Monday, October 22, 2007
Power Of The Verbs
POWER OF THE VERBS
Dalam suatu seminar, seorang peserta berkeluh-kesah kepada Stephen Covey, bahwa kehidupan rumah tangganya tidak bahagia. Ia dan isterinya sudah tidak sepaham lagi, sehingga terlalu banyak pertengkaran yang terjadi. Oleh sebab itu, ia ingin Covey memberinya jalan keluar. “Apa yang harus saya lakukan, Tuan Covey?” demikian ia bertanya.
Setelah berfikir sejenak Stephen Covey menjawab: “Cintai isterimu..”
Sang penanya tertegun, lalu ia menegaskan: “Anda tahu Stephen, saya sudah tidak cinta lagi pada isteri saya. Jadi apa yang harus saya perbuat?”
“Cintai isterimu..”, Stephen Covey mengulangi jawabannya.
“Anda tentu tidak mengerti bahwa sesungguhnya sudah tidak ada lagi perasaan cinta di hati saya terhadap dia..” sang peserta tetap pada pendiriannya.
“Kawan..! Yang saya maksud di sini adalah ‘cinta’ dalam kata kerja. Bukan ‘perasaan cinta’ sebagai kata benda atau kata keadaan. Jadi Anda harus mencintai isteri Anda dalam kata kerja. Lakukanlah, cintai isteri Anda dan Anda akan menemukan cinta itu kembali..”
Meski petikan dialog di atas kelihatan sederhana, namun sebenarnya yang dibahas oleh Stephen Covey adalah sebuah kunci kesuksesan hidup. Sebuah “resep rahasia” yang akan mampu menuntun manusia ke arah kebahagiaan sejati dalam kehidupan yang hingar-bingar ini. Mengapa demikian?
Sebagian besar orang memang lebih banyak menggantungkan kebahagiaan hidupnya pada “kata benda” atau “kata keadaan”. Lebih tepatnya, pada “sesuatu” baik berupa benda, orang atau pun lingkungan.
Yang lebih mengherankan adalah kenyataan bahwa rata-rata manusia hanya mau atau hanya bisa berbahagia, kalau ada alasan tertentu untuk itu. Coba perhatikan kalimat-kalimat di bawah ini:
“Saya akan sangat berbahagia bila saya berhasil menjadi orang kaya..!”
“Mobil mewah itu sungguh bagus, berteknologi tinggi serta memberikan prestise tersendiri. Alangkah berbahagianya bila saya dapat memilikinya..”
“Dunia serasa gelap, dan tiada lagi kebahagiaan yang tersisa semenjak saya ditinggal oleh kekasih yang sangat saya cintai..”
“Hari mendung menjelang hujan lebat, jalanan macet pula. Hati saya benar-benar tertekan hari ini..”
Empat contoh kalimat di atas menunjukkan secara jelas, betapa banyak orang yang menggantungkan kebahagiaanya pada keadaan (kekayaan), pada benda (mobil mewah), pada orang (kekasih) dan pada lingkungan (cuaca mendung dan jalan macet).
Padahal, kalau kita mau berfikir jernih, mengapa pula kebahagiaan itu harus dilekatkan pada hal-hal di luar kita, baik benda, orang, keadaan mau pun lingkungan?
Kekuatan Kata Kerja
Sejak kelahiran manusia pertama di atas bumi, Tuhan Yang Maha Esa telah memberi perintah agar manusia aktif bekerja untuk dapat mempertahankan hidup. Dalam segala hal, manusia harus “taking action”, maka itu artinya ia harus selalu berada dalam lingkup kata kerja.
Patut disyukuri bahwasanya kesadaran dan etos kerja manusia secara fisik berkembang pesat, sehingga tingkat kemajuan teknologi di dunia industri sekarang sudah sedemikian majunya.
Namun apa lacur, kalau pun kekuatan kata kerja telah mampu membawa kemajuan di tingkat fisik, tidak demikian halnya di tingkat mental. Hampir semua orang berfikir bahwa kekuatan kata kerja hanya berlaku atas segala sesuatu yang kita kerjakan secara fisik. Nyaris tidak pernah terfikir bahwa kekuatan kata kerja juga berlaku atas aktivitas-aktivitas mental dan emosi.
Ambil contoh, emosi-emosi negatif seperti kecewa, marah, takut atau perasaan tertekan, adalah unsur-unsur mental yang dianggap sebagai suatu “keadaan” atau “kondisi”, yang terjadi sebagai akibat pengaruh-pengaruh dari luar. Karena merupakan akibat dari pengaruh luar, maka emosi-emosi semacam itu tidak dapat dikontrol oleh yang bersangkutan.
Nyaris tidak ada orang yang mau berspekulasi bahwa emosi sebenarnya juga merupakan aktivitas manusia yang bisa dikendalikan oleh yang empunya tubuh. Aktivitas yang tentunya bisa dilakukan oleh manusia berdasarkan “kata kerja”.
Penyanyi seriosa sekaliber Surti Suwandi atau Pranawengrum, mampu menstimulir dirinya saat menyanyikan lagu sedih, sampai menangis mengeluarkan airmata yang tidak sedikit. Demikian juga apa yang dilakukan oleh para penyanyi opera dan artis film drama.
Hal tersebut merupakan bukti kecil dan sederhana, bahwa emosi pun bisa “dilakukan”. Dan itulah juga yang sesungguhnya dimaksud oleh Stephen Covey, bahwa “cinta” bukanlah sekadar keadaan emosi yang terjadi dengan sendirinya. Cinta adalah juga sebuah aktivitas manusia yang bisa dilakukan kapan saja sesuai dengan inisiatif si pelaku.
Bahagia dan Sukses Juga Merupakan Kata Kerja
Kita perlu prihatin, bahwa sebagian besar orang menganggap seakan-akan kebahagiaan hanya akan datang kalau ada pemicunya, apakah itu berupa harta benda, perhatian atau kasih sayang seseorang, atau stimulus lain.
Hal ini perlu dikoreksi. Sesungguhnya, kebahagiaan dapat dikendalikan sesuai dengan inisiatif orang yang bersangkutan. Jim Dorner, seorang tokoh kepemimpinan pernah mengatakan bahwa manusia sudah sepantasnya berbahagia, dan itu bisa diperoleh cukup dengan mengatakan: ”I want to be happy! I don’t want to be unhappy!”, tanpa mengait-ngaitkannya dengan faktor luar.
Memang, sesuai dengan hukum sebab dan akibat, segala sesuatu yang terjadi senantiasa karena ada suatu alasan yang melatarbelakanginya. Kekeliruan yang selama ini dilakukan oleh banyak orang sehingga mereka sulit untuk merasa bahagia secara terus menerus adalah bahwa latar belakang kebahagiaan mereka selalu diletakkan pada obyek-obyek luar yang mudah lenyap serta di luar kendalinya.
Padahal, sumber-sumber daya yang permanen ada pada diri kita sendiri merupakan alasan terbaik untuk kita bisa selalu merasa bahagia.
Apa saja? Banyak, antara lain keyakinan akan diri, kepiawaian dalam bidang-bidang tertentu, profesionalisme, semangat dan daya juang, naluri avonturisme, proaktivitas, motivasi, visi, serta kedekatan kita dengan Tuhan. Dengan latihan dan kesadaran akan berbagai kemampuan pribadi inilah, pada akhirnya kita akan terbiasa untuk berbahagia setiap saat, tanpa perlu melihat materi luar apa yang kita miliki.
Pertanyaannya adalah, bagaimana mungkin komponen-komponen tak kasat mata (intangible) seperti semangat, kepiawaian, motivasi, kepercayaan diri dan sebagainya itu dapat menjadi alasan untuk kita berbahagia? Bukankah lebih realistis kalau orang merasa bahagia karena memperoleh banyak uang, memiliki rumah besar dan mobil mewah?
Seperti telah disinggung di atas, uang, rumah besar, mobil mewah dan bahkan kasih sayang orang lain, adalah unsur-unsur luar yang tidak sepenuhnya berada di bawah kendali kita. Sifatnya situasional, sehingga setiap saat bisa saja lenyap dari kepemilikan kita.
Sebaliknya, kemampuan diri pribadi merupakan “mesin kehidupan” yang kita miliki secara abadi, tidak akan hilang sepanjang hayat masih dikandung badan. Uang, mobil serta harta benda lainnya mudah diperoleh asalkan kita mau bekerja memanfaatkan “mesin kehidupan” tersebut secara tepat dan benar.
Silahkan direnungkan.(rh)
*** Artikel ini dapat Anda baca juga di portal wirausaha http://www.gacerindo.com, dilengkapi dengan gambar.
Rusman Hakim
Pengamat Kewirausahaan
LifeWisdom Presenter
E-mail: rusman@gacerindo.com
Portal: http://www.gacerindo.com
Blog: http://rusmanhakim.blogspot.com
Mobile: 0816.144.2792
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
1 comment:
tulisan yang bagus pak rusman,.
bener jua yah kita selalu dikelilingi dengan kata benda itu,
padahal itu semuanya bisa hilang dan lenyap,..
sebuah tulisan refleksi yang baik
mas_pepeng@yahoo.com
Post a Comment