SEBUAH PESAN KEPADA WIRAUSAHAWAN INDONESIA
Di era 1970-an, TVRI pernah menyiarkan siaran pembinaan kewirausahaan di bawah asuhan seorang tokoh bernama DR. Suparman Sumahamidjaya. Wah, inilah acara kegemaran saya, yang tidak pernah saya lewatkan setiap kali acara tsb. ditayangkan (setiap hari Selasa setiap minggu). Kalau tidak salah, itulah pertama kalinya -- dengan restu pemerintah – nilai-nilai kewirausahaan ditanamkan ke dalam benak masyarakat Indonesia melalui acara televisi. Tujuannya jelas, bahwa pemerintah menyadari keterbatasannya dalam hal penyediaan lapangan kerja, sehingga, dengan kampanye kewiraswastaan, masyarakat diharapkan dapat menolong dirinya sendiri secara ekonomi.
Di masa itu, istilah yang dipakai secara umum adalah “wiraswasta”, sedangkan istilah “wirausaha” baru muncul beberapa waktu kemudian, dan populer sampai sekarang. Menurut DR. Suparman, kata “wiraswasta” adalah terjemahan dari sebuah kata dalam bahasa asing (Perancis), “entrepreneur”, yang bila diuraikan akan menjadi seperti ini:
wira, berarti berani, jujur, tulus dan berbudi luhur
swa, artinya “sendiri”
sta, maknanya “berusaha”
Secara keseluruhan, kata-kata itu melukiskan figur seseorang yang menjalankan usaha secara mandiri, dilandasi sifat dan sikap yang luhur. Dengan demikian, seorang pengusaha, baik “wira”-swasta, mau pun “wira”-usaha, seharusnya memiliki sifat-sifat yang baik dan terpuji. Tidak berkolusi dengan pejabat, tidak memanipulasi takaran/timbangan, tidak serakah, tidak menyikut orang lain dan tidak mata duitan. Yang terakhir inilah yang sebenarnya ingin saya bahas dalam kesempatan ini.
Seperempat abad berlalu setelah era DR. Suparman, perkembangan kewirausahaan sungguh sangat menggembirakan. Meski pun pada kenyataannya, penerimaan Pegawai Negeri Sipil (PNS) masih diminati pelamar yang datang berduyun-duyun, namun di balik itu, ada fenomena yang bagi saya benar-benar mencengangkan. Sekarang ini, banyak sekali angkatan muda yang berminat, bahkan sangat terobsesi menerjuni bidang kewirausahaan. Kursus-kursus kewirausahan tumbuh bak jamur di musim hujan, bisnis waralaba terus merebak, tidak saja yang global, tapi terutama sekali yang lokal bertebaran di mana-mana. Klub-klub dan milis-milis entrepreneur juga bermunculan. Terlebih lagi, ternyata sudah banyak tokoh-tokoh muda Indonesia yang menjadi pakar bisnis, mentor-mentor kewirausahaan, konsultan-konsultan entrepreneurship yang naik ke panggung-panggung seminar, pelatihan serta lokakarya yang dengan begitu brilliannya membawakan topik-topik pembicaraan tentang kiat-kiat hidup sukses.
Terus terang saya kagum dan senang sekali dengan kenyataan bahwa kaum muda Indonesia sudah dapat berekspresi sedemikian rupa, cerdas dan bijak. Semoga fenomena ini tidak semata-mata fenomenal, seperti kata orang dulu, hangat-hangat tahi ayam, tapi akan terus berkembang dan bertumbuh. Makin banyak tokoh wirausaha yang dilahirkan, dan makin banyak pula pengusaha-pengusaha “bersih” yang muncul bahu-membahu memperkokoh ketahanan ekonomi bangsa.
Motivasi ala Amerika
Hanya ada satu hal yang masih mengusik perasaan saya. Dari berbagai pembicaraan di seminar, di pembicaraan sehari-hari bahkan di milis, terlalu sering saya mendengar ungkapan “bagaimana menjadi kaya”. Apalagi setelah nama Robert Kiyosaki melambung, maka pemeo “retired young, retired rich” seakan sudah menjadi jargon kalangan muda yang menamakan diri sebagai “entrepreneur”. Apa benar seorang entrepreneur sejati, memotivasi diri hanya sebatas “retired young, retired rich”? Pensiun muda pensiun kaya? Setelah itu apa?
Sebagai seorang pengamat kewirausahaan, saya melihat bahwa wacana profesionalisme, kewirausahaan serta kiat-kiat hidup sukses banyak didominasi oleh tokoh-tokoh yang berasal dari Amerika. Mereka inilah yang banyak mencuatkan kata-kata tentang kekayaan, tentang kelimpahan uang, rumah mewah sampai kapal pesiar dan pesawat pribadi. Tiga puluh tahun yang lalu saja, orang sudah kenal dengan yang namanya Napoleon Hill. Tokoh ini sangat masyhur dengan bukunya “Think and Grow Rich” (Berfikir dan Menjadi Kaya). Seorang tokoh lain, Tyler G. Hicks, dalam bab pertama bukunya “How To Start Your Own Business..”menulis: “Ketahuilah Nikmat Menjadi Kaya. Hanya Dengan Bekerja Di Rumah.dst..” serta bercerita bagaimana dia menghabiskan waktu liburnya di atas kapal pesiar. Anthony Robbins dalam “Awaken The Giant Within” juga menyinggung soal kekayaan materi berupa pesawat pribadinya. Lantas muncul lagi Robert Kiyosaki yang mengajarkan bagaimana menjadi kaya dengan jalan menyuruh uang bekerja untuk kita. Lalu populerlah pemeo yang tadi: “retired young, retired rich”..!!
Saya tidak mengatakan bahwa menjadi kaya itu salah. Bahkan dalam banyak hal, menjadi kaya itu jauh lebih baik dari pada menjadi miskin. Saya hanya khawatir, bahwa kita sedang berbicara kepada publik di Indonesia yang sedang parah-parahnya terjangkit demam konsumerisme, materialisme serta korupsi Bukan tidak mungkin, penghamburan kata-kata tentang kekayaan serta motivasi berlebihan tentang kekayaan akan menjadikan orang terbius dengan angan-angan yang melambung, sehingga suatu saat, sewaktu sadar bahwa kekayaan itu tidak datang dengan segera, akhirnya mereka mengambil jalan pintas.
Apakah tidak ada hal lain yang lebih ideal untuk memotivasi orang agar mau bekerja keras?
Kiranya perlu diperbandingkan, mengapa pembicara-pembicara Amerika menggunakan isu kekayaan sebagai motif, dan bagaimana dampaknya bila hal yang sama diterapkan di Indonesia. Betapa pun Amerika jelas berbeda dengan Indonesia. Negeri Paman Sam adalah negeri termakmur di dunia, negara terkuat yang didukung oleh sumber daya manusia paling berkualitas di seantero jagat. Tingkat kemiskinan sudah bisa dianggap nol. Oleh sebab itu, tidak akan ada lagi wacana yang menarik publik Amerika, apabila yang dibicarakan hanya sekadar tentang bagaimana keluar dari perangkap kemiskinan, atau bagaimana mengatasi status pengangguran dengan jalan menjadi wirausahawan. Jelas itu tidak akan menarik lagi. Harus dicarikan hal lain yang lebih bombastis. Maka kekayaanlah yang dianggap cukup “menjual”, karena dengan menjadi kaya barulah orang di Amerika merasa bermakna dan “terpandang”. Di suatu negeri yang rata-rata warganya sudah mapan dalam hal ekonomi, menjadi kaya (raya) hanyalah merupakan refleksi sebuah prestasi. Tidak ada beban moral atas kekayaan itu, karena semua orang di sekitar juga sudah hidup berkecukupan.
Bagaimana dengan di Indonesia?
Selama ini saya agak cemas, melihat betapa para motivator kita hanya mengedepankan isu kekayaan, kenikmatan hidup duniawi yang egoistis bahkan menjurus hedonis, serta mudahnya menjadi kaya, tanpa perlu kerja keras. Adakah kehidupan ini benar-benar semudah membalikkan tangan? Di tengah-tengah hiruk-pikuknya isu entrepreneurship sekarang ini, beberapa mentor, dalam usaha memotivasi para peminat bisnis, bahkan menggunakan slogan yang tidak tanggung-tanggung: “Kalau ingin kaya, jangan kerja keras, tapi jadilah pemalas..!”
Mungkin, beliau-beliau ini secara tersirat ingin menganjurkan apa yang disebut dengan “smart work”, kerja cerdas yang memungkinkan efisiensi waktu, biaya dan energi demi pencapaian target dalam bingkai waktu yang telah direncanakan. Dan bukannya “hard work” versi buruh pabrik yang nyaris tidak pernah merasakan manisnya madu kesuksesan, karena kesuksesan itu telah menjadi hak milik abadi dari para majikan mereka.
Namun demikian, slogan tetaplah slogan. Kalimat-kalimat pendek berisiko menyebabkan salah kaprah. Misalnya, menjadi pemalas itu tidak perlu diajarkan atau dianjurkan. Sifat malas memang sudah “bakat alam” semua manusia, apalagi orang Indonesia, termasuk saya. Jadi rasanya tidak perlulah menganjurkan orang menjadi pemalas. Kalau slogan lain mengatakan “Jadilah Kaya Hanya Dengan Bekerja Di Rumah”, maka kemungkinan besar orang akan menyerap kata-kata “kaya”nya saja, tapi mengabaikan kata “bekerja”. “Bekerja Di Rumah” akan menjadi berarti “Berleha-leha Di Rumah”. Pada saat sekian lama berleha-leha di rumah dan kekayaan tidak kunjung datang, maka jalan pintas pun menjadi pilihan berikut.
Banyak contoh tentang orang-orang yang frustasi karena kepingin cepat kaya, lalu mengambil jalan pintas. Antara lain, bagaimana beberapa pengusaha berubah menjadi pembobol-pembobol bank, sebagian lagi mengedarkan bahkan membangun pabrik narkotika, penipu-penipu melalui sms hadiah, para birokrat yang menjalankan korupsi berjamaah dan lain sebagainya.
Kalau kembali kepada slogan “retired young, retired rich”, hendaklah kita bertanya kepada diri sendiri, sudah sedemikian egoisnyakah kita? Di saat-saat bangsa dan negara sedang ambur-adul dengan rakyat miskin dan busung lapar yang masih begitu banyak bertebaran di seluruh pelosok tanah air, tegakah kita berfikir untuk menjadi kaya-raya, pensiun muda lalu pergi keliling dunia dengan kapal pesiar dan pesawat pribadi?
Barangkali ada baiknya kalau kita mengambil acuan yang lebih sesuai. Kalau kita harus ber-“xenophilia” (gandrung dengan segala sesuatu yang berasal dari negeri asing), maka kita dapat menemukan pebisnis-pebisnis yang sangat ideal, yang pengarahan-pengarahannya lebih sesuai dengan kondisi Indonesia, antara lain Kim Woo Chong, CEO sekaligus pendiri dari imperium bisnis asal Korea, Daewoo. Atau Akio Morita, salah satu pemilik perusahaan raksasa dari Jepang, yaitu Sony. Kalau harus nasionalis, kita akan dapat menemukan pengusaha dengan idealisme tinggi, tidak lain adalah Thayeb M. Gobel, pendiri PT National Gobel. Dan kalau kita harus berbicara secara sedikit spiritual, kita juga akan bisa menyimak apa yang dikatakan oleh Mahatma Gandhi, atau meneladani Nabi yang juga pengusaha sekaligus penguasa, yaitu Muhammad SAW.
Apa kata mereka dan bagaimana cara mereka memotivasi orang?
Tambahkanlah Sedikit Idealisme Dalam Berbisnis
Idola saya dalam dunia usaha, adalah Kim Woo Chong, pendiri Daewoo. Kim tidak pernah merekomendasikan aktivitas yang bersifat hura-hura atau hedonisme. Jangankan berlibur dengan menikmati nyamannya kapal pesiar, bermain golf pun tidak pernah ia lakukan, meski perangkat golf yang paling canggih dia punya. Padahal, umumnya pegusaha pasti memanfaatkan permainan ini paling tidak sebagai sarana lobi. Begitu juga nonton bioskop, nyanyi di karaoke, minum-minum di pub dan lain sebagainya, pantang bagi Kim Woo Chong.
Semua aktivitas yang bersifat hura-hura diharamkan oleh Kim. Karena apa? Ia berpendapat, meski memiliki uang triliunan rupiah, ia tidak berhak menggunakannya secara semena-mena. Apalagi untuk kegiatan yang tidak jelas manfaatnya. Setiap sen dari uang yang dikeluarkan, harus dapat dipertanggungjawabkan, karena semua uang tersebut berasal dari jerih payah serta tetesan keringat bayak orang. Mulai dari karyawan, buruh, mandor, manajer, pemasok barang, sampai pelanggan.
Kim juga tidak suka akan wacana “pensiun muda, pensiun kaya”. Ia sangat kecewa ketika suatu kali bertemu dengan seorang pemuda penyandang gelar MBA, yang menyatakan tidak sanggup bekerja di Daewoo karena takut kerja keras. Bahkan ketika ditanya apa cita-citanya, sang pemuda menjawab bahwa ia ingin bekerja di perusahaan asing yang mau memberinya gaji besar tanpa harus kerja keras. Setelah beberapa tahun, dengan uang gaji yang dikumpulkannya, ia akan berhenti kerja, pensiun, lalu bersama pacarnya akan membuka kafe dan hidup santai, tenang dan tenteram sepanjang hidup.
Sikap seperti ini, menurut Kim, adalah cerminan dari sikap mental “melempem dan egois” yang ditunjukkan oleh tipikal generasi muda Korea, yang terlanjur terkena “sindrom kenyamanan”, sebagai dampak kemajuan industrialisasi.
Sebaliknya dari egoisme, seharusnya setiap generasi memiliki semangat pengorbanan, bekerja demi kesejahteraan banyak orang dan terutama sekali, demi kesejahteraan generasi berikutnya. Itulah kunci kenapa Amerika menjadi sebuah negeri yang benar-benar makmur dengan rakyatnya yang sejahtera. Generasi pendahulu merekalah yang telah bekerja keras membangun Amerika dari sejak ditemukannya, diteruskan oleh generasi-generasi berikutnya, sampai terwujud Amerika yang kaya raya seperti sekarang ini. Itulah idealisme yang seyogyanya dikobarkan oleh para motivator bisnis di Indonesia.
Semua usaha atau perusahaan yang baik dan ideal, umumnya dimulai dari sebuah idealisme. Bukan sekadar untuk menjadi kaya sendiri untuk kemudian berfoya-foya keliling dunia dan menghabiskan waktu di klub-klub malam. Mari kita lihat:
1) DAEWOO: Kim Woo Chong memulai usahanya dengan satu acuan tentang bagaimana mengatasi penderitaan bangsanya seusai Perang Korea di mana negara tersebut jatuh ke dalam kondisi ekonomi yang benar-benar hancur. Ia tidak memvisualisasikan dirinya kelak menjadi orang kaya, tapi sebaliknya ia mencita-citakan bangsa dan negara Korea yang bisa mengejar ketinggalannya dalam bidang-bidang ekonomi dan teknologi, terhadap negara-negara maju seperti Amerika Serikat dan negara-negara Eropa. Untuk bisa mengejar ketinggalan itu, ia menyimpulkan bahwa orang Korea harus mampu bekerja dalam jumlah jam kerja yang 2 kali lebih banyak dari jam kerja orang Amerika. Kim kemudian mencontohkan, bagaimana ia sendiri bekerja setiap hari mulai dari jam 5 pagi sampai jam 9 malam, sementara orang lain bekerja mulai dari jam 9 pagi hingga jam 5 sore.
2) SONY CORP: Akio Morita, memutuskan untuk mendirikan perusahaannya, Sony, dengan satu motivasi yang muncul akibat melihat bagaimana hancur luluhnya Jepang setelah dibom atom oleh Amerika. Peristiwa tersebut merupakan indikator bahwa bangsa Jepang ternyata masih kalah di segala bidang oleh Amerika, oleh karenanya, bangsa Jepang harus menebus kekalahannya itu dengan bekerja dan belajar sungguh-sungguh. Tidak satu literatur pun yang menceritakan bahwa Akio Morita berkhayal untuk menjadi orang kaya yang pelesiran ke sana ke mari keliling dunia.
3) PT NATIONAL GOBEL: Thayeb Mohammad Gobel, tadinya adalah seorang karyawan yang bekerja untuk orang lain. Tapi hati kecilnya berkata lain, bahwa ia ingin memiliki usahanya sendiri. Niat dan cita-citanya itu segera dia cetuskan, segera setelah melihat bagaimana banyak orang di Jakarta mandi, mencuci bahkan berkumur di kali Ciliwung yang airnya begitu kotor dan keruh, jauh dari nilai-nilai kesehatan. Ia insyaf itulah gambaran kemiskinan rakyat Indonesia dan ia berbulat tekad untuk berkontribusi mengatasi penderitaan banyak orang melalui perusahaan yang didirikannya, PT National Gobel.
4) MAHATMA GANDHI: adalah seorang tokoh politik sekaligus spiritual di India. Ia memberikan pengarahannya kepada masyarakat banyak tentang nilai-nilai sebuah aktivitas (kerja), yang jauh lebih berharga daripada uang (hasil kerja):” Kebahagian sejati itu terletak pada aktivitas kerja, bukan pada hasil kerja itu sendiri”..
5) NABI MUHAMMAD: Nabi Muhammad adalah seorang pedagang atau pengusaha, dan dalam perjalanan hidupnya ia bahkan menjadi seorang Khalifah (Kepala Negara). Sebagai seorang pemimpin yang berkuasa atas seluruh Jazirah Arab, maka kekayaan beliau sudah sulit untuk diukur, saking kayanya. Tapi apa yang dijalankan beliau dalam hidupnya adalah, ia hanya tinggal di sebuah rumah gubuk sederhana, tidur di atas selembar tikar sederhana pula, serta makan ala kadarnya. Jauh dari yang namanya hura-hura dan pemanjaan diri.
Dalam konteks apa yang saya paparkan di atas, maka saya ingin sekali mengajak saudara-saudara, teman-teman dan rekan-rekan para entrepreneur, calon entrepreneur, para mentor dan pelatih bisnis, instruktur pelatihan kewirausahan, para pembicara seminar dan lokakarya, agar seyogyanya dapat me-review isu-isu motivasinya yang selama ini mungkin hanya sebatas pada kekayaan materi semata. Sebab, isu kekayaan berisiko menimbulkan berbagai dampak yang kurang baik, antara lain orang menjadi egoistis dan kurang kepedulian pada sesama. Karena, bukankah kalau seseorang ingin menjadi kaya, harus ada pula mereka yang miskin? Di samping itu, motivasi kekayaan biasanya bersifat rapuh, karena, jika setelah sekian waktu bekerja dan ternyata kekayaan tidak kunjung datang, maka orang akan mudah putus asa dan malas bekerja lebih jauh.
Dan yang terakhir, orang akan terperangkap dalam sebuah gaya hidup yang disebut “Money Centered Life”, kehidupan yang berpusat kepada uang. Pada saat uang meninggalkan seseorang, maka hancur pulalah hidup orang tersebut. Sudahkan Anda pernah membaca kisah tentang akhir kehidupan yang tragis dari orang-orang super kaya Amerika yang terjebak dalam “Money Centered Life”, seperti Charles Schwab, Jessy Livermore, Ivan Krueger, Samuel Insull, Howard Hopson, Arthur Cotton, Richard Whitney, Leon Frasier, dan Albert Fall? Kalau belum dan Anda tertarik untuk membacanya, Anda bisa menghubungi saya dan saya akan mengirimkan 1 kopi dari cerita tersebut.
Tulisan ini saya persembahkan kepada segenap bangsa Indonesia tidak dengan maksud apa-apa, selain daripada panggilan jiwa untuk peduli kepada nasib bangsa ini, nasib sebagian besar saudara-saudara kita yang masih diterpa berbagai penderitaan berupa kemiskinan, kemelaratan, kelaparan serta kebodohan. Marilah kita bersama-sama bekerja keras membangun negeri tercinta ini melalui jalur apa saja sesuai dengan kemampuan kita masing-masing, terutama para rekan sejawat yang menyatakan diri sebagai entrepreneur, bekerjalah terus guna meraih kesejahteraan yang maksimal dan merata, yang bisa dinikmati semua warganegara secara adil. Lupakanlah wacana untuk menjadi kaya sendiri, dan lupakanlah semua khayalan tentang pensiun muda, karena wirausahawan tidak mengenal kata pensiun. Selama hayat dikandung badan, selama itu pula kita bisa berkontribusi pada orang banyak. Lupakan pula semua kesenangan duniawi, pelesiran dan hura-hura. Jangan lakukan itu selama masih sangat banyak saudara-saudara kita yang miskin dan kelaparan, yang anak-anaknya kurus kering kurang gizi dan tidak mampu bersekolah.
SALAM WIRAUSAHA
Rusman Hakim
Pengamat Kewirausahaan
rusman@gacerindo.com
Mobile: 0816.144.2792
Di era 1970-an, TVRI pernah menyiarkan siaran pembinaan kewirausahaan di bawah asuhan seorang tokoh bernama DR. Suparman Sumahamidjaya. Wah, inilah acara kegemaran saya, yang tidak pernah saya lewatkan setiap kali acara tsb. ditayangkan (setiap hari Selasa setiap minggu). Kalau tidak salah, itulah pertama kalinya -- dengan restu pemerintah – nilai-nilai kewirausahaan ditanamkan ke dalam benak masyarakat Indonesia melalui acara televisi. Tujuannya jelas, bahwa pemerintah menyadari keterbatasannya dalam hal penyediaan lapangan kerja, sehingga, dengan kampanye kewiraswastaan, masyarakat diharapkan dapat menolong dirinya sendiri secara ekonomi.
Di masa itu, istilah yang dipakai secara umum adalah “wiraswasta”, sedangkan istilah “wirausaha” baru muncul beberapa waktu kemudian, dan populer sampai sekarang. Menurut DR. Suparman, kata “wiraswasta” adalah terjemahan dari sebuah kata dalam bahasa asing (Perancis), “entrepreneur”, yang bila diuraikan akan menjadi seperti ini:
wira, berarti berani, jujur, tulus dan berbudi luhur
swa, artinya “sendiri”
sta, maknanya “berusaha”
Secara keseluruhan, kata-kata itu melukiskan figur seseorang yang menjalankan usaha secara mandiri, dilandasi sifat dan sikap yang luhur. Dengan demikian, seorang pengusaha, baik “wira”-swasta, mau pun “wira”-usaha, seharusnya memiliki sifat-sifat yang baik dan terpuji. Tidak berkolusi dengan pejabat, tidak memanipulasi takaran/timbangan, tidak serakah, tidak menyikut orang lain dan tidak mata duitan. Yang terakhir inilah yang sebenarnya ingin saya bahas dalam kesempatan ini.
Seperempat abad berlalu setelah era DR. Suparman, perkembangan kewirausahaan sungguh sangat menggembirakan. Meski pun pada kenyataannya, penerimaan Pegawai Negeri Sipil (PNS) masih diminati pelamar yang datang berduyun-duyun, namun di balik itu, ada fenomena yang bagi saya benar-benar mencengangkan. Sekarang ini, banyak sekali angkatan muda yang berminat, bahkan sangat terobsesi menerjuni bidang kewirausahaan. Kursus-kursus kewirausahan tumbuh bak jamur di musim hujan, bisnis waralaba terus merebak, tidak saja yang global, tapi terutama sekali yang lokal bertebaran di mana-mana. Klub-klub dan milis-milis entrepreneur juga bermunculan. Terlebih lagi, ternyata sudah banyak tokoh-tokoh muda Indonesia yang menjadi pakar bisnis, mentor-mentor kewirausahaan, konsultan-konsultan entrepreneurship yang naik ke panggung-panggung seminar, pelatihan serta lokakarya yang dengan begitu brilliannya membawakan topik-topik pembicaraan tentang kiat-kiat hidup sukses.
Terus terang saya kagum dan senang sekali dengan kenyataan bahwa kaum muda Indonesia sudah dapat berekspresi sedemikian rupa, cerdas dan bijak. Semoga fenomena ini tidak semata-mata fenomenal, seperti kata orang dulu, hangat-hangat tahi ayam, tapi akan terus berkembang dan bertumbuh. Makin banyak tokoh wirausaha yang dilahirkan, dan makin banyak pula pengusaha-pengusaha “bersih” yang muncul bahu-membahu memperkokoh ketahanan ekonomi bangsa.
Motivasi ala Amerika
Hanya ada satu hal yang masih mengusik perasaan saya. Dari berbagai pembicaraan di seminar, di pembicaraan sehari-hari bahkan di milis, terlalu sering saya mendengar ungkapan “bagaimana menjadi kaya”. Apalagi setelah nama Robert Kiyosaki melambung, maka pemeo “retired young, retired rich” seakan sudah menjadi jargon kalangan muda yang menamakan diri sebagai “entrepreneur”. Apa benar seorang entrepreneur sejati, memotivasi diri hanya sebatas “retired young, retired rich”? Pensiun muda pensiun kaya? Setelah itu apa?
Sebagai seorang pengamat kewirausahaan, saya melihat bahwa wacana profesionalisme, kewirausahaan serta kiat-kiat hidup sukses banyak didominasi oleh tokoh-tokoh yang berasal dari Amerika. Mereka inilah yang banyak mencuatkan kata-kata tentang kekayaan, tentang kelimpahan uang, rumah mewah sampai kapal pesiar dan pesawat pribadi. Tiga puluh tahun yang lalu saja, orang sudah kenal dengan yang namanya Napoleon Hill. Tokoh ini sangat masyhur dengan bukunya “Think and Grow Rich” (Berfikir dan Menjadi Kaya). Seorang tokoh lain, Tyler G. Hicks, dalam bab pertama bukunya “How To Start Your Own Business..”menulis: “Ketahuilah Nikmat Menjadi Kaya. Hanya Dengan Bekerja Di Rumah.dst..” serta bercerita bagaimana dia menghabiskan waktu liburnya di atas kapal pesiar. Anthony Robbins dalam “Awaken The Giant Within” juga menyinggung soal kekayaan materi berupa pesawat pribadinya. Lantas muncul lagi Robert Kiyosaki yang mengajarkan bagaimana menjadi kaya dengan jalan menyuruh uang bekerja untuk kita. Lalu populerlah pemeo yang tadi: “retired young, retired rich”..!!
Saya tidak mengatakan bahwa menjadi kaya itu salah. Bahkan dalam banyak hal, menjadi kaya itu jauh lebih baik dari pada menjadi miskin. Saya hanya khawatir, bahwa kita sedang berbicara kepada publik di Indonesia yang sedang parah-parahnya terjangkit demam konsumerisme, materialisme serta korupsi Bukan tidak mungkin, penghamburan kata-kata tentang kekayaan serta motivasi berlebihan tentang kekayaan akan menjadikan orang terbius dengan angan-angan yang melambung, sehingga suatu saat, sewaktu sadar bahwa kekayaan itu tidak datang dengan segera, akhirnya mereka mengambil jalan pintas.
Apakah tidak ada hal lain yang lebih ideal untuk memotivasi orang agar mau bekerja keras?
Kiranya perlu diperbandingkan, mengapa pembicara-pembicara Amerika menggunakan isu kekayaan sebagai motif, dan bagaimana dampaknya bila hal yang sama diterapkan di Indonesia. Betapa pun Amerika jelas berbeda dengan Indonesia. Negeri Paman Sam adalah negeri termakmur di dunia, negara terkuat yang didukung oleh sumber daya manusia paling berkualitas di seantero jagat. Tingkat kemiskinan sudah bisa dianggap nol. Oleh sebab itu, tidak akan ada lagi wacana yang menarik publik Amerika, apabila yang dibicarakan hanya sekadar tentang bagaimana keluar dari perangkap kemiskinan, atau bagaimana mengatasi status pengangguran dengan jalan menjadi wirausahawan. Jelas itu tidak akan menarik lagi. Harus dicarikan hal lain yang lebih bombastis. Maka kekayaanlah yang dianggap cukup “menjual”, karena dengan menjadi kaya barulah orang di Amerika merasa bermakna dan “terpandang”. Di suatu negeri yang rata-rata warganya sudah mapan dalam hal ekonomi, menjadi kaya (raya) hanyalah merupakan refleksi sebuah prestasi. Tidak ada beban moral atas kekayaan itu, karena semua orang di sekitar juga sudah hidup berkecukupan.
Bagaimana dengan di Indonesia?
Selama ini saya agak cemas, melihat betapa para motivator kita hanya mengedepankan isu kekayaan, kenikmatan hidup duniawi yang egoistis bahkan menjurus hedonis, serta mudahnya menjadi kaya, tanpa perlu kerja keras. Adakah kehidupan ini benar-benar semudah membalikkan tangan? Di tengah-tengah hiruk-pikuknya isu entrepreneurship sekarang ini, beberapa mentor, dalam usaha memotivasi para peminat bisnis, bahkan menggunakan slogan yang tidak tanggung-tanggung: “Kalau ingin kaya, jangan kerja keras, tapi jadilah pemalas..!”
Mungkin, beliau-beliau ini secara tersirat ingin menganjurkan apa yang disebut dengan “smart work”, kerja cerdas yang memungkinkan efisiensi waktu, biaya dan energi demi pencapaian target dalam bingkai waktu yang telah direncanakan. Dan bukannya “hard work” versi buruh pabrik yang nyaris tidak pernah merasakan manisnya madu kesuksesan, karena kesuksesan itu telah menjadi hak milik abadi dari para majikan mereka.
Namun demikian, slogan tetaplah slogan. Kalimat-kalimat pendek berisiko menyebabkan salah kaprah. Misalnya, menjadi pemalas itu tidak perlu diajarkan atau dianjurkan. Sifat malas memang sudah “bakat alam” semua manusia, apalagi orang Indonesia, termasuk saya. Jadi rasanya tidak perlulah menganjurkan orang menjadi pemalas. Kalau slogan lain mengatakan “Jadilah Kaya Hanya Dengan Bekerja Di Rumah”, maka kemungkinan besar orang akan menyerap kata-kata “kaya”nya saja, tapi mengabaikan kata “bekerja”. “Bekerja Di Rumah” akan menjadi berarti “Berleha-leha Di Rumah”. Pada saat sekian lama berleha-leha di rumah dan kekayaan tidak kunjung datang, maka jalan pintas pun menjadi pilihan berikut.
Banyak contoh tentang orang-orang yang frustasi karena kepingin cepat kaya, lalu mengambil jalan pintas. Antara lain, bagaimana beberapa pengusaha berubah menjadi pembobol-pembobol bank, sebagian lagi mengedarkan bahkan membangun pabrik narkotika, penipu-penipu melalui sms hadiah, para birokrat yang menjalankan korupsi berjamaah dan lain sebagainya.
Kalau kembali kepada slogan “retired young, retired rich”, hendaklah kita bertanya kepada diri sendiri, sudah sedemikian egoisnyakah kita? Di saat-saat bangsa dan negara sedang ambur-adul dengan rakyat miskin dan busung lapar yang masih begitu banyak bertebaran di seluruh pelosok tanah air, tegakah kita berfikir untuk menjadi kaya-raya, pensiun muda lalu pergi keliling dunia dengan kapal pesiar dan pesawat pribadi?
Barangkali ada baiknya kalau kita mengambil acuan yang lebih sesuai. Kalau kita harus ber-“xenophilia” (gandrung dengan segala sesuatu yang berasal dari negeri asing), maka kita dapat menemukan pebisnis-pebisnis yang sangat ideal, yang pengarahan-pengarahannya lebih sesuai dengan kondisi Indonesia, antara lain Kim Woo Chong, CEO sekaligus pendiri dari imperium bisnis asal Korea, Daewoo. Atau Akio Morita, salah satu pemilik perusahaan raksasa dari Jepang, yaitu Sony. Kalau harus nasionalis, kita akan dapat menemukan pengusaha dengan idealisme tinggi, tidak lain adalah Thayeb M. Gobel, pendiri PT National Gobel. Dan kalau kita harus berbicara secara sedikit spiritual, kita juga akan bisa menyimak apa yang dikatakan oleh Mahatma Gandhi, atau meneladani Nabi yang juga pengusaha sekaligus penguasa, yaitu Muhammad SAW.
Apa kata mereka dan bagaimana cara mereka memotivasi orang?
Tambahkanlah Sedikit Idealisme Dalam Berbisnis
Idola saya dalam dunia usaha, adalah Kim Woo Chong, pendiri Daewoo. Kim tidak pernah merekomendasikan aktivitas yang bersifat hura-hura atau hedonisme. Jangankan berlibur dengan menikmati nyamannya kapal pesiar, bermain golf pun tidak pernah ia lakukan, meski perangkat golf yang paling canggih dia punya. Padahal, umumnya pegusaha pasti memanfaatkan permainan ini paling tidak sebagai sarana lobi. Begitu juga nonton bioskop, nyanyi di karaoke, minum-minum di pub dan lain sebagainya, pantang bagi Kim Woo Chong.
Semua aktivitas yang bersifat hura-hura diharamkan oleh Kim. Karena apa? Ia berpendapat, meski memiliki uang triliunan rupiah, ia tidak berhak menggunakannya secara semena-mena. Apalagi untuk kegiatan yang tidak jelas manfaatnya. Setiap sen dari uang yang dikeluarkan, harus dapat dipertanggungjawabkan, karena semua uang tersebut berasal dari jerih payah serta tetesan keringat bayak orang. Mulai dari karyawan, buruh, mandor, manajer, pemasok barang, sampai pelanggan.
Kim juga tidak suka akan wacana “pensiun muda, pensiun kaya”. Ia sangat kecewa ketika suatu kali bertemu dengan seorang pemuda penyandang gelar MBA, yang menyatakan tidak sanggup bekerja di Daewoo karena takut kerja keras. Bahkan ketika ditanya apa cita-citanya, sang pemuda menjawab bahwa ia ingin bekerja di perusahaan asing yang mau memberinya gaji besar tanpa harus kerja keras. Setelah beberapa tahun, dengan uang gaji yang dikumpulkannya, ia akan berhenti kerja, pensiun, lalu bersama pacarnya akan membuka kafe dan hidup santai, tenang dan tenteram sepanjang hidup.
Sikap seperti ini, menurut Kim, adalah cerminan dari sikap mental “melempem dan egois” yang ditunjukkan oleh tipikal generasi muda Korea, yang terlanjur terkena “sindrom kenyamanan”, sebagai dampak kemajuan industrialisasi.
Sebaliknya dari egoisme, seharusnya setiap generasi memiliki semangat pengorbanan, bekerja demi kesejahteraan banyak orang dan terutama sekali, demi kesejahteraan generasi berikutnya. Itulah kunci kenapa Amerika menjadi sebuah negeri yang benar-benar makmur dengan rakyatnya yang sejahtera. Generasi pendahulu merekalah yang telah bekerja keras membangun Amerika dari sejak ditemukannya, diteruskan oleh generasi-generasi berikutnya, sampai terwujud Amerika yang kaya raya seperti sekarang ini. Itulah idealisme yang seyogyanya dikobarkan oleh para motivator bisnis di Indonesia.
Semua usaha atau perusahaan yang baik dan ideal, umumnya dimulai dari sebuah idealisme. Bukan sekadar untuk menjadi kaya sendiri untuk kemudian berfoya-foya keliling dunia dan menghabiskan waktu di klub-klub malam. Mari kita lihat:
1) DAEWOO: Kim Woo Chong memulai usahanya dengan satu acuan tentang bagaimana mengatasi penderitaan bangsanya seusai Perang Korea di mana negara tersebut jatuh ke dalam kondisi ekonomi yang benar-benar hancur. Ia tidak memvisualisasikan dirinya kelak menjadi orang kaya, tapi sebaliknya ia mencita-citakan bangsa dan negara Korea yang bisa mengejar ketinggalannya dalam bidang-bidang ekonomi dan teknologi, terhadap negara-negara maju seperti Amerika Serikat dan negara-negara Eropa. Untuk bisa mengejar ketinggalan itu, ia menyimpulkan bahwa orang Korea harus mampu bekerja dalam jumlah jam kerja yang 2 kali lebih banyak dari jam kerja orang Amerika. Kim kemudian mencontohkan, bagaimana ia sendiri bekerja setiap hari mulai dari jam 5 pagi sampai jam 9 malam, sementara orang lain bekerja mulai dari jam 9 pagi hingga jam 5 sore.
2) SONY CORP: Akio Morita, memutuskan untuk mendirikan perusahaannya, Sony, dengan satu motivasi yang muncul akibat melihat bagaimana hancur luluhnya Jepang setelah dibom atom oleh Amerika. Peristiwa tersebut merupakan indikator bahwa bangsa Jepang ternyata masih kalah di segala bidang oleh Amerika, oleh karenanya, bangsa Jepang harus menebus kekalahannya itu dengan bekerja dan belajar sungguh-sungguh. Tidak satu literatur pun yang menceritakan bahwa Akio Morita berkhayal untuk menjadi orang kaya yang pelesiran ke sana ke mari keliling dunia.
3) PT NATIONAL GOBEL: Thayeb Mohammad Gobel, tadinya adalah seorang karyawan yang bekerja untuk orang lain. Tapi hati kecilnya berkata lain, bahwa ia ingin memiliki usahanya sendiri. Niat dan cita-citanya itu segera dia cetuskan, segera setelah melihat bagaimana banyak orang di Jakarta mandi, mencuci bahkan berkumur di kali Ciliwung yang airnya begitu kotor dan keruh, jauh dari nilai-nilai kesehatan. Ia insyaf itulah gambaran kemiskinan rakyat Indonesia dan ia berbulat tekad untuk berkontribusi mengatasi penderitaan banyak orang melalui perusahaan yang didirikannya, PT National Gobel.
4) MAHATMA GANDHI: adalah seorang tokoh politik sekaligus spiritual di India. Ia memberikan pengarahannya kepada masyarakat banyak tentang nilai-nilai sebuah aktivitas (kerja), yang jauh lebih berharga daripada uang (hasil kerja):” Kebahagian sejati itu terletak pada aktivitas kerja, bukan pada hasil kerja itu sendiri”..
5) NABI MUHAMMAD: Nabi Muhammad adalah seorang pedagang atau pengusaha, dan dalam perjalanan hidupnya ia bahkan menjadi seorang Khalifah (Kepala Negara). Sebagai seorang pemimpin yang berkuasa atas seluruh Jazirah Arab, maka kekayaan beliau sudah sulit untuk diukur, saking kayanya. Tapi apa yang dijalankan beliau dalam hidupnya adalah, ia hanya tinggal di sebuah rumah gubuk sederhana, tidur di atas selembar tikar sederhana pula, serta makan ala kadarnya. Jauh dari yang namanya hura-hura dan pemanjaan diri.
Dalam konteks apa yang saya paparkan di atas, maka saya ingin sekali mengajak saudara-saudara, teman-teman dan rekan-rekan para entrepreneur, calon entrepreneur, para mentor dan pelatih bisnis, instruktur pelatihan kewirausahan, para pembicara seminar dan lokakarya, agar seyogyanya dapat me-review isu-isu motivasinya yang selama ini mungkin hanya sebatas pada kekayaan materi semata. Sebab, isu kekayaan berisiko menimbulkan berbagai dampak yang kurang baik, antara lain orang menjadi egoistis dan kurang kepedulian pada sesama. Karena, bukankah kalau seseorang ingin menjadi kaya, harus ada pula mereka yang miskin? Di samping itu, motivasi kekayaan biasanya bersifat rapuh, karena, jika setelah sekian waktu bekerja dan ternyata kekayaan tidak kunjung datang, maka orang akan mudah putus asa dan malas bekerja lebih jauh.
Dan yang terakhir, orang akan terperangkap dalam sebuah gaya hidup yang disebut “Money Centered Life”, kehidupan yang berpusat kepada uang. Pada saat uang meninggalkan seseorang, maka hancur pulalah hidup orang tersebut. Sudahkan Anda pernah membaca kisah tentang akhir kehidupan yang tragis dari orang-orang super kaya Amerika yang terjebak dalam “Money Centered Life”, seperti Charles Schwab, Jessy Livermore, Ivan Krueger, Samuel Insull, Howard Hopson, Arthur Cotton, Richard Whitney, Leon Frasier, dan Albert Fall? Kalau belum dan Anda tertarik untuk membacanya, Anda bisa menghubungi saya dan saya akan mengirimkan 1 kopi dari cerita tersebut.
Tulisan ini saya persembahkan kepada segenap bangsa Indonesia tidak dengan maksud apa-apa, selain daripada panggilan jiwa untuk peduli kepada nasib bangsa ini, nasib sebagian besar saudara-saudara kita yang masih diterpa berbagai penderitaan berupa kemiskinan, kemelaratan, kelaparan serta kebodohan. Marilah kita bersama-sama bekerja keras membangun negeri tercinta ini melalui jalur apa saja sesuai dengan kemampuan kita masing-masing, terutama para rekan sejawat yang menyatakan diri sebagai entrepreneur, bekerjalah terus guna meraih kesejahteraan yang maksimal dan merata, yang bisa dinikmati semua warganegara secara adil. Lupakanlah wacana untuk menjadi kaya sendiri, dan lupakanlah semua khayalan tentang pensiun muda, karena wirausahawan tidak mengenal kata pensiun. Selama hayat dikandung badan, selama itu pula kita bisa berkontribusi pada orang banyak. Lupakan pula semua kesenangan duniawi, pelesiran dan hura-hura. Jangan lakukan itu selama masih sangat banyak saudara-saudara kita yang miskin dan kelaparan, yang anak-anaknya kurus kering kurang gizi dan tidak mampu bersekolah.
SALAM WIRAUSAHA
Rusman Hakim
Pengamat Kewirausahaan
rusman@gacerindo.com
Mobile: 0816.144.2792
2 comments:
Wah bisa jadi buku lagi nih Man.
Budiman Hakim
Acara "pembinaan kewirausahaan" di TVRI tahun 70'an
hehe maaf nih saya belom lahir.
Tapi Napoleon Hill walau sudah 30 tahun yang lalu
saya kenal dan bukunya masih banyak dijual :)
Yang pasti kita beda generasi Pak Rusman, Tetapi saya
sangat senang bisa baca sesuatu yang baru dari masa lalu
dengan pemikiran yang sangat cocok dengan pemikiran jaman sekarang.
http://rahasia-bisnis.blogspot.com
http://aneka-cd.t35.com
Post a Comment