Saturday, May 27, 2006

KISAH SANG MENTOR (Bagian II..)

KISAH SANG MENTOR (Bagian II ..)

Sampai di tempat yang dituju, ia heran karena ada sebuah mobil jenis niaga parkir di depan warung. Meski begitu, ia tetap bergegas masuk ke dalam ruang tamu. Di situ ia menjumpai seorang pria sedang duduk menunggu sendirian sambil membalik-balik majalah usang yang memang tersedia di meja. Ketika pria ini menoleh ke arahnya, lagi-lagi Wawan terheran-heran, karena ternyata sang tamu adalah seseorang yang sudah ia kenal. Bahkan, amat sangat kenal, karena dia inilah salah seorang pejabat tinggi dari perusahaan pesaing terberatnya, PT Harimau Sakti. Mereka sudah beberapa kali bertemu ketika mengikuti tender di instansi-instansi pemerintah.

“Hai, Pak Hadi!? Lho kok bisa ada di sini Pak?”, Wawan menyapa sambil mengekspresikan keheranannya. Yang disapa segera berdiri menyambut tidak kalah akrabnya: “Halo Pak Darmawan..! Apa kabar, Pak? Saya sudah menunggu Bapak dari setengah jam yang lalu.. Selamat datang dan selamat jumpa Pak!”, sambil tertawa ia mengulurkan tangan untuk bersalaman.

“Lho..? Pak Hadi menunggu saya? Ah, Bapak pasti bergurau ya..?”, Wawan mencoba tersenyum sambil berkata dalam hati, ada lelucon apa ini?

Namun orang yang dipanggil Pak Hadi itu menjawab dengan serius: “Benar Pak Darmawan. Saya diperintah Pak Citra untuk datang ke mari menunggu Bapak. Katanya ada yang mau dibicarakan dengan beliau..” Bagi Wawan, kalau di dunia ini ada teka-teki yang paling sulit, maka kejadian itu merupakan teka-teki yang lebih sulit lagi untuk ditebak. Tapi seorang petinggi perusahaan sekaliber Hadi tentu tidak akan melecehkan dirinya dengan gurauan yang tidak pada tempatnya. Ia merasa air mukanya menjadi bodoh, lalu bertanya lirih: “Pak Citra itu siapa..?”

“Ini lho, Pak? Yang punya rumah dan warung ini, namanya Pak Citra. Dia bos saya, pendiri sekaligus pemilik perusahaan PT Harimau Sakti..!” Pak Hadi menjelaskan.

“Oh .. eh.. Pak Soma maksud Bapak?”, tanya Wawan gugup.

“Iya! Di kampung ini, Pak Citra memang dikenal dengan nama Pak Soma. Tapi di kantor kami beliau dipanggil dengan sebutan Pak Citra. Kan nama lengkap beliau: Citra Sumawidjaya..”

Penjelasan Hadi yang terakhir ini benar-benar membuat limbung Wawan. Bagai ada petir di siang bolong, begitulah yang dirasakan olehnya. Otaknya berputar: “Aku kenal Pak Soma dari kecil. Ia kan cuma seorang warga sederhana dari kampung ini?”
Kalau betul Pak Soma itu seperti apa yang dijelaskan oleh Pak Hadi ini, maka sungguh ia akan malu karena seakan-akan telah “pamer kekayaan” dengan berhajat memperbaiki rumah seorang bos besar pemilik perusahaan nasional bertaraf internasional. Dan pantaslah kalau 20 tahun yang lalu, sang pemilik warung itu mampu memberikan petuah-petuahnya yang “sophisticated. Tapi yang betul-betul membuatnya tidak habis pikir, mengapa Pak Soma harus membawakan diri sebagai seorang tua lugu dan sederhana yang hidup di kampung? Dan bagaimana pula caranya dia bisa mengawasi dan mengatur perusahaan dari sebuah kampung yang jauh dan terpencil ini?

Belum selesai rasa terkejut dan tidak percaya yang meledak di benak Wawan, tiba-tiba terdengar suara salam: “Assalamu ‘alaikum..” dari dalam rumah dan sesosok bayangan menerobos masuk ruang tamu. Ternyata ialah Pak Soma, atau Pak Citra Sumawidjaya. “Alaikum salam..”, hampir serentak Wawan dan Hadi menjawab sekaligus menghampiri serta menjabat tangan tokoh yang sudah sangat senior ini. Wawan bahkan sampai mencium tangan serta memeluk Pak Soma-nya itu sambil setengah membungkuk, tanda rasa hormat yang sangat dalam.

Untuk beberapa menit terjadi basa-basi di antara mereka, sebelum kemudian Pak Soma mempersilahkan tamu-tamunya untuk duduk. Ibu Soma pun lantas bergabung dengan mereka. Tuan rumah tersenyum ramah lalu berkata: “Pertama-tama saya ingin mohon maaf sebesar-besarnya pada Wawan, yang saat ini pasti dilanda kebingungan. Iya kan Wan?” Semua yang hadir tertawa dan Wawan pun mau tidak mau juga tertawa tersipu-sipu. “Benar Pak Soma. Saya bingung dan tolong jelaskan semua ini..” ujarnya.

“Baik..baik. Langsung saja saya ceritakan semua.. Saya orang asli kampung ini. Hanya saja, karena kedua orang tua saya meninggal pada saat saya masih muda, maka saya putuskan untuk pergi merantau ke kota bersama istri. Waktu itu saya baru berusia 20 tahun, sedangkan kamu belum ada, Wan”, Pak Soma mengawali ceritanya. “Rumah ini kami titipkan pada seorang saudara, dan pergi dengan bekal sekadarnya saja.”

“Di kota kami numpang tinggal di rumah seorang teman dari orang tua saya selama kira-kira dua tahun untuk memulai usaha. Syukur bahwa Tuhan memberkahi usaha kami sehingga dalam waktu 10 tahun, usaha tersebut berkembang pesat sekali. Kami tidak saja mampu membangun rumah besar untuk tempat tinggal, tapi bahkan bisa membangun 2 buah perusahaan sekaligus dalam kurun waktu itu. Tahun-tahun selanjutnya bahkan merupakan rangkaian kesuksesan, sehingga terbentuklah sebuah kelompok usaha PT Harimau Sakti seperti yang sudah kamu tahu, Wan..”, kata Pak Soma sambil menoleh ke arah Darmawan.

“Pada tahun ke 16 perantauan kami di kota, saya putuskan untuk mengangkat sebuah Dewan Direksi yang akan mengelola perusahaan secara langsung, lalu kami kembali ke kampung ini. Saya ingat benar, kamu waktu itu kamu baru berusia 9 tahun, Wawan..”

“Ya, samar-samar saya ingat kejadian itu Pak..”, kata Darmawan lirih. “Tapi, sebetulnya apa penyebabnya sampai Bapak memutuskan kembali ke kampung, padahal waktu itu perusahaan Bapak sedang maju-majunya?”

“Kamu tahu Wan. Saya ini orang kampung dan semula merantau ke kota karena terpaksa. Ternyata, suasana pergaulan bisnis di kota amat berbeda dengan kehidupan di kampung. Saya merasakan, lingkungan bisnis di kota itu tidak nyaman, orang berhubungan satu sama lain dengan senyum palsu, tiada ketulusan, tampak akrab tapi sebenarnya mencari kesempatan untuk saling menjatuhkan satu sama lain. Sahabat hanya ada pada saat kita jaya, menghilang pada saat kita susah. Segala sesuatu diukur dengan uang. Kalau tiada uang, maka tidak ada senyum, tidak ada pula sahabat. Itulah dunia bisnis di kota.” Sampai di situ nada suara Pak Soma agak meninggi. Lalu ia melanjutkan.

“Lain halnya dengan di kampung. Di sini, persahabatan dilaksanakan secara murni. Basisnya persaudaraan semata. Tiada pamrih, tiada intrik dan tiada provokasi yang disebabkan uang. Suasana tenang, damai dan tenteram. Saya tidak bisa lari dari kenikmatan kampung seperti ini. Oleh karenanya, begitu usaha saya mapan, saya putuskan kembali ke sini. Semua urusan usaha saya percayakan pada Direksi. Salah satu dari anggota Direksi itu, ya si Hadi ini..” kata Pak Soma sambil menoleh ke Pak Hadi. Yang disebut terakhir ini tersenyum.

“Lantas bagaimana cara Bapak sebagai pemilik, memantau kinerja perusahaan itu Pak? Kampung ini kan sangat jauh dari kota? Dan mengapa pula Bapak harus terus menerus menyamar, membawakan diri sebagai penjaga warung sederhana selama bertahun-tahun?” Wawan bertanya.

“Sudah saya katakan bahwa saya sangat menikmati suasana kampung yang damai dan tenteram ini. Saya tidak mau kehilangan itu. Kalau saya kembali ke sini dan berubah menjadi orang kaya raya, maka pasti pandangan orang-orang sekitar jadi berubah pula. Mereka akan berkata, Pak Soma sekarang bukan Pak Soma yang dulu lagi. Pak Soma sekarang ini bau duit. Lantas, orang-orang akan memasang senyum palsu saat berjumpa dengan saya dan memperlakukan saya dengan cara yang berbeda. Nah itulah yang akan merusak suasana. Bisa-bisa budaya kota yang materialistis dan penuh kepalsuan akan pindah ke sini. Itu yang tidak saya kehendaki. Maka sebisa mungkin saya berusaha untuk tetap menjadi Pak Soma yang dulu..”

“Tentang bagaimana saya mengontrol perusahaan? Kamu kan sudah tahu, bahwa sebuah perusahaan yang sudah mapan, akan tidak memerlukan lagi kehadiran pemiliknya. Semuanya sudah berjalan berdasarkan sistem yang baku. Juga ada Dewan Direksi berikut stafnya yang terdiri dari para manajer yang akan mengelola operasional harian. Paling sering saya hanya akan datang ke kantor sekitar 1 atau 2 bulan sekali, saat di mana saya pamit dengan tetangga untuk belanja barang dagangan warung saya..hehe..”, Pak Soma memberi penjelasan sambil tertawa.

“Memang di samping itu, saya tetap berusaha berkomunikasi secara intensif dengan si Hadi ini di kota. Caranya? Mari ikut saya, saya akan tunjukkan”, ajak sang tuan rumah. Semua yang hadir bangkit berdiri lalu mengikuti Pak Soma dengan perasaan ingin tahu.


(Bersambung ke Bag. III..)

No comments: