Tuesday, July 04, 2006

SANG BEGAWAN KI AGENG WIRASWASTA (I)

SANG BEGAWAN KI AGENG WIRASWASTA (I)

Alkisah, pada suatu hari terjadilah pertemuan antara Sang Begawan Ki Ageng Wiraswasta dengan Sang Satria Wirausaha. Pertemuan tesebut dilakukan di suatu tempat yang sunyi dan dirahasiakan, karena Sang Satria menginginkan pembicarakan itu betul-betul dapat memberikan kejelasan tentang suatu hal yang selama ini mengganjal di benaknya.

SANG SATRIA : Wahai Sang Begawan yang bijaksana. Ku mohon berilah penjelasan pada ku, makna apa sesungguhnya yang terkandung dalam dunia kewirausahaan? Apakah “wirausaha” itu sebuah profesi, ataukah ia sejenis ilmu pengetahuan? Atau hanya sebuah wacana tentang semangat kehidupan?
SANG BEGAWAN: Sang Satria yang gagah perkasa. Memang sebenarnyalah kewirausahaan itu dapat dilihat dari beberapa sudut pandang. Di satu sisi kewirausahaan dapat dipandang sebagai sebuah profesi, di lain sisi ia juga bisa dipandang sebagai sebuah wacana tentang semangat kehidupan. Orang-orang terpelajar memasukkannya sebagai suatu bidang keilmuan, dan bahkan sebagian orang tertentu menganggapnya sebagai seni.
SANG SATRIA: Dapatkah engkau menjelaskannya satu per satu pada ku wahai, Sang Begawan? Dari masing-masing sudut pandang itu, yang manakah yang dapat dianggap paling bernilai?
SANG BEGAWAN: Pada tingkatan awam, kebanyakan orang menganggap bahwa wirausaha itu semata-mata sebuah profesi. Oleh sebab itu, kata “wirausahawan” menjadi sebuah istilah yang membedakan orang yang menuntut penghidupan melalui usaha mandiri, terhadap mereka yang bekerja dan digaji oleh orang lain. Kalau kita bicara dari sudut nilai (value), maka sudut pandang ini adalah yang terendah nilainya. Kenapa? Karena di sini kewirausahaan hanya dipandang sebagai sebuah sarana untuk mempertahankan hidup (survival) dan mencari nafkah semata. Sudah tentu sifatnya sangat egoistik, mementingkan diri sendiri. Maklum, di taraf awal memang orang harus memikirkan kelangsungan hidupnya sendiri lebih dahulu, bukan? Namun, pada kebanyakan kasus, mereka yang sudah mapan secara ekonomi, tetap saja berpandangan egoistik karena berpegang pada pengertian bahwa wirausaha itu adalah sebuah profesi. Akhirnya, mereka tetap dalam alur pikiran untuk mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya, yaitu kalau kebutuhan hidup mereka pribadi sudah terpenuhi, maka pada gilirannya mereka harus pula memenuhi kebutuhan sanak keluarganya, saudara-saudara serta keturunannya mulai dari anak, cucu, cicit begitu seterusnya sampai kalau mungkin, 7 turunan. Tentu engkau tahu tentang hal ini dan banyak contohnya.
SANG SATRIA: Benar sang Begawan. Banyak sekali contohnya. Mereka mengira dengan mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya, bersenang-senang dan berhura-hura seanak-cucu, mereka telah menunjukkan kepada umum sebuah prestasi besar, yang menurut mereka sudah sepantasnya mendapat apresiasi dari masyarakat. Mereka ingin orang banyak tahu bahwa mereka telah berhasil mencapai suatu keadaan yang seaman-amannya dari bahaya kelaparan, kemiskinan dan kebangkrutan, sebagaimana yang masih harus dihadapi oleh orang banyak itu sendiri. Lalu bagaimana pula dengan sudut pandang yang menganggap wirausaha sebagai ilmu?
SANG BEGAWAN: Mereka yang menganggap wirausaha sebagai ilmu, sesungguhnya tidak berwirausaha. Mereka hanya menganalisa. Kebanyakan ilmu pengetahuan yang ada di dunia ini, dimulai dari sebuah analisis tentang suatu fenomena. Sesuatu tejadi lebih dahulu, baru dipelajari lalu timbullah suatu ilmu pengetahuan baru. Semakin lama, semakin banyak ilmu baru ditemukan. Ilmu ekonomi ditemukan setelah orang mengenal ilmu matematika lebih dulu. Ilmu pengetahuan tentang bisnis lebih baru lagi. Demikian juga dengan kewirausahaan. Kalau kewirausahaan dibakukan menjadi sebuah ilmu, itu sah-sah saja. Sayangnya, seperti juga ilmu-ilmu non eksakta lainnya, kewirausahaan bersifat dinamis. Ia selalu berubah, teori tempo dulu dibantah oleh teori hari ini. Teori hari ini dibantah lagi oleh teori esok hari demikian seterusnya. Mempelajari ilmu kewirausahaan, sama saja dengan mengejar bayangan. Itu juga yang terjadi dengan ilmu manajemen. Pernahkah engkau mendengar tentang pakar manajemen yang akhirnya kebingungan dengan karakter ilmu manajemen itu sendiri? Seorang usahawan yang mempelajari kewirausahaan sebagaimana mempelajari rumus-rumus matematika, akan menemui kekonyolan yang sia-sia ketika menerapkannya di dunia bisnis yang nyata. Bagi seorang wirausahawan, mempelajari teori-teori itu bagus. Tapi, ia tidak akan terikat oleh sebuah teori pun, sepak terjangnya murni dan bebas. Teori bisa saja ia pakai di satu saat, di lain waktu teori itu dia modifikasi, dan pada kesempatan lain teori yang sama ia buang ke tempat sampah untuk kemudian melakukan sepak terjang yang kontra-teori. Bagi seorang wirausahawan sukses, apa yang telah diperbuatnya di masa lalu, bisa saja dijadikan teori oleh orang lain. Padahal di saat sekarang, ia telah melakukan sesuatu yang bertentangan dengan apa yang telah dijadikan teori oleh orang lain. Dapatkah engkau menangkap apa yang kusampaikan ini, wahai Sang Satria?
SANG SATRIA: Aku mengerti, Sang Begawan. Dan apa pula maknanya jika ada usahawan-usahawan tertentu menganggap kewirausahaan itu sebagai seni?
SANG BEGAWAN: Seni itu berintikan keindahan. Jarang sekali orang yang dapat merasakan keindahan di kala ia sedang sengsara. Oleh sebab itu, kebanyakan orang yang merasakan kewirausahaan itu sebagai sebuah seni, adalah mereka yang telah sukses secara ekonomi. Mereka merasakan keindahan saat mereka berhasil menyelesaikan suatu pekerjaan besar. Lebih indah lagi sewaktu mereka menghitung uang yang berkelimpahan setelah pekerjaan itu dibayar. Beberapa pengusaha merasakan keindahan saat mereka berhasil membangun perusahaan-perusahan baru, baik murni milik sendiri mau pun mencaplok perusahaan-perusahaan milik orang lain. Namun, jangan salah! Tidak semua begitu. Sebagian pengusaha ada juga yang merasakan keindahan saat mereka ada dalam saat-saat kritis. Mereka bergairah di kala perusahaannya ada dalam kesulitan, dikejar target, dijepit dead-line dan lain-lain masalah. Mereka berjiwa petualang yang tidak suka berdiam lama-lama dalam kondisi adem-ayem-tentrem. Mereka menyukai tantangan, makin keras tantangannya makin gairahlah mereka.
SANG SATRIA: Jadi apakah sang Begawan hendak mengatakan bahwa pengusaha-pengusaha jenis itulah yang memiliki nilai kewirausahaan terbaik?
SANG BEGAWAN: Tidak juga. Mereka menikmati seni dan keindahan itu adalah untuk diri mereka sendiri. Apa yang mereka rasakan hanya mereka sendiri yang dapat menikmatinya. Orang lain tidak. Nah, sepanjang sepak terjang berikut kesenangan dan kenikmatan yang diperoleh seorang pengusaha itu masih ditujukan untuk kesenangan diri sendiri, maka ia tidak bisa dikategorikan sebagai pengusaha yang memiliki nilai kewirausahaan (entrepreneurship value) yang baik.
SANG SATRIA: Kalau demikian, tolong jelaskan sudut pandang seperti apa yang bisa kita kategorikan sebagai sikap kewirausahaan yang ideal, ya Sang Begawan?
SANG BEGAWAN: Baik Sang Satria. Menurutku, satu-satunya sudut pandang yang perlu dimiliki oleh setiap orang yang berkecimpung di dunia wirausaha, adalah sudut pandang kepemimpinan. Sudut pandang yang melihat dunia kewirausahaan sebagai wahana kepemimpinan. Bukan semata-mata wahana perebutan uang, harta benda serta simbol-simbol kekayaan yang materialistis. Orang seperti ini akan memulai usahanya dengan cakupan visi yang luas, bukan saja meliputi diri dan keluarga, tapi juga masyarakat sekitar. Beberapa tokoh bisnis bahkan memulai kiprahnya dengan visi kebangsaan, yang terpicu setelah melihat kemiskinan dan kesengsaraan rakyat di masing-masing negerinya. Faktor keunggulan dari wirausahawan seperti ini adalah jelas mereka jauh dari sifat-sifat egoistik. Mereka bahkan mendahulukan kepentingan orang lain katimbang kepentingan diri sendiri. Oleh karenanya, merekalah yang pantas menyandang nilai-nilai kewirausahaan tertinggi. Di dalam visi mereka otomatis sudah termasuk faktor spirit, di mana untuk menjadi wirausahawan yang mengayomi banyak orang, tentu diperlukan semangat kewirausahaan yang tinggi. Termasuk pula unsur sikap mental atau attitude, integritas serta proaktivitas. Seni dan keindahan bagi mereka adalah ketika melihat para karyawan, pemasok, pelanggan serta masyarakat sekitar tersenyum bahagia saat menikmati karyanya. Sampai di sini, adakah engkau dapat memahami penjelasanku, wahai Satria?
SANG SATRIA: Benar, Sang Begawan. Aku mengerti. Penjelasanmu meski panjang lebar, tapi cukup memberi pengertian pada ku. Aku ingin mencerna itu semua selama beberapa waktu, oleh sebab itu mungkin lebih baik pembicaraan ini kita hentikan dulu sampai di sini, sampai lain waktu kita bertemu pula dalam diskusi lebih lanjut. Ku mohon engkau tidak keberatan kalau lain kali kita dapat berjumpa lagi dalam pembahasan tentang kewirausahaan.
SANG BEGAWAN: Dengan senang hati, Sang Satria. Kita dapat bertemu lagi di sini di lain waktu.
SANG SATRIA: Terima kasih, Sang Begawan. Semoga Tuhan memberkati umat manusia.

Sang Satria Wirausaha dan Sang Begawan Ki Ageng Wiraswasta berpisah dan masing-masing pulang ke tempat kediamannya. Sang Begawan melanjutkan meditasi, sedangkan Sang Satria berusaha untuk mencamkan hasil pembicaraan itu jauh ke dalam lubuk sanubarinya..


Rusman Hakim
Pengamat Kewirausahaan

E-mail: rusman@gacerindo.com
Website: http://www.gacerindo.com
Blog: http://rusmanhakim.blogspot.com
Mobile: 0816.144.2792

1 comment:

Sheila's said...

thank you for posting this, Sir
I'd really appreciate it.
I'm asking permission to quote, contact me on sh3ila.multiply.com