan seharusnya adalah mereka yang bisa memberikan kontribusi untuk kesejahteraan rakyat, kedamaian, keadilan serta kemakmuran.
Para wirausahawan memilik peluang terbesar untuk menjadi pahlawan semacam itu. Dan Amerika memilikinya. Sebut saja Thomas Watson (IBM), Henry Ford (Ford), Bill Gates (Microsoft), Walt Disney dan sederet nama besar lainnya. Mereka itulah sesungguhnya yang patut menyandang sebutan pahlawan, karena merekalah yang mampu berkontribusi tidak saja untuk kejehahteraan Amerika, tapi juga sekaligus kesejahteraan dunia.
Lantas apa hubungannya dengan Indonesia?
Lebih krusial dari pada Amerika Serikat yang sudah mapan sebagai negara termakmur di dunia, Indonesia yang miskin ini seharusnya lebih menggalakkan kampanye agar sebagian besar warganya mau berkecimpung dalam dunia wirausaha, membangun negeri dan menyejahterakan rakyat. Dan jadilah pahlawan.
Lupakan perang, ciptakan kesejahteraan. Make prosperity, not war.
*** Ditulis dalam rangka menyambut Hari Pahlawan, 10 November 2007(rh)
*** Artikel berita ini dapat Anda baca juga di portal wirausaha http://www.gacerindo.com, dilengkapi dengan foto.
Rusman Hakim
Pengamat Kewirausahaan
LifeWisdom Presenter
E-mail: rusman@gacerindo.com
Portal: http://www.gacerindo.com
Blog: http://rusmanhakim.blogspot.com
Mobile: 0816.144.2792
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment