ENTREPRENEURSHIP’S BLEND
Anda suka mendengarkan musik?
Kalau iya, tentu Anda tidak asing dengan peralatan sound system, seperti stereo set, compo, audio amplifier dan lain sebagainya. Nah, kalau Anda perhatikan, selain tombol “Volume” yang biasa kita gunakan untuk memperbesar atau memperkecil suara, di panel peralatan-peralatan tersebut biasanya ada sebuah tombol yang ditandai dengan tulisan “Balance”, bukan?
Gunanya tombol ini adalah untuk mengatur keseimbangan output antara kanal kiri dengan kanal kanan, sehingga suara yang keluar dari kedua speaker akan benar-benar bagus, seimbang dan menyatu secara harmonis.
Pada peralatan-peralatan yang lebih canggih, fungsi itu diperkuat dengan satu set tombol geser yang diberi tanda dengan tulisan “Graphic Equalizer” (GE).
Dengan mengatur posisi masing-masing tombol GE tersebut, seorang penggemar musik yang fanatik akan dimungkinkan untuk menyetel keluaran sound system nya secara lebih akurat, berdasarkan rentang frekuensi yang lebih detail. Mulai dari nada rendah (bass), nada menengah (mid-range) sampai kepada nada tinggi (treble). Dengan demikian, ia bisa menikmati alunan musik yang kualitasnya sempurna serta enak didengar.
Inti dari pembahasan di atas adalah untuk menunjukkan bahwa ternyata, selalu diperlukan keseimbangan yang pas dari berbagai unsur pendukung, bila kita ingin memperoleh sesuatu yang baik, sesuatu yang bagus atau sesuatu yang “powerfull”, dari apa pun yang kita kehendaki di dunia ini.
Demikian juga halnya di dunia kewirausahaan.
Sebelum seorang calon entrepreneur dapat memulai kiprahnya, tentunya terlebih dahulu ia harus mampu mengatasi hambatan mental berupa keberanian memulai. Masalah keberanian inilah yang pada umumnya akan menjadi masalah “pertama dan perdana” bagi seorang calon wirausahawan.
Orang-orang tertentu, akan sangat gagah berani menghadapi fase tersebut. Sehingga dengan enteng langsung berhenti dari pekerjaannya sebagai pegawai orang lain, untuk kemudian mulai menata usaha sendiri.
Di lain fihak, beberapa orang lainnya akan sangat hati-hati, bahkan terlalu hati-hati sebelum memutuskan untuk ganti profesi menjadi pengusaha. Mereka cenderung ragu untuk begitu saja meninggalkan sumber penghasilan yang selama ini menjadi penopang kehidupannya.
Maka, tidak mengherankan kalau kemudian, ada saja kita mendengar kisah-kisah tragis tentang kebangkrutan orang-orang yang “terlalu berani” terjun ke dunia usaha tanpa persiapan memadai.
Sebaliknya, lebih sering lagi kita menjumpai orang-orang yang berminat menjadi wirausahawan, tapi mengambil sikap kelewat hati-hati. Kenyataannya, mereka tidak pernah benar-benar berani merubah diri, dari seorang karyawan, menjadi seorang pengusaha sejati.
Pada kasus yang terakhir ini, orang-orang tersebut melakukan sepak terjangnya masih sebatas tanya-kanan tanya-kiri. Atau paling-paling ikut menjadi anggota beberapa perusahaan MLM, lalu “jualan” di lingkungan teman-teman sekantor.
Solusi Yang Diperlukan
Untuk mengaktualisasikan diri menjadi seorang wirausahawan, diperlukan apa yang saya sebut dengan “Entrepreneurship Blend” atau “Adonan Kewirausahaan”. Adonan ini berupa perpaduan dari berbagai jenis kualitas pribadi, yang berfungsi sebagai unsur-unsur pendukung semangat kewirausahaan seseorang.
Setidaknya, ada 3 (tiga) hal penunjang yang diperlukan bagi seseorang ketika yang bersangkutan pertama kali berniat menerjuni bidang usaha. Hal-hal itu dalam bahasa Inggris disingkat dengan BSC, terdiri dari Bravery, Smartness dan Creativity. Dalam bahasa Indonesia, disebut dengan 3K, yaitu Keberanian, Kecerdikan dan Kreativitas.
Dua hal yang pertama, Bravery dan Smartness, atau Keberanian dan Kecerdikan, cenderung merupakan 2 hal yang bertolak belakang. Ia berperan seperti tombol “balance” pada perangkat sound system. Tombol ini bila diputar ke kiri, mengakibatkan suara di kanal kiri menjadi besar, suara di kanal kanan mengecil. Begitu sebaliknya.
Keberanian dan Kecerdikan seringkali juga mengambil perilaku seperti itu. Mereka yang keberaniannya besar, cenderung tidak smart, sehingga kadang-kadang bertindak ceroboh. Contohnya, orang-orang yang disebut di bagian atas tadi. Mereka dengan enteng terjun ke dunia bisnis tanpa perhitungan, untuk kemudian kolaps.
Sementara itu, mereka yang terlalu smart, pada akhirnya kehilangan bravery sama sekali. Sehingga tidak pernah mewujudkan impiannya menjadi usahawan yang bebas merdeka.
Itu sebabnya, setiap orang yang mau menjelma dari seorang karyawan menjadi seorang usahawan, harus “menyetel” tombol Balance nya sedemikian, sehingga tingkat keberanian dan tingkat kecerdikannya harus betul-betul proporsional. Dia harus pemberani, tapi dalam waktu yang sama ia juga harus cukup hati-hati.
Jika kedua hal tersebut sudah teratasi dengan baik, maka tiba gilirannya untuk memainkan tombol Volume. Guna menjamin berputarnya roda usaha, seorang pemula perlu meningkatkan intensitas kewirausahawannya dengan mengerahkan segenap daya kreativitasnya agar dapat menghasilkan produk-produk spesifik yang berkualitas. Produk yang tidak akan mudah ditiru atau dijiplak oleh orang lain, sehingga tidak mudah pula mendatangkan persaingan tidak sehat yang dilakukan kaum pembajak dan oportunis.
Dengan tiga aspek di atas, Keberanian, Kecerdikan serta Kreativitas (3K), dapat dijamin bahwa seorang wirausahawan akan berhasil menciptakan serta menggerakkan roda usahanya di tahap-tahap awal. Sedangkan untuk kesinambungan ke depan, ia harus pula memperlengkapi diri dengan sebanyak mungkin nilai-nilai positif, seperti attitude, integritas, proaktivitas, inisiatif, keuletan, kepemimpinan dan lain sebagainya.
Sebagaimana tombol-tombol Graphic Equalizer, yang menjadikan perangkat sound system kelas atas semakin canggih, seorang wirausahawan pemula pun akan dapat menjadikan dirinya sebagai ideal entrepreneur yang profesional dan tangguh.
Semoga..
Rusman Hakim
Pengamat Kewirausahaan
E-mail: rusman@gacerindo.com
Web: http://www.gacerindo.com
Blog: http://rusmanhakim.blogspot.com
Mobile: 0816.144.2792
Tuesday, July 25, 2006
Saturday, July 15, 2006
SEBERAPA WIRAUSAHA KAH ANDA?
Banyak orang terjun ke dunia usaha, lalu menyebut dirinya sebagai wirausahawan. Ini menunjukkan bahwa istilah “wirausahawan” itu sudah begitu populer di kalangan masyarakat, sehingga kata-kata ini seakan-akan sudah difahami sebagai pengganti kata “businessman”. Apakah dengan demikian, kata “wirausahawan’ itu benar-benar sama artinya dengan kata “businesman”? Dan kata “wirausaha” sama dengan “business”? Mari kita lihat.
Seperti diketahui, ledakan perkembangan bisnis terjadi bersamaan dengan terjadinya Revolusi Industri di Inggris. Lahirnya mesin-mesin industri, membuat dunia perdagangan menjadi marak, karena semua kebutuhan konsumen dengan mudah dapat dipenuhi, tidak peduli berapa banyak jumlah produk yang diminta.
Mesin mempermudah segalanya. Mekanisasi industri yang memungkinkan dilakukannya produk masal dengan mutu tinggi, merangsang para pedagang untuk berlomba-lomba menciptakan produk-produk baru yang menarik untuk ditawarkan pada calon pembeli.
Fenomena ini akhirnya berkembang menciptakan iklim persaingan antar produsen dan penjual barang. Makin hari persaingan makin tajam, dan menyebabkan para pebisnis merasa semakin sulit menjual produknya di pasar. Dan di sinilah dimulainya degradasi moral. Beberapa businessman yang merasa terjepit, mulai melakukan kecurangan-kecurangan. Penipuan, manipulasi mutu dan harga serta banyak lagi tindakan-tindakan tidak terpuji.
Gejala seperti itu berkembang terus, makin lama keculasan para pedagang makin tidak terkendali. Etika seakan sudah tidak diindahkan lagi, setiap orang berebut rejeki untuk kepentingan diri sendiri. Semua cara dihalalkan, kalau perlu dengan menyikut orang lain. Atau menjual barang terlarang sekali pun.
Itu sebabnya pada akhirnya orang mengenal apa yang disebut dengan “mafia”. Sejenis kelompok bisnis yang tidak segan-segan melukai bahkan membunuh siapa saja (pejabat pemerintah sekali pun) demi kepentingan bisnis.
Melihat dunia usaha yang sudah demikian ambur-adul, masyarakat banyak akhirnya mengasosiasikan bisnis sebagai kegiatan kotor, lambang keserakahan yang menjijikkan. Timbul semacam perasaan skeptis di kalangan awam.
Sadar akan hal itu, beberapa kalangan pengusaha yang masih memegang nilai-nilai bisnis yang bersih, mulai menerapkan dan mengembangkan prinsip perdagangan baru. Mereka tetap berpendapat bahwa bisnis itu sebenarnya mengandung nilai-nilai yang luhur. Dengan bisnis, martabat manusia menjadi ditinggikan dan termuliakan. Oleh karenanya, sifat serta tindakan buruk harus dilenyapkan dari dunia usaha.
Maka, wacana entrepreneurship pun muncul. Inilah yang kemudian di Indonesia dikenal dengan istilah “wiraswasta” dan bermetamorfosis menjadi “wirausaha”.
Dengan demikian, menjadi jelas bahwa perbedaan pertama yang membedakan makna “bisnis” dengan “wirausaha” adalah bahwa “bisnis” memilik arti yang lebih umum, dengan kriteria-kriteria yang lebih longgar.
Sedangkan “wirausaha” mengandung arti tentang serangkaian kegiatan komersial, dengan dilandasi pada attitude yang baik dari pelakunya. Wirausahawan berkiprah melalui koridor yang lebih sempit, di mana mereka harus memperhatikan berbagai kriteria, rambu dan etika yang akan menjamin kelangsungan kehidupan berbisnis agar selalu menghasilkan manfaat maksimal bagi umat manusia (bukan hanya dirinya sendiri saja).
Walau pun dalam kenyataannya, “businessmen” mau pun “entrepreneurs” terlibat dalam aktivitas yang sama, dalam ruang dan waktu yang sama pula, namun ada beberapa tolok ukur yang dapat digunakan untuk membedakan kedua jenis pelaku ekonomi ini. Di antaranya adalah:
1. Business bersifat “focus on profit”, sedangkan wirausaha bersifat “focus on benefit”. Seorang pebisnis umumnya memusatkan perhatian pada sebanyak-banyaknya keuntungan komersial yang dapat diperoleh, tanpa memperhatikan dan kalau perlu mengorbankan kepentingan orang lain. Misalnya, perusahaan pertambangan yang sangat kaya raya, tapi tidak memperhatikan kerusakan lingkungan dan membiarkan masyarakat sekitarnya tetap miskin. Kalau sang pengusaha adalah seorang wirausahawan tulen, hal itu tak akan terjadi. Karena ia pasti akan memelihara serta melestarikan lingkungan dan menyejahterakan masyarakat sekitar. Ia sadar bahwa tindakan itu bukan sekadar tindakan bersifat sosial semata, tapi juga mengandung benefit yang mendukung kemajuan perusahaannya.
2. Bisnis lebih bersifat “win-lose”, sedangkan wirausaha lebih bersifat “win-win “. Kebanyakan pebisnis menghendaki kekalahan pesaingnya, dengan demikian ia mengira usahanya akan lebih leluasa mengejar keuntungan, tanpa harus memperhatikan kualitas dari produk dan jasa yang dijual. Wirausaha sebaliknya, lebih merasakan manfaat dari kehadiran para pesaing, dengan demikian setiap saat ia dapat mengukur kualitas produk serta peningkatan kinerja perusahaannya.
3. Bisnis menggunakan pendekatan “kuantitatif”, sedangkan wirausaha menggunakan pendekatan “kualitatif”. Secara tradisional, kaum pebisnis selalu memulai usahanya dengan kapital besar, setidaknya dalam jumlah yang seaman-amannya sesuai dengan ukuran besar-kecilnya suatu bidang bisnis. Dalam hal ini, pengusaha lebih mengandal pada kekuatan finansial yang ada di bawah kendalinya. Wirausahawan di lain fihak, memulai usaha dengan modal kecil, kadang tidak sesuai dengan jumlah normal yang diperlukan bagi sebuah bidang usaha. Tetapi, banyak dari mereka berhasil sukses. Dalam hal ini, wirausahawan lebih mengandal pada keuletan pribadinya, bukan kepada kekuatan uang.
4. Bisnis berpedoman kepada “hasil’, sedangkan wirausaha berpedoman kepada “cara’ Pebisnis kebanyakan berkiblat hanya kepada hasil yang harus dicapai, tanpa peduli cara apa yang digunakan. Misalnya, kalau hendak melakukan pembebasan tanah, kalau perlu mereka akan menggunakan cara-cara kekerasan. Sebaliknya, wirausahawan lebih menggunakan pendekatan saling menguntungkan. Tidak jarang dalam suatu program pembebasan tanah yang dilaksanakan seorang wirausahawan, warga yang tergusur justru berubah menjadi orang-orang kaya baru (OKB), bahkan tidak sedikit yang kemudian pergi naik haji dengan istilah mereka sendiri “Haji Gusuran”. Ciputra adalah salah seorang yang menunjukkan kualitasnya sebagai wirausahawan seperti itu.
5. Pebisnis menganalogikan aktivitasnya sebagai “perang”, dan cenderung “membunuh orang lain”. Sedangkan wirausahawan lebih berkeinginan untuk “menghidupi orang lain”. Pada beberapa peristiwa, high-class businessmen selalu mengincar perusahaan-perusahaan lain yang lebih kecil untuk diakuisisi. Senang atau tidak senang. Di masa lalu, taipan yang menguasai bisnis terigu dari hulu sampai ke hilir, selalu memaksa perusahaan-perusahaan mie milik orang lain untuk diambil alih. Kalau tidak bersedia, pasokan terigunya akan dihentikan, maka mau tidak mau pengusaha-pengusaha mie itu menyerah juga. Itulah kecenderungan dari sepak terjang seorang pebisnis. Wirausahawan sebaliknya, mencari momentum untuk dapat bersinergi dengan kompetitor. Contohnya, Hewlett Packard (HP) memberikan fasilitas dan bantuan kepada pesaingnya “Textronix” untuk memproduksi barang yang sama serta dengan teknologi yang sama pula dengan yang diproduksi oleh HP. Begitu juga dengan yang dilakukan Astra. Perusahaan raksasa nasional ini, tidak berupaya untuk mencaplok orang lain. Sebaliknya, mereka melakukan pendekatan kemitraan, dengan jalan memberikan pembinaan modal dan manjemen kepada perusahaan-perusahaan yang lebih kecil.
6. Bisnis memasukkan sudut pandang “spekulatif”, sedangkan wirausaha memasukkan sudut pandang “partisipatif” . Di dunia perdagangan saham, rekasadana dan juga valas, para pebisnis berlomba-lomba mengerahkan segenap kemampuan untuk dapat meraup sebanyak-banyaknya keuntungan finansial. Mereka memainkan uang tidak ubahnya bagai penjudi-penjudi yang sedang bertaruh. Seorang wirausahawan, berpartisipasi di dunia saham, reksadana dan valas dengan paradigma sebatas antisipasi terhadap kemungkinan terjadinya perubahan ekonomi mendadak. Di samping itu juga atas dasar simpatinya kepada perusahaan-perusahaan yang berkarakter wirausaha, atau kepada pemerintah.
7. Businessmen menerapkan teori x atau y, sedangkan wirausahawan menerapkan teori z. Dalam menangani masalah karyawan, pebisnis biasanya menerapkan teori x atau y (McGregor) yang pada galibnya memperlakukan karyawan hanya sebagai unsur produksi. Para wirausahawan di lain fihak, condong melakukan pendekatan kemitraan ala teori z (William Ouchi), sehingga para karyawan merasa berbahagia karena diperlakukan sebagai manusia yang sederajat.
8. Seorang wirausahawan adalah seorang (clean) businessman, tapi seorang businessman belum tentu seorang wirausahawan.
Butir-butir penjelasan di atas diharapkan dapat membantu Anda untuk memperoleh gambaran yang lebih jelas tentang apa yang dimaksud dengan kewirausahaan. Pada acara-acara pemilihan The Best Entrepreneur, Entrepreneur Of The Year dan semacamnya, maka kriteria-kriteria di atas seyogyanya dapat diterapkan, agar tidak terjadi pemilihan yang tidak proporsional.
Pertanyaan berikut mungkin perlu diajukan: “Sudah seberapa wirausaha kah Anda?”
Rusman Hakim
Pengamat Kewirausahaan
E-mail: rusman@gacerindo.com
Web: http://www.gacerindo.com
Blog: http://rusmanhakim.blogspot.com
Mobile: 0816.144.2792
Seperti diketahui, ledakan perkembangan bisnis terjadi bersamaan dengan terjadinya Revolusi Industri di Inggris. Lahirnya mesin-mesin industri, membuat dunia perdagangan menjadi marak, karena semua kebutuhan konsumen dengan mudah dapat dipenuhi, tidak peduli berapa banyak jumlah produk yang diminta.
Mesin mempermudah segalanya. Mekanisasi industri yang memungkinkan dilakukannya produk masal dengan mutu tinggi, merangsang para pedagang untuk berlomba-lomba menciptakan produk-produk baru yang menarik untuk ditawarkan pada calon pembeli.
Fenomena ini akhirnya berkembang menciptakan iklim persaingan antar produsen dan penjual barang. Makin hari persaingan makin tajam, dan menyebabkan para pebisnis merasa semakin sulit menjual produknya di pasar. Dan di sinilah dimulainya degradasi moral. Beberapa businessman yang merasa terjepit, mulai melakukan kecurangan-kecurangan. Penipuan, manipulasi mutu dan harga serta banyak lagi tindakan-tindakan tidak terpuji.
Gejala seperti itu berkembang terus, makin lama keculasan para pedagang makin tidak terkendali. Etika seakan sudah tidak diindahkan lagi, setiap orang berebut rejeki untuk kepentingan diri sendiri. Semua cara dihalalkan, kalau perlu dengan menyikut orang lain. Atau menjual barang terlarang sekali pun.
Itu sebabnya pada akhirnya orang mengenal apa yang disebut dengan “mafia”. Sejenis kelompok bisnis yang tidak segan-segan melukai bahkan membunuh siapa saja (pejabat pemerintah sekali pun) demi kepentingan bisnis.
Melihat dunia usaha yang sudah demikian ambur-adul, masyarakat banyak akhirnya mengasosiasikan bisnis sebagai kegiatan kotor, lambang keserakahan yang menjijikkan. Timbul semacam perasaan skeptis di kalangan awam.
Sadar akan hal itu, beberapa kalangan pengusaha yang masih memegang nilai-nilai bisnis yang bersih, mulai menerapkan dan mengembangkan prinsip perdagangan baru. Mereka tetap berpendapat bahwa bisnis itu sebenarnya mengandung nilai-nilai yang luhur. Dengan bisnis, martabat manusia menjadi ditinggikan dan termuliakan. Oleh karenanya, sifat serta tindakan buruk harus dilenyapkan dari dunia usaha.
Maka, wacana entrepreneurship pun muncul. Inilah yang kemudian di Indonesia dikenal dengan istilah “wiraswasta” dan bermetamorfosis menjadi “wirausaha”.
Dengan demikian, menjadi jelas bahwa perbedaan pertama yang membedakan makna “bisnis” dengan “wirausaha” adalah bahwa “bisnis” memilik arti yang lebih umum, dengan kriteria-kriteria yang lebih longgar.
Sedangkan “wirausaha” mengandung arti tentang serangkaian kegiatan komersial, dengan dilandasi pada attitude yang baik dari pelakunya. Wirausahawan berkiprah melalui koridor yang lebih sempit, di mana mereka harus memperhatikan berbagai kriteria, rambu dan etika yang akan menjamin kelangsungan kehidupan berbisnis agar selalu menghasilkan manfaat maksimal bagi umat manusia (bukan hanya dirinya sendiri saja).
Walau pun dalam kenyataannya, “businessmen” mau pun “entrepreneurs” terlibat dalam aktivitas yang sama, dalam ruang dan waktu yang sama pula, namun ada beberapa tolok ukur yang dapat digunakan untuk membedakan kedua jenis pelaku ekonomi ini. Di antaranya adalah:
1. Business bersifat “focus on profit”, sedangkan wirausaha bersifat “focus on benefit”. Seorang pebisnis umumnya memusatkan perhatian pada sebanyak-banyaknya keuntungan komersial yang dapat diperoleh, tanpa memperhatikan dan kalau perlu mengorbankan kepentingan orang lain. Misalnya, perusahaan pertambangan yang sangat kaya raya, tapi tidak memperhatikan kerusakan lingkungan dan membiarkan masyarakat sekitarnya tetap miskin. Kalau sang pengusaha adalah seorang wirausahawan tulen, hal itu tak akan terjadi. Karena ia pasti akan memelihara serta melestarikan lingkungan dan menyejahterakan masyarakat sekitar. Ia sadar bahwa tindakan itu bukan sekadar tindakan bersifat sosial semata, tapi juga mengandung benefit yang mendukung kemajuan perusahaannya.
2. Bisnis lebih bersifat “win-lose”, sedangkan wirausaha lebih bersifat “win-win “. Kebanyakan pebisnis menghendaki kekalahan pesaingnya, dengan demikian ia mengira usahanya akan lebih leluasa mengejar keuntungan, tanpa harus memperhatikan kualitas dari produk dan jasa yang dijual. Wirausaha sebaliknya, lebih merasakan manfaat dari kehadiran para pesaing, dengan demikian setiap saat ia dapat mengukur kualitas produk serta peningkatan kinerja perusahaannya.
3. Bisnis menggunakan pendekatan “kuantitatif”, sedangkan wirausaha menggunakan pendekatan “kualitatif”. Secara tradisional, kaum pebisnis selalu memulai usahanya dengan kapital besar, setidaknya dalam jumlah yang seaman-amannya sesuai dengan ukuran besar-kecilnya suatu bidang bisnis. Dalam hal ini, pengusaha lebih mengandal pada kekuatan finansial yang ada di bawah kendalinya. Wirausahawan di lain fihak, memulai usaha dengan modal kecil, kadang tidak sesuai dengan jumlah normal yang diperlukan bagi sebuah bidang usaha. Tetapi, banyak dari mereka berhasil sukses. Dalam hal ini, wirausahawan lebih mengandal pada keuletan pribadinya, bukan kepada kekuatan uang.
4. Bisnis berpedoman kepada “hasil’, sedangkan wirausaha berpedoman kepada “cara’ Pebisnis kebanyakan berkiblat hanya kepada hasil yang harus dicapai, tanpa peduli cara apa yang digunakan. Misalnya, kalau hendak melakukan pembebasan tanah, kalau perlu mereka akan menggunakan cara-cara kekerasan. Sebaliknya, wirausahawan lebih menggunakan pendekatan saling menguntungkan. Tidak jarang dalam suatu program pembebasan tanah yang dilaksanakan seorang wirausahawan, warga yang tergusur justru berubah menjadi orang-orang kaya baru (OKB), bahkan tidak sedikit yang kemudian pergi naik haji dengan istilah mereka sendiri “Haji Gusuran”. Ciputra adalah salah seorang yang menunjukkan kualitasnya sebagai wirausahawan seperti itu.
5. Pebisnis menganalogikan aktivitasnya sebagai “perang”, dan cenderung “membunuh orang lain”. Sedangkan wirausahawan lebih berkeinginan untuk “menghidupi orang lain”. Pada beberapa peristiwa, high-class businessmen selalu mengincar perusahaan-perusahaan lain yang lebih kecil untuk diakuisisi. Senang atau tidak senang. Di masa lalu, taipan yang menguasai bisnis terigu dari hulu sampai ke hilir, selalu memaksa perusahaan-perusahaan mie milik orang lain untuk diambil alih. Kalau tidak bersedia, pasokan terigunya akan dihentikan, maka mau tidak mau pengusaha-pengusaha mie itu menyerah juga. Itulah kecenderungan dari sepak terjang seorang pebisnis. Wirausahawan sebaliknya, mencari momentum untuk dapat bersinergi dengan kompetitor. Contohnya, Hewlett Packard (HP) memberikan fasilitas dan bantuan kepada pesaingnya “Textronix” untuk memproduksi barang yang sama serta dengan teknologi yang sama pula dengan yang diproduksi oleh HP. Begitu juga dengan yang dilakukan Astra. Perusahaan raksasa nasional ini, tidak berupaya untuk mencaplok orang lain. Sebaliknya, mereka melakukan pendekatan kemitraan, dengan jalan memberikan pembinaan modal dan manjemen kepada perusahaan-perusahaan yang lebih kecil.
6. Bisnis memasukkan sudut pandang “spekulatif”, sedangkan wirausaha memasukkan sudut pandang “partisipatif” . Di dunia perdagangan saham, rekasadana dan juga valas, para pebisnis berlomba-lomba mengerahkan segenap kemampuan untuk dapat meraup sebanyak-banyaknya keuntungan finansial. Mereka memainkan uang tidak ubahnya bagai penjudi-penjudi yang sedang bertaruh. Seorang wirausahawan, berpartisipasi di dunia saham, reksadana dan valas dengan paradigma sebatas antisipasi terhadap kemungkinan terjadinya perubahan ekonomi mendadak. Di samping itu juga atas dasar simpatinya kepada perusahaan-perusahaan yang berkarakter wirausaha, atau kepada pemerintah.
7. Businessmen menerapkan teori x atau y, sedangkan wirausahawan menerapkan teori z. Dalam menangani masalah karyawan, pebisnis biasanya menerapkan teori x atau y (McGregor) yang pada galibnya memperlakukan karyawan hanya sebagai unsur produksi. Para wirausahawan di lain fihak, condong melakukan pendekatan kemitraan ala teori z (William Ouchi), sehingga para karyawan merasa berbahagia karena diperlakukan sebagai manusia yang sederajat.
8. Seorang wirausahawan adalah seorang (clean) businessman, tapi seorang businessman belum tentu seorang wirausahawan.
Butir-butir penjelasan di atas diharapkan dapat membantu Anda untuk memperoleh gambaran yang lebih jelas tentang apa yang dimaksud dengan kewirausahaan. Pada acara-acara pemilihan The Best Entrepreneur, Entrepreneur Of The Year dan semacamnya, maka kriteria-kriteria di atas seyogyanya dapat diterapkan, agar tidak terjadi pemilihan yang tidak proporsional.
Pertanyaan berikut mungkin perlu diajukan: “Sudah seberapa wirausaha kah Anda?”
Rusman Hakim
Pengamat Kewirausahaan
E-mail: rusman@gacerindo.com
Web: http://www.gacerindo.com
Blog: http://rusmanhakim.blogspot.com
Mobile: 0816.144.2792
Tuesday, July 04, 2006
SANG BEGAWAN KI AGENG WIRASWASTA (I)
SANG BEGAWAN KI AGENG WIRASWASTA (I)
Alkisah, pada suatu hari terjadilah pertemuan antara Sang Begawan Ki Ageng Wiraswasta dengan Sang Satria Wirausaha. Pertemuan tesebut dilakukan di suatu tempat yang sunyi dan dirahasiakan, karena Sang Satria menginginkan pembicarakan itu betul-betul dapat memberikan kejelasan tentang suatu hal yang selama ini mengganjal di benaknya.
SANG SATRIA : Wahai Sang Begawan yang bijaksana. Ku mohon berilah penjelasan pada ku, makna apa sesungguhnya yang terkandung dalam dunia kewirausahaan? Apakah “wirausaha” itu sebuah profesi, ataukah ia sejenis ilmu pengetahuan? Atau hanya sebuah wacana tentang semangat kehidupan?
SANG BEGAWAN: Sang Satria yang gagah perkasa. Memang sebenarnyalah kewirausahaan itu dapat dilihat dari beberapa sudut pandang. Di satu sisi kewirausahaan dapat dipandang sebagai sebuah profesi, di lain sisi ia juga bisa dipandang sebagai sebuah wacana tentang semangat kehidupan. Orang-orang terpelajar memasukkannya sebagai suatu bidang keilmuan, dan bahkan sebagian orang tertentu menganggapnya sebagai seni.
SANG SATRIA: Dapatkah engkau menjelaskannya satu per satu pada ku wahai, Sang Begawan? Dari masing-masing sudut pandang itu, yang manakah yang dapat dianggap paling bernilai?
SANG BEGAWAN: Pada tingkatan awam, kebanyakan orang menganggap bahwa wirausaha itu semata-mata sebuah profesi. Oleh sebab itu, kata “wirausahawan” menjadi sebuah istilah yang membedakan orang yang menuntut penghidupan melalui usaha mandiri, terhadap mereka yang bekerja dan digaji oleh orang lain. Kalau kita bicara dari sudut nilai (value), maka sudut pandang ini adalah yang terendah nilainya. Kenapa? Karena di sini kewirausahaan hanya dipandang sebagai sebuah sarana untuk mempertahankan hidup (survival) dan mencari nafkah semata. Sudah tentu sifatnya sangat egoistik, mementingkan diri sendiri. Maklum, di taraf awal memang orang harus memikirkan kelangsungan hidupnya sendiri lebih dahulu, bukan? Namun, pada kebanyakan kasus, mereka yang sudah mapan secara ekonomi, tetap saja berpandangan egoistik karena berpegang pada pengertian bahwa wirausaha itu adalah sebuah profesi. Akhirnya, mereka tetap dalam alur pikiran untuk mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya, yaitu kalau kebutuhan hidup mereka pribadi sudah terpenuhi, maka pada gilirannya mereka harus pula memenuhi kebutuhan sanak keluarganya, saudara-saudara serta keturunannya mulai dari anak, cucu, cicit begitu seterusnya sampai kalau mungkin, 7 turunan. Tentu engkau tahu tentang hal ini dan banyak contohnya.
SANG SATRIA: Benar sang Begawan. Banyak sekali contohnya. Mereka mengira dengan mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya, bersenang-senang dan berhura-hura seanak-cucu, mereka telah menunjukkan kepada umum sebuah prestasi besar, yang menurut mereka sudah sepantasnya mendapat apresiasi dari masyarakat. Mereka ingin orang banyak tahu bahwa mereka telah berhasil mencapai suatu keadaan yang seaman-amannya dari bahaya kelaparan, kemiskinan dan kebangkrutan, sebagaimana yang masih harus dihadapi oleh orang banyak itu sendiri. Lalu bagaimana pula dengan sudut pandang yang menganggap wirausaha sebagai ilmu?
SANG BEGAWAN: Mereka yang menganggap wirausaha sebagai ilmu, sesungguhnya tidak berwirausaha. Mereka hanya menganalisa. Kebanyakan ilmu pengetahuan yang ada di dunia ini, dimulai dari sebuah analisis tentang suatu fenomena. Sesuatu tejadi lebih dahulu, baru dipelajari lalu timbullah suatu ilmu pengetahuan baru. Semakin lama, semakin banyak ilmu baru ditemukan. Ilmu ekonomi ditemukan setelah orang mengenal ilmu matematika lebih dulu. Ilmu pengetahuan tentang bisnis lebih baru lagi. Demikian juga dengan kewirausahaan. Kalau kewirausahaan dibakukan menjadi sebuah ilmu, itu sah-sah saja. Sayangnya, seperti juga ilmu-ilmu non eksakta lainnya, kewirausahaan bersifat dinamis. Ia selalu berubah, teori tempo dulu dibantah oleh teori hari ini. Teori hari ini dibantah lagi oleh teori esok hari demikian seterusnya. Mempelajari ilmu kewirausahaan, sama saja dengan mengejar bayangan. Itu juga yang terjadi dengan ilmu manajemen. Pernahkah engkau mendengar tentang pakar manajemen yang akhirnya kebingungan dengan karakter ilmu manajemen itu sendiri? Seorang usahawan yang mempelajari kewirausahaan sebagaimana mempelajari rumus-rumus matematika, akan menemui kekonyolan yang sia-sia ketika menerapkannya di dunia bisnis yang nyata. Bagi seorang wirausahawan, mempelajari teori-teori itu bagus. Tapi, ia tidak akan terikat oleh sebuah teori pun, sepak terjangnya murni dan bebas. Teori bisa saja ia pakai di satu saat, di lain waktu teori itu dia modifikasi, dan pada kesempatan lain teori yang sama ia buang ke tempat sampah untuk kemudian melakukan sepak terjang yang kontra-teori. Bagi seorang wirausahawan sukses, apa yang telah diperbuatnya di masa lalu, bisa saja dijadikan teori oleh orang lain. Padahal di saat sekarang, ia telah melakukan sesuatu yang bertentangan dengan apa yang telah dijadikan teori oleh orang lain. Dapatkah engkau menangkap apa yang kusampaikan ini, wahai Sang Satria?
SANG SATRIA: Aku mengerti, Sang Begawan. Dan apa pula maknanya jika ada usahawan-usahawan tertentu menganggap kewirausahaan itu sebagai seni?
SANG BEGAWAN: Seni itu berintikan keindahan. Jarang sekali orang yang dapat merasakan keindahan di kala ia sedang sengsara. Oleh sebab itu, kebanyakan orang yang merasakan kewirausahaan itu sebagai sebuah seni, adalah mereka yang telah sukses secara ekonomi. Mereka merasakan keindahan saat mereka berhasil menyelesaikan suatu pekerjaan besar. Lebih indah lagi sewaktu mereka menghitung uang yang berkelimpahan setelah pekerjaan itu dibayar. Beberapa pengusaha merasakan keindahan saat mereka berhasil membangun perusahaan-perusahan baru, baik murni milik sendiri mau pun mencaplok perusahaan-perusahaan milik orang lain. Namun, jangan salah! Tidak semua begitu. Sebagian pengusaha ada juga yang merasakan keindahan saat mereka ada dalam saat-saat kritis. Mereka bergairah di kala perusahaannya ada dalam kesulitan, dikejar target, dijepit dead-line dan lain-lain masalah. Mereka berjiwa petualang yang tidak suka berdiam lama-lama dalam kondisi adem-ayem-tentrem. Mereka menyukai tantangan, makin keras tantangannya makin gairahlah mereka.
SANG SATRIA: Jadi apakah sang Begawan hendak mengatakan bahwa pengusaha-pengusaha jenis itulah yang memiliki nilai kewirausahaan terbaik?
SANG BEGAWAN: Tidak juga. Mereka menikmati seni dan keindahan itu adalah untuk diri mereka sendiri. Apa yang mereka rasakan hanya mereka sendiri yang dapat menikmatinya. Orang lain tidak. Nah, sepanjang sepak terjang berikut kesenangan dan kenikmatan yang diperoleh seorang pengusaha itu masih ditujukan untuk kesenangan diri sendiri, maka ia tidak bisa dikategorikan sebagai pengusaha yang memiliki nilai kewirausahaan (entrepreneurship value) yang baik.
SANG SATRIA: Kalau demikian, tolong jelaskan sudut pandang seperti apa yang bisa kita kategorikan sebagai sikap kewirausahaan yang ideal, ya Sang Begawan?
SANG BEGAWAN: Baik Sang Satria. Menurutku, satu-satunya sudut pandang yang perlu dimiliki oleh setiap orang yang berkecimpung di dunia wirausaha, adalah sudut pandang kepemimpinan. Sudut pandang yang melihat dunia kewirausahaan sebagai wahana kepemimpinan. Bukan semata-mata wahana perebutan uang, harta benda serta simbol-simbol kekayaan yang materialistis. Orang seperti ini akan memulai usahanya dengan cakupan visi yang luas, bukan saja meliputi diri dan keluarga, tapi juga masyarakat sekitar. Beberapa tokoh bisnis bahkan memulai kiprahnya dengan visi kebangsaan, yang terpicu setelah melihat kemiskinan dan kesengsaraan rakyat di masing-masing negerinya. Faktor keunggulan dari wirausahawan seperti ini adalah jelas mereka jauh dari sifat-sifat egoistik. Mereka bahkan mendahulukan kepentingan orang lain katimbang kepentingan diri sendiri. Oleh karenanya, merekalah yang pantas menyandang nilai-nilai kewirausahaan tertinggi. Di dalam visi mereka otomatis sudah termasuk faktor spirit, di mana untuk menjadi wirausahawan yang mengayomi banyak orang, tentu diperlukan semangat kewirausahaan yang tinggi. Termasuk pula unsur sikap mental atau attitude, integritas serta proaktivitas. Seni dan keindahan bagi mereka adalah ketika melihat para karyawan, pemasok, pelanggan serta masyarakat sekitar tersenyum bahagia saat menikmati karyanya. Sampai di sini, adakah engkau dapat memahami penjelasanku, wahai Satria?
SANG SATRIA: Benar, Sang Begawan. Aku mengerti. Penjelasanmu meski panjang lebar, tapi cukup memberi pengertian pada ku. Aku ingin mencerna itu semua selama beberapa waktu, oleh sebab itu mungkin lebih baik pembicaraan ini kita hentikan dulu sampai di sini, sampai lain waktu kita bertemu pula dalam diskusi lebih lanjut. Ku mohon engkau tidak keberatan kalau lain kali kita dapat berjumpa lagi dalam pembahasan tentang kewirausahaan.
SANG BEGAWAN: Dengan senang hati, Sang Satria. Kita dapat bertemu lagi di sini di lain waktu.
SANG SATRIA: Terima kasih, Sang Begawan. Semoga Tuhan memberkati umat manusia.
Sang Satria Wirausaha dan Sang Begawan Ki Ageng Wiraswasta berpisah dan masing-masing pulang ke tempat kediamannya. Sang Begawan melanjutkan meditasi, sedangkan Sang Satria berusaha untuk mencamkan hasil pembicaraan itu jauh ke dalam lubuk sanubarinya..
Rusman Hakim
Pengamat Kewirausahaan
E-mail: rusman@gacerindo.com
Website: http://www.gacerindo.com
Blog: http://rusmanhakim.blogspot.com
Mobile: 0816.144.2792
Alkisah, pada suatu hari terjadilah pertemuan antara Sang Begawan Ki Ageng Wiraswasta dengan Sang Satria Wirausaha. Pertemuan tesebut dilakukan di suatu tempat yang sunyi dan dirahasiakan, karena Sang Satria menginginkan pembicarakan itu betul-betul dapat memberikan kejelasan tentang suatu hal yang selama ini mengganjal di benaknya.
SANG SATRIA : Wahai Sang Begawan yang bijaksana. Ku mohon berilah penjelasan pada ku, makna apa sesungguhnya yang terkandung dalam dunia kewirausahaan? Apakah “wirausaha” itu sebuah profesi, ataukah ia sejenis ilmu pengetahuan? Atau hanya sebuah wacana tentang semangat kehidupan?
SANG BEGAWAN: Sang Satria yang gagah perkasa. Memang sebenarnyalah kewirausahaan itu dapat dilihat dari beberapa sudut pandang. Di satu sisi kewirausahaan dapat dipandang sebagai sebuah profesi, di lain sisi ia juga bisa dipandang sebagai sebuah wacana tentang semangat kehidupan. Orang-orang terpelajar memasukkannya sebagai suatu bidang keilmuan, dan bahkan sebagian orang tertentu menganggapnya sebagai seni.
SANG SATRIA: Dapatkah engkau menjelaskannya satu per satu pada ku wahai, Sang Begawan? Dari masing-masing sudut pandang itu, yang manakah yang dapat dianggap paling bernilai?
SANG BEGAWAN: Pada tingkatan awam, kebanyakan orang menganggap bahwa wirausaha itu semata-mata sebuah profesi. Oleh sebab itu, kata “wirausahawan” menjadi sebuah istilah yang membedakan orang yang menuntut penghidupan melalui usaha mandiri, terhadap mereka yang bekerja dan digaji oleh orang lain. Kalau kita bicara dari sudut nilai (value), maka sudut pandang ini adalah yang terendah nilainya. Kenapa? Karena di sini kewirausahaan hanya dipandang sebagai sebuah sarana untuk mempertahankan hidup (survival) dan mencari nafkah semata. Sudah tentu sifatnya sangat egoistik, mementingkan diri sendiri. Maklum, di taraf awal memang orang harus memikirkan kelangsungan hidupnya sendiri lebih dahulu, bukan? Namun, pada kebanyakan kasus, mereka yang sudah mapan secara ekonomi, tetap saja berpandangan egoistik karena berpegang pada pengertian bahwa wirausaha itu adalah sebuah profesi. Akhirnya, mereka tetap dalam alur pikiran untuk mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya, yaitu kalau kebutuhan hidup mereka pribadi sudah terpenuhi, maka pada gilirannya mereka harus pula memenuhi kebutuhan sanak keluarganya, saudara-saudara serta keturunannya mulai dari anak, cucu, cicit begitu seterusnya sampai kalau mungkin, 7 turunan. Tentu engkau tahu tentang hal ini dan banyak contohnya.
SANG SATRIA: Benar sang Begawan. Banyak sekali contohnya. Mereka mengira dengan mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya, bersenang-senang dan berhura-hura seanak-cucu, mereka telah menunjukkan kepada umum sebuah prestasi besar, yang menurut mereka sudah sepantasnya mendapat apresiasi dari masyarakat. Mereka ingin orang banyak tahu bahwa mereka telah berhasil mencapai suatu keadaan yang seaman-amannya dari bahaya kelaparan, kemiskinan dan kebangkrutan, sebagaimana yang masih harus dihadapi oleh orang banyak itu sendiri. Lalu bagaimana pula dengan sudut pandang yang menganggap wirausaha sebagai ilmu?
SANG BEGAWAN: Mereka yang menganggap wirausaha sebagai ilmu, sesungguhnya tidak berwirausaha. Mereka hanya menganalisa. Kebanyakan ilmu pengetahuan yang ada di dunia ini, dimulai dari sebuah analisis tentang suatu fenomena. Sesuatu tejadi lebih dahulu, baru dipelajari lalu timbullah suatu ilmu pengetahuan baru. Semakin lama, semakin banyak ilmu baru ditemukan. Ilmu ekonomi ditemukan setelah orang mengenal ilmu matematika lebih dulu. Ilmu pengetahuan tentang bisnis lebih baru lagi. Demikian juga dengan kewirausahaan. Kalau kewirausahaan dibakukan menjadi sebuah ilmu, itu sah-sah saja. Sayangnya, seperti juga ilmu-ilmu non eksakta lainnya, kewirausahaan bersifat dinamis. Ia selalu berubah, teori tempo dulu dibantah oleh teori hari ini. Teori hari ini dibantah lagi oleh teori esok hari demikian seterusnya. Mempelajari ilmu kewirausahaan, sama saja dengan mengejar bayangan. Itu juga yang terjadi dengan ilmu manajemen. Pernahkah engkau mendengar tentang pakar manajemen yang akhirnya kebingungan dengan karakter ilmu manajemen itu sendiri? Seorang usahawan yang mempelajari kewirausahaan sebagaimana mempelajari rumus-rumus matematika, akan menemui kekonyolan yang sia-sia ketika menerapkannya di dunia bisnis yang nyata. Bagi seorang wirausahawan, mempelajari teori-teori itu bagus. Tapi, ia tidak akan terikat oleh sebuah teori pun, sepak terjangnya murni dan bebas. Teori bisa saja ia pakai di satu saat, di lain waktu teori itu dia modifikasi, dan pada kesempatan lain teori yang sama ia buang ke tempat sampah untuk kemudian melakukan sepak terjang yang kontra-teori. Bagi seorang wirausahawan sukses, apa yang telah diperbuatnya di masa lalu, bisa saja dijadikan teori oleh orang lain. Padahal di saat sekarang, ia telah melakukan sesuatu yang bertentangan dengan apa yang telah dijadikan teori oleh orang lain. Dapatkah engkau menangkap apa yang kusampaikan ini, wahai Sang Satria?
SANG SATRIA: Aku mengerti, Sang Begawan. Dan apa pula maknanya jika ada usahawan-usahawan tertentu menganggap kewirausahaan itu sebagai seni?
SANG BEGAWAN: Seni itu berintikan keindahan. Jarang sekali orang yang dapat merasakan keindahan di kala ia sedang sengsara. Oleh sebab itu, kebanyakan orang yang merasakan kewirausahaan itu sebagai sebuah seni, adalah mereka yang telah sukses secara ekonomi. Mereka merasakan keindahan saat mereka berhasil menyelesaikan suatu pekerjaan besar. Lebih indah lagi sewaktu mereka menghitung uang yang berkelimpahan setelah pekerjaan itu dibayar. Beberapa pengusaha merasakan keindahan saat mereka berhasil membangun perusahaan-perusahan baru, baik murni milik sendiri mau pun mencaplok perusahaan-perusahaan milik orang lain. Namun, jangan salah! Tidak semua begitu. Sebagian pengusaha ada juga yang merasakan keindahan saat mereka ada dalam saat-saat kritis. Mereka bergairah di kala perusahaannya ada dalam kesulitan, dikejar target, dijepit dead-line dan lain-lain masalah. Mereka berjiwa petualang yang tidak suka berdiam lama-lama dalam kondisi adem-ayem-tentrem. Mereka menyukai tantangan, makin keras tantangannya makin gairahlah mereka.
SANG SATRIA: Jadi apakah sang Begawan hendak mengatakan bahwa pengusaha-pengusaha jenis itulah yang memiliki nilai kewirausahaan terbaik?
SANG BEGAWAN: Tidak juga. Mereka menikmati seni dan keindahan itu adalah untuk diri mereka sendiri. Apa yang mereka rasakan hanya mereka sendiri yang dapat menikmatinya. Orang lain tidak. Nah, sepanjang sepak terjang berikut kesenangan dan kenikmatan yang diperoleh seorang pengusaha itu masih ditujukan untuk kesenangan diri sendiri, maka ia tidak bisa dikategorikan sebagai pengusaha yang memiliki nilai kewirausahaan (entrepreneurship value) yang baik.
SANG SATRIA: Kalau demikian, tolong jelaskan sudut pandang seperti apa yang bisa kita kategorikan sebagai sikap kewirausahaan yang ideal, ya Sang Begawan?
SANG BEGAWAN: Baik Sang Satria. Menurutku, satu-satunya sudut pandang yang perlu dimiliki oleh setiap orang yang berkecimpung di dunia wirausaha, adalah sudut pandang kepemimpinan. Sudut pandang yang melihat dunia kewirausahaan sebagai wahana kepemimpinan. Bukan semata-mata wahana perebutan uang, harta benda serta simbol-simbol kekayaan yang materialistis. Orang seperti ini akan memulai usahanya dengan cakupan visi yang luas, bukan saja meliputi diri dan keluarga, tapi juga masyarakat sekitar. Beberapa tokoh bisnis bahkan memulai kiprahnya dengan visi kebangsaan, yang terpicu setelah melihat kemiskinan dan kesengsaraan rakyat di masing-masing negerinya. Faktor keunggulan dari wirausahawan seperti ini adalah jelas mereka jauh dari sifat-sifat egoistik. Mereka bahkan mendahulukan kepentingan orang lain katimbang kepentingan diri sendiri. Oleh karenanya, merekalah yang pantas menyandang nilai-nilai kewirausahaan tertinggi. Di dalam visi mereka otomatis sudah termasuk faktor spirit, di mana untuk menjadi wirausahawan yang mengayomi banyak orang, tentu diperlukan semangat kewirausahaan yang tinggi. Termasuk pula unsur sikap mental atau attitude, integritas serta proaktivitas. Seni dan keindahan bagi mereka adalah ketika melihat para karyawan, pemasok, pelanggan serta masyarakat sekitar tersenyum bahagia saat menikmati karyanya. Sampai di sini, adakah engkau dapat memahami penjelasanku, wahai Satria?
SANG SATRIA: Benar, Sang Begawan. Aku mengerti. Penjelasanmu meski panjang lebar, tapi cukup memberi pengertian pada ku. Aku ingin mencerna itu semua selama beberapa waktu, oleh sebab itu mungkin lebih baik pembicaraan ini kita hentikan dulu sampai di sini, sampai lain waktu kita bertemu pula dalam diskusi lebih lanjut. Ku mohon engkau tidak keberatan kalau lain kali kita dapat berjumpa lagi dalam pembahasan tentang kewirausahaan.
SANG BEGAWAN: Dengan senang hati, Sang Satria. Kita dapat bertemu lagi di sini di lain waktu.
SANG SATRIA: Terima kasih, Sang Begawan. Semoga Tuhan memberkati umat manusia.
Sang Satria Wirausaha dan Sang Begawan Ki Ageng Wiraswasta berpisah dan masing-masing pulang ke tempat kediamannya. Sang Begawan melanjutkan meditasi, sedangkan Sang Satria berusaha untuk mencamkan hasil pembicaraan itu jauh ke dalam lubuk sanubarinya..
Rusman Hakim
Pengamat Kewirausahaan
E-mail: rusman@gacerindo.com
Website: http://www.gacerindo.com
Blog: http://rusmanhakim.blogspot.com
Mobile: 0816.144.2792
Subscribe to:
Posts (Atom)