Wednesday, December 13, 2006

BISNIS ITU PERMAINAN, BUKAN ILMU PENGETAHUAN

Selama kita merasa belum familiar dan takut memulai bisnis, biasanya yang timbul di pikiran kita adalah: “belajar!”. Pilihannya mungkin dengan jalan mengambil program S2 dan jadi seorang MBA, atau ikut sebanyak-banyaknya seminar dan pelatihan, atau bisa juga dengan berguru dan mengabdi pada seorang begawan bisnis.

Kira-kira, sudah selaraskah alur pemikiran yang sedemikian dengan apa yang terjadi pada kenyataannya? Mari kita telaah.

Kebanyakan dari kita berbisnis karena ingin sukses, lalu menjadi kaya raya. Kita membayangkan, betapa enak dan hebatnya bila kita dapat sesukses dan sekaya Bill Gates atau Donald Trump. Menurut pandangan masyarakat pada umumnya, mereka itulah orang-orang sukses yang sebenar-benarnya. Merekalah sosok-sosok pebisnis yang prestasinya membuat banyak orang terobsesi.

Maka tidak heran jika para pakar pun berusaha menyadap dan mempelajari segala hal yang ada pada orang-orang sukses itu, dengan harapan dapat mentransfer nilai-nilai kesuksesannya kepada orang-orang lain yang juga ingin menjadi figur sukses. Mereka berpendapat bahwa: “Leaders are made, not born”.

Selanjutnya, segala sepak terjang yang dilakukan oleh para pebisnis tersebut, dikumpulkan, dipilah-pilah, lalu dianalisis. Dari analisis itu dibuat teori-teori. Hasilnya, muncullah berbagai teori kesuksesan yang terkemas dalam materi-materi “ilmu bisnis”, wacana profesionalisme, ilmu kepemimpinan (leadership), dan lain sebagainya.

Orang-orang awam memang ingin sekali menemukan cara-cara yang bisa membantu mereka untuk secara cepat mencapai kesuksesan. Semacam rel kereta yang tinggal diikuti saja akan mengantar orang tiba di gerbang kejayaan.

Namun demikian, apa benar kalau kita ingin menjadi figur sukses -- lebih spesifiknya pebisnis sukses -- harus menempuh perjalanan yang sarat dengan teori-teori kesuksesan seperti itu?

Dari berbagai catatan yang ada, tampaknya tidak demikian. Banyak sepak-terjang yang dilakukan oleh para pemimpin bisnis dunia tidak mencerminkan bahwa kesuksesan mereka disebabkan pembelajaran yang sungguh-sungguh dalam ilmu bisnis, profesionalisme dan teori kepemimpinan. Tidak juga pengetahuan ekonomi, teori-teori tentang kebebasan finansial, ilmu marketing dan lain sebagainya. Pun, tidak karena mereka rajin mengikuti seminar kesuksesan atau lokakarya tentang strategi bisnis.

Di lain pihak, banyak pemimpin bisnis ternyata merupakan orang-orang yang justru tidak suka belajar, malas sekolah, dan hanya ingin bermain-main saja. Boro-boro ikut seminar atau lokakarya. Lho kok bisa?

Ada beberapa contoh kasus. Yang pertama, Thomas Alva Edison. Nama ini sudah kita tahu sejak di bangku SD bukan? Namun, tentunya kita kenal Edison lebih sebagai tokoh ilmu pengetahuan, karena sekolah memfokuskan ajaran hanya pada penemuan atas lampu pijar dan berbagai temuan teknis lain yang dilakukannya.

Maka jarang kita memperhatikan bahwa sesungguhnya Thomas Alva Edison adalah juga seorang pengusaha besar yang sukses. Ia adalah pemilik dan pendiri berbagai perusahaan dengan nama-nama seperti Lansden Co. (mobil/otomotif), Battery Supplies Co. (baterai), Edison Manufacturing Co. (baterai dsb), Edison Portland Cement Co. (semen dan beton), North Jersey Paint Co. (cat), Edison General Electric Co. (alat listrik dll), dan banyak lainnya. Salah satu yang masih berjaya sampai sekarang adalah General Electric.

Apakah untuk mencapai itu semua Edison harus bersusah-payah mengikuti berbagai sekolah dan pendidikan tinggi? Atau mengikuti seminar kelas dunia yang diselenggarakan oleh para pakar kesuksesan, pakar bisnis atau pakar financial freedom? Ternyata tidak. Figur Edison adalah figur pemalas yang hanya tahan 3 minggu bersekolah. Ia lebih suka bermain-main dengan perkakas, dengan kawat dan dengan listrik. Itu kesenangannya dan dengan itu ia sukses.

Contoh lain adalah Kenji Eno. Ia juga tidak suka sekolah. Ia cuma suka bermain-main dengan permainan, istimewanya dengan video games. Kelas 2 SMA berhenti sekolah terus nganggur. Lalu dapat kerja di perusahaan perangkat lunak, sampai akhirnya ia berhasil mendirikan perusahaan perangkat lunaknya sendiri yang dinamakan WARP. Dalam tempo beberapa tahun saja Kenji Eno mampu membawa perusahaannya menjadi perusahaan video games terhebat di dunia yang diakui oleh tokoh-tokoh industri.

Fenomena-fenomena yang dibuat oleh orang-orang semacam Edison dan Kenji Eno ini memberi kesan kepada kita semua bahwa bisnis itu sebenarnya lebih dekat kepada sebuah permainan, dan terlalu jauh untuk diperlakukan sebagai sebuah ilmu pengetahuan.

Gede Prama yang dikenal sebagai pakar manajemen (bahkan dijuluki Stephen Covey Indonesia), mengomentari fenomena Kenji Eno sebagai kesuksesan dari kebebasan berfikir yang mampu melompat, karena belum terkena polusi-polusi yang dibuat sekolah.

Menurut saya, adalah keliru mempelajari fenomena pemimpin, untuk menciptakan pemimpin. Demikian juga, keliru mempelajari fenomena pebisnis sukses, untuk mencetak pebisnis sukses. Sebab, fenomena pemimpin (atau pebisnis) adalah fenomena manusia, yang tidak sama dengan fenomena alam. Kalau Isaac Newton mempelajari peristiwa jatuhnya buah apel ke tanah (fenomena alam) dan kemudian menemukan hukum gavitasi, maka itu oke-oke saja. Karena fenomena alam tidak berubah, hukum gravitasi pun akan tetap abadi.

Akan tetapi, mempelajari fenomena manusia pasti akan menimbulkan frustrasi. Sebab, manusia merupakan mesin perubahan, sehingga tidak akan ada fenomena manusia yang tinggal tetap abadi sepanjang masa, berlawanan dengan yang kita lihat pada peristiwa jatuhnya buah apel.
Pemimpin, dalam bidang apa pun termasuk bisnis, adalah sosok manusia yang bebas, yang bertindak semaunya tanpa memperhatikan teori mau pun kaidah, sehingga nyaris percuma kalau kita ingin mempelajari dan mengikuti jejak sepak terjangnya.

Coba lihat, pada saat terjadinya resesi ekonomi dunia tahun 1929, semua orang berdasarkan teori-teori yang ada, berusaha untuk berlaku sehemat mungkin. Tapi sebaliknya, Matsushita si raja elektrik dari Jepang malah royal mengeluarkan uang. Seakan uang itu tidak lebih dari mainan saja layaknya. Meski pun bukan tanpa alasan dia berlaku demikian.

Lihat juga Kim Woo Chong, pendiri imperium Daewoo. Ketika semua pengusaha (juga dengan teori-teori yang ada) berkonsentrasi memasuki pasar negara-negara kaya semacam Amerika dan Eropa, ia malah dengan santainya masuk ke pasar-pasar “keras” seperti Iran, Sudan dan Rusia serta negara-negara blok timur.

“Kesia-siaan” mempelajari dan berusaha mengikuti sepak terjang para pemimpin bisnis bisa dirasakan secara langsung di lapangan. Saat pertama kali Harvard Business Review mempublikasikan konsep pemasaran yang beken dengan “Marketing Mix” 4P (product, price, place dan promotion), nyaris semua pengusaha serta pakar bisnis menganut konsep ini secara fanatik. Begitu juga dengan perguruan-perguruan tinggi dan sekolah manajemen.

Tapi, tidak terlalu lama, sebagai akibat “ulah” para pemimpin bisnis yang gemar bermain-main, perubahan tren perekonomian dan industri memaksa para pakar dan pembelajar merubah lagi konsepnya dengan 6P, 8P bahkan yang terakhir disebutkan sebagai 12P.

Terus bagaimana? Kalau kita harus bersiaga setiap saat untuk belajar dan tidak ketinggalan zaman dengan ilmu marketing, kapan kita berbisnis?

Saya rasa kita semua banyak yang terjebak dan hanyut dalam “arus ilmu pengetahuan” yang dibuat oleh mereka yang “pakar ilmu pengetahuan”, sehingga kita tidak sempat lagi berinovasi yang justru merupakan kunci sukses bisnis. Kita malah terus menerus “dipaksa” mengejar ketinggalan ilmu pengetahuan tanpa tahu di mana ujung pangkalnya.

Pertanyaannya: ”Sebenarnya kita mau jadi pebisnis atau mau jadi ilmuwan sih?”

Saya sendiri yakin bahwa bisnis dan kesuksesan itu adalah semacam permainan saja. Seperti apa yang dikatakan oleh William Cohen dalam tulisannya “The Art Of The Leader” : “Success is acquired by playing hard, not by working hard..”.

Mengacu pada obsesi banyak orang tentang Bill Gates dan Donald Trump sebagaimana disebut di atas, perlu diketahui bahwa kedua orang tokoh ini pun mencapai sukses dari kesenangannya bermain-main.

Bill Gates sejak masih berusia 13 tahun sudah bermain-main dengan perangkat lunak komputer, dan dengan itu ia menjadi salah satu orang terkaya di dunia. Donald Trump juga sejak kecil selalu bermain-main ke kantor ayahnya, Fred Trump. Dia suka sekali melihat-lihat maket gedung dan pencakar langit, sebelum tertarik dengan bidang bisnis sang ayah, yaitu properti. Dan jadilah Donald Trump seorang Raja Properti.

Terakhir yang ingin saya sampaikan adalah, orang yang mempelajari ilmu kepemimpinan tidak akan menjadi pemimpin. Tapi, orang yang mencoba menjadi pemimpin, akan menjadi pemimpin. Demikian juga, orang yang mempelajari ilmu bisnis, tidak akan menjadi pebisnis. Tapi, orang yang mencoba menjadi pebisnis, akan menjadi pebisnis.



Rusman Hakim
Pengamat Kewirausahaan
E-mail: rusman@gacerindo.com
Web: http://www.gacerindo.com
Blog: http://rusmanhakim.blogspot.com
Mobile: +62 21 816.144.2792

31 comments:

asrita said...

Nulis lagi donk..
Saya ngikutin tulisan di blog ini :)

oh ya..salam kenal dari Batam

keperawatan said...

man purpose God dispose
orang yang sukses sudah terlihat sejak kecil,....
ulet, trampil, teliti dan lain-lain

keperawatan said...

paman saya sudah sukses mendirikan usaha.
pada hal beliau pendidikannya hanya lulus sd
karena beliau ulet, trampil, dan teliti, akhirnya di mencapai kesuksesan dengan usaha yang dijalaninya.
jadi kesimpulan saya sukses itu tergantung pada diri sendir masing-masing

Investasi syariah said...

MAU BERINVESTASI KECIL??



Hati-hati tertipu dgn bisnis online!!
kunjungi kami
http://www.dana-syariah.com/?id=fajar
kita bisa berinvestasi bersama. kita jalin ukhuwah, kita untung, kita beramal..

Unknown said...

Bravo,,,,trima kasih pak,,,smoga bpk bs menuliskan artikel yg bermanfaat lg

Unknown said...

saya suka artikel nya,semoga eksis trus y friend..

Unknown said...

saya suka artikel nya,semoga eksis trus y friend..

Unknown said...

saya suka artikel nya,semoga eksis trus y friend..

Unknown said...

Keren artikelnya mas. 4 jempol deh

nur aini arifah blog said...

artikelnya bagus,,,,

Indra KA said...

Trima kasih udah berbagi ilmu.ditunggu ilmu2 yang lainnya ya

pemalas tulen said...

Bisnis bukan untuk di pelajari tapi dijalankan

Unknown said...

Mantap massss,,,mudahmudahan bosnis jaket kulit saya semakin jaya http.//www.jhonleather.com

Unknown said...

MAntaph masssss mdahmdahan bisnis ane melejit
www.jhonleather.com

Unknown said...

begini...jgn salahkan ilmu pengetahuan.
pendidikan .. belajar.. bermain hanya alat. analoginya pisau alat tajam.. tergantung memakainya.

kalau bapak mencontohkan bnyk yang berhasil berdasarkan permainan dan tidak sekolah mungkin tidak adil.


tidak ada salah dengan ilmu karena hakikinya ilmu bisa menjadi acuan dasar..catatan saya pengalaman adalah guru terbaik (belajar dr kesalahan) sekaligus guru terburuk(jgn terapkan masa lalu yang tidak mengikuti perkembangan dunia)

Pendidikan menentukan peradaban dan keadaban Dunia -Ki Hajar Dewantoro-

Unknown said...

ulasan yang sangat menarik, trims

Unknown said...

Maen som

Unknown said...

Pertanyaannya: Apakah para tokoh yg sukses dalam bidangnya itu, tetap harus di contoh? Mereka yg sukses hanya bermain dgn apa yg disukainya. Dan apakah kita harusnya demikian???

Unknown said...

artikelnya bagus kak
jangan lupa mampir di saya http://indonugraha.blogspot.co.id/

Unknown said...

Nyegerin ya....inspiratif.

Multi agung official said...

Sangat masuk di akal ya, mkasih mas

dhika said...

Luar biasa mas pemikirannya. Bagus sekali.
Mencintai dan mendalamai pendidikan itu tidak salah, itu bagus. Tapi akan lbh bagus lagi kalau kita mencoba dan mempraktekannya langsung.

Saya setuju dengan tulisan mas diatas. Intinya adalah jangan terpaku dgn ilmu2 mengenai bisnis, namun berkaryalah dan berinovasi secara kreatif di dunia nyata.

Good job.

h_rie305 said...

Aazziiebb.... Suatu pelajaran yg bermanfaat

TG Consulting by Thorik Gunara said...

Bisnis itu intinya di sistem bukan di ilmu. Apapun bisnisnya selama masih di sistem biner (untung-rugi,kawan-lawan, menang-kalah) maka ujungnya pasti down karena dia dikuasai oleh bisnisnya.

Sistem amany (sistem bisnis transenden) berusaha terus menerus menambah rasa senang/enjoy sehingga dia menguasai bahkan melampaui bisnisnya.

http://tgconsulting-sistemamany.blogspot.co.id/2017/10/sistem-amany-sebagai-solusi-total.html?m=1

Unknown said...

artikelnya sangat bermanfaat

Aditya Anugrah Ramadhan said...

terimakasih atas bantuan blog nya

Unknown said...

Thanks for your info
My Blog

Unknown said...

artikelmenarik
my blog

Unknown said...

Terimakasih.. tulisannya sangat bermanfaat..

My blog

Toko Indo Furniture said...

Masuk Pak Ekoo..

Unknown said...

This is good