4 DIMENSI USAHAWAN DALAM MENANGGAPI PERUBAHAN
Menurut catatan saya, sedikitnya ada 4 jenis dimensi ruang di mana para usahawan harus mampu berkiprah. Pada 4 dimensi ruang itu pula , para usahawan membekali diri dengan 4 jurus dasar sebagai solusi untuk bertahan dalam kehidupan yang sewaktu-waktu bisa berubah.
Hal ini sebenarnya tidak melulu tentang sepak terjang para pengusaha atau pebisnis, melainkan juga mencakup semua kelompok sosial yang bermental proaktif, tangguh, tanggap serta trengginas terhadap setiap perubahan yang mungkin terjadi. Empat dimensi itu adalah sebagaimana diuraikan di bawah ini.
(1)
Pada keadaan pasar (ekonomi) normal, solusinya adalah nilai tambah
atas hal-hal teknis.
Apabila keadaan sedang tidak menunjukkan ketidakstabilan, tidak juga ada gonjang-ganjing dalam masalah politik, ekonomi, sosial atau lainnya, maka solusi untuk tetap eksis di blantika kehidupan berbisnis, biasanya dilakukan dengan meningkatkan nilai tambah atas hal-hal teknis pada produk, baik barang mau pun jasa. Sebab apa?
Sebab dalam dimensi ruang seperti ini, yang memegang peranan utama adalah memang hal-hal yang menyangkut kualitas produk, teknologi, ketersediaan bahan baku, ketersediaan SDM dan lain sebagainya.
Sampai kepada tingkat persaingan yang intensitasnya masih termasuk normal, para usahawan harus berkonsentrasi pada masalah bagaimana membuat nilai tambah yang memungkinkan produk mereka menjadi lebih unggul terhadap para pesaingnya.
(2)
Pada keadaan pasar yang ambur-adul, solusinya adalah pergeseran citra.
Ketika tingkat persaingan sudah meninggi sedemikian rupa hingga menciptakan kondisi tidak sehat, maka pasar berubah menjadi apa yang oleh Chan Kim dan Renee Mauborgne disebut sebagai “Lautan Merah” yang berdarah-darah. Di sini semua orang menderita, pasar yang buruk mengakibatkan usaha keras dan biaya besar hanya memberikan sangat sedikit hasil yang tidak sepadan dengan ongkos yang dikeluarkan.
Solusinya adalah dengan melakukan pergeseran citra atas produk, antara lain dengan merubah definisi usaha, kemasan serta kategori produk, jangkauan segmen pasar, serta berbagai keunggulan kompetitif yng sangat spesifik. Dengan jalan ini, sang usahawan bisa menciptakan sebuah pasar baru yang bebas dari persaingan tak sehat. Dengan kata lain ia telah menciptakan “Samudera Biru” yang aman sentosa (Kim dan Renee: “Blue Ocean Strategy”).
Cara lainnya adalah dengan mengeksplorasi berbagai ceruk pasar yang baru atau “niche markets”, yaitu celah pasar yang belum tergarap di tengah-tengah pasar yang sudah ada.
(3)
Pada situasi krisis yang parah di suatu lokasi, solusinya adalah pergeseran geografis.
Adakalanya, sebagai akibat kebijakan pemerintah yang kurang adil, langkanya sumber-sumber daya ekonomi, atau faktor-faktor force majeur seperti huru-hara, bencana atau bahkan perang, suatu kawasan berubah menjadi daerah krisis yang “tak layak bisnis”.
Untuk mengatasi hal itu, para usahawan dan juga berbagai fihak yang memiliki nalar dan daya juang, umumnya akan mengambil jalan keluar dengan melakukan pergeseran atau perpindahan geografis. Termasuk dalam hal ini fenomena “pengusaha perantauan” yang merantau dari daerah asal mereka ke daerah lainnya, urbanisasi penduduk dari pedesaan ke perkotaan, dan juga pengungsian dari satu negeri ke negeri lainnya. Bukti empiris memperlihatkan contoh, bahwa pengungsi Vietnam yang menghebohkan beberapa waktu lalu, sebagian besar merupakan kaum pengusaha di negeri asalnya.
Dengan analogi yang sama, sejarah memunculkan fenomena sejenis pada peristiwa eksodusnya kaum Yahudi yang kemudian mendirikan negara Israel, hijrahnya Nabi Muhammad dari Mekkah ke Madinah serta hijrahnya para pejuang RI dari Yogyakarta pada tahun 1949.
(4)
Pada krisis global, solusinya adalah: “Fasten your belt!”, benarkah?
Krisis global tentunya mencengkeram hampir seluruh kawasan di dunia. Oleh sebab itu krisis ini tidak tepat untuk diatasi dengan jurus-jurus seperti disebutkan di atas. Satu-satunya jalan keluar yang selama ini dianjurkan oleh pakar ekonomi dan dianut oleh masyarakat di hampir semua negara adalah dengan jalan “fasten your belt” alias “kencangkan ikat pinggang Anda”.
Maka tidak heran kalau kita lihat pada masa krisis seperti sekarang, semua orang berusaha menghemat, pengeluaran benar-benar diawasi dan dikendalikan, tidak ada yang mau memulai transaksi jika tidak betul-betul bisa dipertanggungjawabkan.
Namun, jarang yang menyadari bahwa dengan bersikap demikian ketat, sebenarnya kita telah mengundang krisis yang lebih hebat lagi. Para pengusaha cerdas dan para ekonom yang arif mengkhawatirkan bahwa justru dengan sikap menahan diri yang berlebihan, perputaran roda perekonomian akan semakin berat. Dan sikap seperti itu pula yang akan menyebabkan masa krisis akan menjadi semakin panjang dan lama.
Sangat mengesankan apa yang dilakukan oleh Konosuke Matsushita pada era krisis tahun 1929, di mana ia dengan keyakinan penuh justru lebih meningkatkan pengeluaran dan transaksi-transaksi bisnisnya. Ia melatarbelakangi aksinya itu dengan kata-kata: “Jika semua orang menahan uangnya dan tidak bertransaksi, maka kehidupan ekonomi akan mati..”
Nah, sejalan dengan apa yang dilontarkan oleh Pak Matsushita, ijinkan saya menghimbau agar marilah kita hadapi dan atasi krisis global ini secara bersama dan serentak, dengan jalan tetap bertransaksi secara wajar. Harapannya adalah agar dalam waktu tidak terlalu lama lagi badai akan berlalu, dan kehidupan akan kembali membahagiakan kita semua. Amin.
Rusman Hakim
Pengamat Kewirausahaan
Gacerindo Entrepreneurial Leadership Center
E-mail: rusman@gacerindo.com
Portal: http://www.gacerindo.com/
Blog: http://rusmanhakim.blogspot.com/
Web: http://www.pempekpatrol.com/
Mobile: 0816.144.2792
Menurut catatan saya, sedikitnya ada 4 jenis dimensi ruang di mana para usahawan harus mampu berkiprah. Pada 4 dimensi ruang itu pula , para usahawan membekali diri dengan 4 jurus dasar sebagai solusi untuk bertahan dalam kehidupan yang sewaktu-waktu bisa berubah.
Hal ini sebenarnya tidak melulu tentang sepak terjang para pengusaha atau pebisnis, melainkan juga mencakup semua kelompok sosial yang bermental proaktif, tangguh, tanggap serta trengginas terhadap setiap perubahan yang mungkin terjadi. Empat dimensi itu adalah sebagaimana diuraikan di bawah ini.
(1)
Pada keadaan pasar (ekonomi) normal, solusinya adalah nilai tambah
atas hal-hal teknis.
Apabila keadaan sedang tidak menunjukkan ketidakstabilan, tidak juga ada gonjang-ganjing dalam masalah politik, ekonomi, sosial atau lainnya, maka solusi untuk tetap eksis di blantika kehidupan berbisnis, biasanya dilakukan dengan meningkatkan nilai tambah atas hal-hal teknis pada produk, baik barang mau pun jasa. Sebab apa?
Sebab dalam dimensi ruang seperti ini, yang memegang peranan utama adalah memang hal-hal yang menyangkut kualitas produk, teknologi, ketersediaan bahan baku, ketersediaan SDM dan lain sebagainya.
Sampai kepada tingkat persaingan yang intensitasnya masih termasuk normal, para usahawan harus berkonsentrasi pada masalah bagaimana membuat nilai tambah yang memungkinkan produk mereka menjadi lebih unggul terhadap para pesaingnya.
(2)
Pada keadaan pasar yang ambur-adul, solusinya adalah pergeseran citra.
Ketika tingkat persaingan sudah meninggi sedemikian rupa hingga menciptakan kondisi tidak sehat, maka pasar berubah menjadi apa yang oleh Chan Kim dan Renee Mauborgne disebut sebagai “Lautan Merah” yang berdarah-darah. Di sini semua orang menderita, pasar yang buruk mengakibatkan usaha keras dan biaya besar hanya memberikan sangat sedikit hasil yang tidak sepadan dengan ongkos yang dikeluarkan.
Solusinya adalah dengan melakukan pergeseran citra atas produk, antara lain dengan merubah definisi usaha, kemasan serta kategori produk, jangkauan segmen pasar, serta berbagai keunggulan kompetitif yng sangat spesifik. Dengan jalan ini, sang usahawan bisa menciptakan sebuah pasar baru yang bebas dari persaingan tak sehat. Dengan kata lain ia telah menciptakan “Samudera Biru” yang aman sentosa (Kim dan Renee: “Blue Ocean Strategy”).
Cara lainnya adalah dengan mengeksplorasi berbagai ceruk pasar yang baru atau “niche markets”, yaitu celah pasar yang belum tergarap di tengah-tengah pasar yang sudah ada.
(3)
Pada situasi krisis yang parah di suatu lokasi, solusinya adalah pergeseran geografis.
Adakalanya, sebagai akibat kebijakan pemerintah yang kurang adil, langkanya sumber-sumber daya ekonomi, atau faktor-faktor force majeur seperti huru-hara, bencana atau bahkan perang, suatu kawasan berubah menjadi daerah krisis yang “tak layak bisnis”.
Untuk mengatasi hal itu, para usahawan dan juga berbagai fihak yang memiliki nalar dan daya juang, umumnya akan mengambil jalan keluar dengan melakukan pergeseran atau perpindahan geografis. Termasuk dalam hal ini fenomena “pengusaha perantauan” yang merantau dari daerah asal mereka ke daerah lainnya, urbanisasi penduduk dari pedesaan ke perkotaan, dan juga pengungsian dari satu negeri ke negeri lainnya. Bukti empiris memperlihatkan contoh, bahwa pengungsi Vietnam yang menghebohkan beberapa waktu lalu, sebagian besar merupakan kaum pengusaha di negeri asalnya.
Dengan analogi yang sama, sejarah memunculkan fenomena sejenis pada peristiwa eksodusnya kaum Yahudi yang kemudian mendirikan negara Israel, hijrahnya Nabi Muhammad dari Mekkah ke Madinah serta hijrahnya para pejuang RI dari Yogyakarta pada tahun 1949.
(4)
Pada krisis global, solusinya adalah: “Fasten your belt!”, benarkah?
Krisis global tentunya mencengkeram hampir seluruh kawasan di dunia. Oleh sebab itu krisis ini tidak tepat untuk diatasi dengan jurus-jurus seperti disebutkan di atas. Satu-satunya jalan keluar yang selama ini dianjurkan oleh pakar ekonomi dan dianut oleh masyarakat di hampir semua negara adalah dengan jalan “fasten your belt” alias “kencangkan ikat pinggang Anda”.
Maka tidak heran kalau kita lihat pada masa krisis seperti sekarang, semua orang berusaha menghemat, pengeluaran benar-benar diawasi dan dikendalikan, tidak ada yang mau memulai transaksi jika tidak betul-betul bisa dipertanggungjawabkan.
Namun, jarang yang menyadari bahwa dengan bersikap demikian ketat, sebenarnya kita telah mengundang krisis yang lebih hebat lagi. Para pengusaha cerdas dan para ekonom yang arif mengkhawatirkan bahwa justru dengan sikap menahan diri yang berlebihan, perputaran roda perekonomian akan semakin berat. Dan sikap seperti itu pula yang akan menyebabkan masa krisis akan menjadi semakin panjang dan lama.
Sangat mengesankan apa yang dilakukan oleh Konosuke Matsushita pada era krisis tahun 1929, di mana ia dengan keyakinan penuh justru lebih meningkatkan pengeluaran dan transaksi-transaksi bisnisnya. Ia melatarbelakangi aksinya itu dengan kata-kata: “Jika semua orang menahan uangnya dan tidak bertransaksi, maka kehidupan ekonomi akan mati..”
Nah, sejalan dengan apa yang dilontarkan oleh Pak Matsushita, ijinkan saya menghimbau agar marilah kita hadapi dan atasi krisis global ini secara bersama dan serentak, dengan jalan tetap bertransaksi secara wajar. Harapannya adalah agar dalam waktu tidak terlalu lama lagi badai akan berlalu, dan kehidupan akan kembali membahagiakan kita semua. Amin.
Rusman Hakim
Pengamat Kewirausahaan
Gacerindo Entrepreneurial Leadership Center
E-mail: rusman@gacerindo.com
Portal: http://www.gacerindo.com/
Blog: http://rusmanhakim.blogspot.com/
Web: http://www.pempekpatrol.com/
Mobile: 0816.144.2792
1 comment:
terima kasih informasinya...ini kunjungan pertama saya...mohon untuk kunjungan balik..follow me..terima kasih...http://fransmania28design.blogspot.com
Post a Comment