Seorang teman yang entrepreneur pernah mengeluh: “Wah, jadi pengusaha itu nggak enak. Capek! Capek fisik sih nggak apa-apa, tapi capek mental? Mana tahan…?” Demikian dia mengutarakan uneg-unegnya.
“Lho kok bisa gitu?” saya bertanya heran.
Teman ini cerita serius: “Sekarang ini, saya praktis harus kerja 24 jam sehari, 7 hari seminggu, dan harus selalu siap siaga untuk kepentingan orang lain dan untuk hal apa pun”.
“Bayangkan saja, dalam satu kejadian, saya sedang mengendarai mobil ke luar kota untuk satu urusan keluarga yang penting. Tahu-tahu, hp saya berdering. Ketika saya angkat, ternyata dari klien saya Pak Anu. Beliau minta saya mencarikan stik golf dengan merek dan tipe tertentu, dan ditunggu di lapangan golf di pusat kota saat itu juga. Gila nggak? Tapi, ya terpaksa putar haluan, balik ke Jakarta lagi. Sebagai rekanan, tugas harus saya laksanakan. Kalau nggak, ya… tahu sendiri, bakul nasi saya bisa terbalik..”
Dia melanjutkan bahwa perisiwa semacam itu bukan satu-dua kali terjadi, tapi sering. Bukan kejadian aneh kalau menjelang tengah malam waktu siap-siap pergi tidur, telpon berbunyi. Seorang klien minta ditemani ke karaoke atau ke pub untuk “berdugem”.
Di kantor, selain urusan-urusan kantor, ia juga mesti berbaik hati mengurus hal-hal tetek bengek dari klien-klien besarnya. Mulai dari urusan perbaikan mobil pribadi yang bersangkutan, sampai juga membantu mencarikan informasi tentang sekolah di luar negeri untuk kepentingan anak-anak para pejabat kliennya tersebut.
Pokoknya macam-macamlah, sehingga lama kelamaan, ia akhirnya merasa jenuh juga dengan hal-hal yang begitu.
Ada lagi sebuah cerita dari seorang teman lain, yang “curhat” beberapa waktu sebelumnya. Namanya Jacky. Dia adalah pemegang franchise sebuah merek terkenal dari Inggris, yang menjual produk-produk apparel and lifestyle, seperti pakaian, dasi, sepatu dan lain sebagainya. Semuanya untuk konsumsi kelas menengah ke atas.
Tokonya, yang ada di PIM (Pondok Indah Mall – Jakarta), selalu ramai dikunjungi orang, baik yang benar-benar serius belanja, mau pun yang hanya sekadar melihat-lihat. Saya ikut senang melihat kemajuan usaha si Jacky, karena sejak acara “Grand Launching” – di mana saya juga diundang -- saya cukup antusias memantau perkembangan yang terjadi.
Sampai suatu hari, dia mengutarakan rasa tidak bahagianya dalam menjalankan bisnis tersebut. Ia berkisah bagaimana hatinya sangat jengkel melayani pelanggan-pelanggan rewel. Meski mengerti bahwa produk yang dijualnya adalah barang-barang berkualitas dengan harga tinggi, namun ia berpendapat tidak selayaknya para pelanggan itu menjadi begitu rewel, menuntut ini-itu yang kadang-kadang nyaris tidak masuk akal.
Kalau hanya complain tentang kualitas barang yang sudah dipakai hampir seminggu, lalu minta ditukar dengan yang baru, ia masih sanggup melayaninya. Tapi ada juga, pelanggan-pelanggan yang seakan beli barang bukan untuk dipakai dan dinikmati, melainkan memang hanya untuk memberi masalah pada dirinya.
Orang-orang yang kegemarannya menteror orang lain, mentang-mentang kaya. Begitu jalan pikiran si Jacky.
Ada orang yang mengeluhkan bahwa sepatu yang baru dibeli dari tokonya, setelah dipakai beberapa hari ketahuan ada cacatnya. Orang itu menuntut Jacky bertanggung jawab.
Meski sudah dijelaskan bahwa barang yang sudah dibeli tidak dapat ditukar atau dikembalikan, sang pembeli tidak mau mengerti. Sebaliknya malah mengancam akan memuat kasus ini di koran, kalau Jacky tidak bisa memberi pertanggungjawaban yang memuaskan. Gilanya, ketika Jacky mengalah dan menawarkan penggantian barang dengan yang baru, si pelanggan rewel ini menolak!
Dengan ketusnya orang tersebut mengatakan dia hanya ingin melihat Jacky memberi solusi yang profesional, bukan sekadar menukar barang. Namun ia sendiri tidak mau menjelaskan apa yang dimaksud dengan “solusi profesional” itu. “Kalau Anda merasa profesional, tentu Anda sudah tau dong apa yang Anda harus perbuat pada saya?”
Barangkali, nasib si Jacky teman saya ini memang tidak terlalu beruntung. Karena ternyata, bukan hanya satu orang itu pelanggannya yang super rewel dan “teroris”. Dalam satu bulan ada saja 1 atau 2 pelanggan baru yang datang dengan perilaku yang aneh-aneh dan eksentrik. Semuanya menyusahkan dia.
“Kalau ada 10 orang brengsek lagi datang ke sini, mending gue tutup aja deh toko ini..”, keluh si Jacky putus asa..
Dari dua kasus di atas, saya sempat mengadakan tanya jawab yang agak mendalam dengan kedua sahabat tadi. Pada akhir tanya jawab itu, saya memperoleh kesimpulan bahwa kemungkinan besar telah terjadi “tidak kecocokan” antara karakter dan kepribadian kedua teman tersebut dengan bidang usaha yang dipilihnya.
Kedua bidang bisnis yang diutarakan di atas, adalah bidang-bidang usaha yang bersifat pelayanan. Teman pertama berkecimpung dalam dunia pemasok (supplier), sedangkan yang kedua, si Jacky, menggeluti bidang eceran (retail), di mana mereka sama-sama harus menghadapi berbagai permintaan dan tuntutan yang datang dari pelanggannya.
Yang harus dicamkan benar oleh pelaku usaha bidang pelayanan adalah, bahwa yang dituntut dari mereka adalah kesediaan untuk melakukan sesuatu berdasarkan kebutuhan, keinginan serta selera pelanggannya. Bukan selera mereka sendiri.
Kesadaran ini harus sudah benar-benar ada, sejak pertama kali si pengusaha membuat keputusan untuk memulai usaha dalam bidang tersebut, serta terjun ke dalamnya secara serius.
Dalam kewirausahaan, ada sebuah anjuran untuk mengenali terlebih dahulu jenis kepribadian yang dimiliki seseorang, sebelum yang bersangkutan memutuskan untuk menggeluti sebuah bidang usaha tertentu. Karena apa?
Karena setiap bidang usaha juga mempunyai karakternya sendiri-sendiri, masing-masing bersifat spesifik terhadap yang lain. Oleh sebab itu, perlu sekali mengidentifikasi, apakah karakter seseorang itu cocok atau tidak dengan karakter dari usaha yang dipilihnya.
Jika terjadi tidak kesesuaian, bisa diramalkan bahwa dalam waktu tidak terlalu lama, si pengusaha akan merasa “tidak betah” bahkan akhirnya “tersiksa” oleh bidang usaha yang dipilihnya sendiri. Buntutnya jelas, bisnis akan menjadi tersendat, bahkan bisa menjadi layu sebelum berkembang.
Itu sebabnya, pada kejadian-kejadian semacam ini, para pelaku usaha akan merasakan bahwa menjadi pengusaha itu ternyata “tidak enak”, tidak seindah apa yang mereka lihat pada pengusaha-pengusaha lain yang sukses.
Itu pulalah alasannya, mengapa banyak orang merasa bahwa mereka tidak bakat atau tidak mampu menjadi pengusaha. Padahal, yang terjadi sebenarnya bukanlah tidak mampu jadi pengusaha, melainkan hanya tidak cocok dengan bidang usaha yang dipilih.
Sedikitnya ada 4 tipe kewirausahaan primer yang ada pada diri manusia. Yaitu, tipe “D” atau “Dominan”, tipe “P” atau “Pop”, tipe “S” atau “Servis” (Pelayanan) serta tipe “K” atau “Konvensional”. Nah, masing-masing tipe kepribadian manusia ini sifatnya sangat khas, sehingga bidang usaha yang sesuai untuk mereka juga berbeda satu dengan yang lain.
Dari namanya, mudah untuk dimengerti bahwa tipe kepribadian yang sesuai untuk melakukan bisnis jenis pelayanan, adalah tipe “S”. Namun bagaimanakah caranya agar kita atau seseorang dapat mengenali dirinya sebagai tipe “S” atau bukan?
Saya ingin sekali membahas secara tuntas tentang masalah kesesuaian kepribadian seseorang dengan jenis bidang usaha yang akan dijalankan, karena memang hal ini termasuk satu hal penting dalam kewirausahaan. Sayang sekali, pembahasan dimaksud akan memakan halaman yang terlalu panjang, sehingga kurang layak untuk disajikan dalam milis internet.
Saya berharap, apabila rekan-rekan di milis berminat untuk mengetahui dirinya termasuk tipe kepribadian apa, serta bidang-bidang usaha apa yang sesuai untuk dilakoni, mudah-mudahan ada kesempatan bagi saya untuk mempresentasikannya dalam waktu dekat. Entah dalam suatu acara seminar, pertemuan informal, “kopi darat” atau kesempatan-kesempatan lainnya.
Salam sukses,
Rusman Hakim
Pengamat Kewirausahaan
E-mail: rusman@gacerindo.com
Web: http://www.gacerindo.com
Blog: http://rusmanhakim.blogspot.com
Mobile: 0816.144.2792
No comments:
Post a Comment