Tuesday, August 01, 2006

BERHARAP YANG TERBAIK, BERSIAP YANG TERBURUK

Dua hari yang lalu, saya menerima sebuah pesan singkat (sms) dari seorang teman. Isinya, sebuah kabar duka tentang meninggalnya seorang rekan, yang sudah sekian tahun tidak berjumpa. Namanya Tedjo (bukan nama sebenarnya).

Ketika saya menelpon balik kepada si pengirim sms, dia bercerita bahwa rekan kami yang meninggal itu sungguh bernasib naas.

Semula Tedjo adalah seorang wirausahawan sukses, bahkan karena suksesnya itu ia bisa terpilih sebagai Ketua Umum sebuah asosiasi pengusaha dalam bidang bisnis tertentu.

Belasan tahun, sejak zaman Orde baru, Tedjo berkiprah sebagai pengusaha yang penuh kejayaan, kegemerlapan serta keglamoran. Ia kebanggaan keluarga, terutama bagi isteri dan anak-anak, serta sekaligus menjadi kebanggaan para sahabat dekatnya.

Sampai suatu ketika, beberapa saat sebelum gerakan reformasi meletus, lahan bisnis yang sudah bertahun-tahun digarapnya, diambil alih oleh seorang pejabat pemerintah yang berkuasa. Dan ternyata, peristiwa itu menjadi sebuah momentum dari sebuah perjalanan panjang penuh kepahitan bagi kehidupan Tedjo selanjutnya.

Sebagai seorang pengusaha yang pernah gilang-gemilang sekian lama, di mana ia telah menjadi lambang kejayaan sebuah komunitas besar dari sebuah industri, Tedjo mencoba bertahan. Ia percaya bahwa dirinya masih cukup piawai untuk merebut kembali kepemimpinan bisnis di pasar.

Tedjo mungkin saja benar. Kepiawaian dalam bidang usaha yang telah digeluti selama waktu yang lama, ditambah ketahanan finansial yang cukup besar hasil kucuran keringatnya selama ini, memberi bukti bahwa ia masih mampu terus berkiprah selama lebih dari lima tahun.

Namun demikian, hasil perjuangannya itu cuma sebatas mempertahankan nafas. Kinerja perusahaannya tidak kunjung meningkat, bahkan sedikit demi sedikit statistik memperlihatkan degradasi yang terus menurun. Meski segala kemampuan dan segala jurus bisnis yang dipunyai telah dikerahkan sepenuh-penuhnya, namun tetap saja tidak membuahkan hasil sebagaimana yang diharapkan.

Sejalan dengan berlalunya sang waktu, pamor seorang Tedjo yang dahulu adalah tokoh kebanggaan komunitasnya, kebanggaaan keluarga dan para sahabat, mulai memudar. Dan akhirnya pada tahun ke tujuh, perusahaan milik Tedjo harus gulung tikar dengan meninggalkan sejumlah hutang yang harus dibayar.

Sungguh sial nasib tokoh kita ini. Para sahabat yang tadinya begitu dekat dan akrab, sekarang pergi meninggalkan dirinya satu per satu. Seakan tidak ada lagi yang mau peduli akan nasibnya yang sedang dirundung malang. Bagaikan sekawanan kumbang yang terbang pergi entah ke mana setelah puas menghisap madu.

Puncaknya adalah ketika tanpa pernah disangka, sang isteri yang selama ini kelihatan setia mendampingi di saat sukses, kini ikut-ikutan berubah sikap. Tiada lagi senyum mesra, tidak ada lagi canda tawa dan tiada lagi pandangan penuh kekaguman pada sang suami. Yang ada hanya sikap acuh tak acuh, senyum sinis, kata-kata menusuk hati serta perilaku yang sudah di luar kendali.

Sehebat-hebatnya seorang Tedjo, ia tetaplah seorang manusia yang terdiri dari darah dan daging. Ia bukan terbuat dari baja atau beton bertulang. Usaha yang bangkrut serta beban finansial yang menyertainya, ditambah lagi beban mental yang harus diterima dari perubahan sikap para sahabat dan terutama isterinya sendiri, telah membuat Tedjo terpukul luar dalam.

Ia tidak mampu lagi berfikir jernih. Kecerdasan otaknya yang selama ini sangat brilian mencetuskan ide-ide bisnis, kini membeku. Depresi mental pun menyergap, dan ia menjadi sosok yang sakit-sakitan. Satu tahun ke depan setelah peristiwa penutupan perusahaannya, adalah masa-masa di mana ia harus keluar-masuk rumah sakit.

Pada akhirnya, tanpa dukungan moral dari pihak keluarga serta para sahabatnya, Tedjo pun berpulang ke rakhmatullah beberapa waktu kemudian.

Wafatnya Tedjo, bukanlah peristiwa pertama yang membuat saya harus berfikir tentang seluk beluk kehidupan ini, teristimewa tentang liku-liku kehidupan yang melingkupi para wirausahawan.

Beberapa tahun sebelum kematian Tedjo, seorang teman lain berinisial F, pernah mengirim kabar kepada saya bahwa ia sedang berada di ruangan sebuah rumah sakit, karena esok harinya akan menjalani operasi jantung yang cukup kritis.

F bercerita dengan jujur bahwa hal itu bermula dari sebuah peristiwa yang terjadi kira-kira 2 tahun sebelumnya. Sebuah peristiwa di mana ia harus menelan kenyataan pahit, bahwa proyeknya yang bernilai milyaran rupiah, dibatalkan begitu saja oleh seorang pejabat yang baru diangkat.

Protes sana, protes sini, urus sana urus sini, semua usahanya itu sia-sia belaka. Dan akhirnya, investasi bermilyar rupiah pun amblas!

Shock berat, menyebabkan tekanan jiwa dan gangguan jantung, yang berakhir di meja operasi. Syukurlah teman ini akhirnya selamat dan sembuh, dengan meninggalkan bekas sayatan panjang membelah dada serta lengannya.

Biar bagaimana pun, peristiwa-peristiwa semacam ini adalah sebuah realitas. Sebuah kenyataan yang tidak bisa dipungkiri keberadaannya, dan seharusnya tidak pula kita berpaling darinya.

Wirausahawan, sejalan dengan makna yang terkandung dalam kata “wira”, adalah seorang patriot. Seorang pejuang, yang memperjuangkan harkat dan kehormatan diri, keluarga serta masyarakat.

Yang menjadi pertanyaan adalah, bisakah kejadian-kejadian semacam itu dicegah? Dapatkah jatuhnya korban diminimalisir sampai sesedikit mungkin?

Sebagaimana telah saya paparkan pada tulisan terdahulu, seorang wirausahawan perlu melakukan balance adjustment atas 2 hal penting, yaitu keberanian versus kecerdikan (bravery vs smartness).

Kecerdikan lebih bersandar kepada logika. Dengan dasar-dasar pemikiran yang sederhana, sebenarnya seseorang akan dapat menekan tingkat risiko stres dan depresi, sampai ke tingkat cukup signifikan.

Saya terkesan dengan kiat seorang teman di milis, yang mengajukan sebuah konsep berbasis smartness.

Teorinya sederhana. Yaitu, apabila kita membangun sumber penghasilan lebih dari satu kuadran (misalnya satu di kuadran “B”/bisnis dan satu lagi di kuadran “S”/self employed), maka tentunya posisi keuangan kita akan lebih aman dibanding kalau kita cuma mempunyai sumber di satu kuadran saja.

Ini merupakan sebuah solusi yang sangat cerdik. Banyak yang sudah mempraktikkannya. Sebagai contoh, beberapa teman menjalankan usaha sambil tetap mempertahankan statusnya sebagai pegawai, untuk jangka waktu beberapa lama.

Konsep yang sama seharusnya dapat diterapkan juga dalam kasus-kasus bisnis sebagaimana diceritakan di atas. Andaikata teman saya Tedjo mau menjalankan bisnis di dua atau tiga bidang usaha yang berbeda sekaligus, mungkin cerita akan menjadi lain. Wallahu alam..

Solusi Spiritual

Di samping kecerdikan berdasarkan logika, ada sebuah solusi lain yang lebih bersifat hakiki, yang sebenarnya jauh lebih ampuh untuk digunakan sebagai penangkal stress dan depresi mental. Solusi dimaksud adalah solusi berdasarkan kiat-kiat spiritual.

Menurut saya, sudah seharusnya seorang entrepreneur mempersiapkan diri sebaik-baiknya -- termasuk dalam aspek spiritual – sebelum ia benar-benar terjun ke dalam kancah persaingan bisnis yang ganas.

Di negeri barat, kebanyakan kaum pengusaha adalah penganut-penganut agama Kristen yang baik. Sementara di Taiwan, Korea dan China, kaum pengusahanya rata-rata berbisnis dengan berpedoman kepada Konfusianisme. Dan mereka sangat memahami aspek-aspek spiritual. Spiritualisme yang diterapkan dalam dunia kewirausahaan, disebut “entrepreneurial spiritualism”.

Maka, untuk mengatasi depresi mental yang dialami para usahawan, diperlukan kesadaran tentang entrepreneurial spirituality. Ini adalah salah satu wacana yang merupakan bagian terpenting dari pengetahuan kewirausahaan secara utuh. Dengan kesadaran dimaksud, seorang entrepreneur akan selalu berada dalam kondisi: “berharap untuk yang terbaik, tapi tetap siap untuk yang terburuk”.

Sayang sekali bahwa pembahasan mengenai hal terebut memerlukan penulisan panjang, yang tidak mungkin bisa dimuat hanya dalam satu artikel saja. Namun demikian, apabila rekan-rekan di milis, Pak Moderator serta sidang pembaca sekalian berminat untuk mencermati apa yang disebut dengan entrepreneurial spirituality, saya bersedia untuk menuangkannya dalam satu rangkaian tulisan.

Untuk itu dengan segala kerendahan hati, saya mohon masukannya…!



Rusman Hakim
Pengamat Kewirausahaan

E-mail: rusman@gacerindo.com
Web: http://www.gacerindo.com
Blog: http://rusmanhakim.blogspot.com
Mobile: 0816.144.2792

1 comment:

surya_adipraja said...

terima kasih pak atas pencerahannya,

sebenarnya masalah ini masih mengganjal juga dipikiran saya, dimana saya masih menjalani kerja sebagai karyawan dan baru mulai merintis usaha, yg menjadi masalah disini adalah pikiran saya jadi kusut pak, bisnis sedang merangkak, jadi butuh perhatian khusus, sementara kerjaan jg menumpuk...jadi pusingnya dobel, tapi kalau mau keluar dari kerjaan, bisnisnya belum mature, takutnya kalau gak keluar kerjaan bisnisnya bisa gagal gara2 kurang perhatian.. bagaimana menurut bapak?